Bls: [kisunda] membahas hadis puasa 10 Muharram

2010-12-11 Terurut Topik Jalak Pakuan
Cik kang Ahmad pang bejaankeun urang sunda nu mana atanapi urang sunda nu 
dibeulah mana nu biasa puasa 10 Muharam teras menggelar majelis ilmu, ziarah 
(spiritual), dan doa bersama?

hatur nuhun sateuacana,
salam
JP
 
Makarya Mawa Raharja





Dari: Ahmad Sahidin ahmadsahi...@ymail.com
Kepada: jejaring-persis milis jejaring-per...@yahoogroups.com; ikhwanusshafa 
milis ikhwanussh...@yahoogroups.com; SuaraHati suarah...@yahoogroups.com; 
Ki 
Sunda Milis kisunda@yahoogroups.com
Terkirim: Jum, 10 Desember, 2010 15:01:15
Judul: [kisunda] membahas hadis puasa 10 Muharram

  
salam
ini salah satu tulisan lama saya yg pernah dimuat dalam blog...
mudah2an bermanfaat:)

SALAH seorang sahabat Nabi Muhammad saw, Abdullah Ibn Abbas menceritakan bahwa 
ketika Nabi Muhammad saw datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi 
melakukan puasa di hari Asyura. Rasulullah saw bertanya, “Hari apa ini?”

Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah 
selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada 
hari 
ini.”

Setelah mendengar penjelasan itu Nabi Muhammad saw berkata, “Saya lebih berhak 
mengikuti Musa daripada kalian (kaum Yahudi).” Maka saat itu beliau berpuasa 
pada hari Asyura itu dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya. (Shahih 
Bukhari No.1900)

Hadis mengenai puasa Asyura ini diterima juga oleh Aisyah binti Abu Bakar, yang 
menyampaikan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan 
untuk puasa di hari Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, (bersabda) 
barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan 
barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka.” (HR.Bukhari No.1897)

Menurut Ustadz Abdullah Beik, ketua Departemen Pendidikan Islamic Center 
Jakarta, puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad saw biasanya berkaitan 
dengan hari-hari bahagia atau berkaitan dengan ritual Islam seperti Senin yang 
merupakan hari kelahiran Nabi, puasa tanggal 9 Dzulhijjah berkaitan dengan 
wukuf 
arafah, puasa ayyamul bidh tanggal 13,14,15 bulan komariah, dan lainnya. Asyura 
bukanlah hari bahagia, tapi hari kesedihan atas wafatnya cucu Rasulullah saw 
yang dibantai pasukan musuh Islam. Karena itu, dalam mazhab Ahlulbait dilarang 
berpuasa pada hari Asyura, yang ada hanya dianjurkan untuk imsak (baca: tidak 
makan dan tidak minum) sampai waktu zuhur dalam rangka meresapi dan merasakan 
kehausan yang dialami oleh Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, keluarga dan 
sahabatnya saat menjalani perang melawan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala.

Memang sering disebutkan alasan-alasan dianjurkannya berpuasa pada 10 Muharram. 
Namun banyak ulama, Ahlulbait khususnya, yang menyatakan bahwa hadis-hadis 
tentang keutamaan puasa Asyura tersebut tidak benar karena para perawinya tidak 
terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat.

“Contohnya tentang bumi yang diciptakan pada 10 Muharram. Ini betul-betul 
sangat 
aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di 
sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum 
diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama. Yang 
kedua, andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun 
pasca kesyahidan Imam Husain tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka 
yang menimpa keluarga Rasulullah tidak ada bandingannya. Sehingga kesedihan 
yang 
seharusnya dirasakan seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai 
Rasulullah dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan 
menyenangkan di atas,” tegasnya.

Di Indonesia, memperingati Asyura dengan menjalankan puasa seringkali dianggap 
sunnah Nabi saw. Mungkin karena tidak memahami ilmu-ilmu hadis, sehingga sumber 
yang tak jelas pun dianggap benar. Padahal, bila ditelusuri secara akal sehat, 
isi hadis keutamaan 10 Muharram itu tidak rasional dan tampak dibuat-buat.
Ada tiga alasan mengapa hadis tentang puasa Asyura yang dimuat di awal tulisan 
harus diragukan kebenarannya.

Pertama, Rasulullah saw datang pertama kali ke Madinah bulan Rabiul Awal, bukan 
bulan Muaharram. Jadi, tak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan 
Rabiul Awwal. Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksudkan datangya Nabi 
Muhammad saw ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahu tahun terakhir (masa 
hidup Rasulullah) saat mengetahui kebiasaan kaum Yahudi. Itu pun tak mungkin 
baru mengetahui kalau sudah menetap di Madinah cukup lama. Bukankah hadis 
tentang puasa Asyura ini hadirnya beberapa hari menjelang wafat Rasulullah saw. 
Ketiga, tidak mungkin Rasulullah saw mengikuti kebiasaan Yahudi. Bukankah sudah 
ada aturan ibadah yang penentuannya jelas dari Allah. Karena itu, tak mungkin 
Rasulullah saw mengikuti syariat terdahulu yang tidak jelas perintahnya.

Lalu, mengapa ada hadis-hadis tersebut? Mengapa hari Asyura dianjurkan puasa? 
Adakah sisi politis dari perawi saat proses tadwin (pengumpulan) hadis?

Dalam sejarah Islam

[kisunda] membahas hadis puasa 10 Muharram

2010-12-10 Terurut Topik Ahmad Sahidin
salam
ini salah satu tulisan lama saya yg pernah dimuat dalam blog...
mudah2an bermanfaat:)
 
SALAH seorang sahabat Nabi Muhammad saw, Abdullah Ibn Abbas menceritakan bahwa 
ketika Nabi Muhammad saw datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi 
melakukan puasa di hari Asyura. Rasulullah saw bertanya, “Hari apa ini?”

Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah 
selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada 
hari ini.”

Setelah mendengar penjelasan itu Nabi Muhammad saw berkata, “Saya lebih berhak 
mengikuti Musa daripada kalian (kaum Yahudi).” Maka saat itu beliau berpuasa 
pada hari Asyura itu dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya. (Shahih 
Bukhari No.1900)

Hadis mengenai puasa Asyura ini diterima juga oleh Aisyah binti Abu Bakar, yang 
menyampaikan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan 
untuk puasa di hari Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, (bersabda) 
barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan 
barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka.” (HR.Bukhari No.1897)

Menurut Ustadz Abdullah Beik, ketua Departemen Pendidikan Islamic Center 
Jakarta, puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad saw biasanya berkaitan 
dengan hari-hari bahagia atau berkaitan dengan ritual Islam seperti Senin yang 
merupakan hari kelahiran Nabi, puasa tanggal 9 Dzulhijjah berkaitan dengan 
wukuf arafah, puasa ayyamul bidh tanggal 13,14,15 bulan komariah, dan lainnya. 
Asyura bukanlah hari bahagia, tapi hari kesedihan atas wafatnya cucu Rasulullah 
saw yang dibantai pasukan musuh Islam. Karena itu, dalam mazhab Ahlulbait 
dilarang berpuasa pada hari Asyura, yang ada hanya dianjurkan untuk imsak 
(baca: tidak makan dan tidak minum) sampai waktu zuhur dalam rangka meresapi 
dan merasakan kehausan yang dialami oleh Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, 
keluarga dan sahabatnya saat menjalani perang melawan pasukan Yazid bin 
Muawiyah di Karbala.

Memang sering disebutkan alasan-alasan dianjurkannya berpuasa pada 10 Muharram. 
Namun banyak ulama, Ahlulbait khususnya, yang menyatakan bahwa hadis-hadis 
tentang keutamaan puasa Asyura tersebut tidak benar karena para perawinya tidak 
terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat.

“Contohnya tentang bumi yang diciptakan pada 10 Muharram. Ini betul-betul 
sangat aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi 
di sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum 
diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama. Yang 
kedua, andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun 
pasca kesyahidan Imam Husain tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka 
yang menimpa keluarga Rasulullah tidak ada bandingannya. Sehingga kesedihan 
yang seharusnya dirasakan seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai 
Rasulullah dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan 
menyenangkan di atas,” tegasnya.

Di Indonesia, memperingati Asyura dengan menjalankan puasa seringkali dianggap 
sunnah Nabi saw. Mungkin karena tidak memahami ilmu-ilmu hadis, sehingga sumber 
yang tak jelas pun dianggap benar. Padahal, bila ditelusuri secara akal sehat, 
isi hadis keutamaan 10 Muharram itu tidak rasional dan tampak dibuat-buat.
Ada tiga alasan mengapa hadis tentang puasa Asyura yang dimuat di awal tulisan 
harus diragukan kebenarannya.

Pertama, Rasulullah saw datang pertama kali ke Madinah bulan Rabiul Awal, bukan 
bulan Muaharram. Jadi, tak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan 
Rabiul Awwal. Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksudkan datangya Nabi 
Muhammad saw ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahu tahun terakhir (masa 
hidup Rasulullah) saat mengetahui kebiasaan kaum Yahudi. Itu pun tak mungkin 
baru mengetahui kalau sudah menetap di Madinah cukup lama. Bukankah hadis 
tentang puasa Asyura ini hadirnya beberapa hari menjelang wafat Rasulullah saw. 
Ketiga, tidak mungkin Rasulullah saw mengikuti kebiasaan Yahudi. Bukankah sudah 
ada aturan ibadah yang penentuannya jelas dari Allah. Karena itu, tak mungkin 
Rasulullah saw mengikuti syariat terdahulu yang tidak jelas perintahnya.

Lalu, mengapa ada hadis-hadis tersebut? Mengapa hari Asyura dianjurkan puasa? 
Adakah sisi politis dari perawi saat proses tadwin (pengumpulan) hadis?

Dalam sejarah Islam pasca-Rasulullah saw dan khulafarrasyidun, 10 Muharram 
merupakan hari bersejarah karena terjadi sebuah peristiwa yang memilukan. Cucu 
Nabi Muhammad saw, Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib dipenggal 
kepalanya—termasuk keluarga dan pengikutnya pun dihabisi—secara keji di Karbala 
oleh pasukan Yazid Ibn Muawiyah. Peristiwa tersebut kemudian diperingati setiap 
10 Muharram oleh kaum Muslim Syiah di seluruh dunia.

Mungkin dari peristiwa Karbala ini, penguasa Bani Umayyah menciptakan 
hadis-hadis palsu untuk menutupi keburukan dan kekejaman yang dilakukan 
terhadap keturunan Rasulullah saw dan para