[ppiindia] Putus Asa dengan Indonesia

2005-04-06 Terurut Topik Ambon

Republika

Selasa, 05 April 2005

Putus Asa dengan Indonesia? 

Oleh : Ahmad Syafii Maarif 


Usai menghadiri rapat Akademi Jakarta (AJ) pada 24 Maret 2005 di Taman Ismail 
Marzuki (TIM), saya berbicara santai tentang berbagai masalah bangsa dan negara 
dengan Bung Rendra, Ajip Rosidi, dan Nh Dini. Sewaktu pertanyaan tentang 
Indonesia saya ajukan kepada Nh Dini, jawabannya telak, ''Saya putus asa dengan 
Indonesia.''

Ungkapan pendek ini saya rasakan sangat tajam, menukik, dan barangkali cukup 
banyak rakyat kita yang sependapat dengan novelis ini. Saya sendiri pada 
berbagai forum pernah pula mengatakan, ''Sekiranya agama mengizinkan, saya 
sudah putus asa. Tetapi agama melarangnya, oleh sebab itu berbuatlah semaksimal 
mungkin untuk perbaikan, sesuai dengan kemampuan dan posisi kita 
masing-masing.'' Kemudian lontaran Nh Dini ini saya SMS-kan kepada beberapa 
teman. Reaksi mereka beragam, sesuai dengan pandangan masing-masing. Ada yang 
memberi jawaban pendek, ''Astaghfirullah!'', tetapi ada pula dengan nada 
empati, seperti yang di-SMS-kan oleh Bung Rizal Ramli, ''Pak Maarif, pendapat 
yang demikian semakin meluas. Mari kita berbuat sesuatu agar keputusasaan tidak 
menghantui kita.''

Saya rasa seorang seniman atau sastrawan di manapun di muka bumi ini tidak 
jarang mewakili nurani rakyat yang paling dalam, karena keadilan yang dinanti 
tak kunjung datang, sementara para politisi asyik membual dengan retorika 
vulgar dan dangkal. Masalahnya, di negeri kita adalah bahwa sedikit sekali di 
antara kaum elite kita yang mau bergaul dengan seniman/sastrawan, padahal siapa 
tahu suara mereka memang mewakili realitas yang sebenarnya. Kalau demo dianggap 
ada yang menunggangi, maka ekspresi seorang sastrawan adalah ekspresi hati 
nurani yang tidak dapat ditunggangi, kecuali sastrawan partisan.

Sebelum rapat, kami juga mendengar cerita sedih dari Misbach Yusa Biran tentang 
pengalamannya dengan sebuah rumah sakit di Jakarta yang minta uang muka Rp 11 
juta, dan kemudian dokter yang salah praktik, sebagaimana sering kita dengar 
pula di berbagai tempat. Pasien umumnya tidak berdaya, sementara sebagian 
dokter sudah sangat materialistik. Persoalannya tetap saja, yaitu bahwa hati 
nurani kita semakin lama semakin kasar dan bahkan tumpul. Itu belum lagi 
berbicara tentang tragedi demi tragedi yang diderita oleh TKI/TKW kita di luar 
negeri, sudah terlalu biasa diperlakukan sebagai setengah manusia, hampir tanpa 
perlindungan, padahal mereka adalah juga sebagai sumber devisa untuk negara 
dalam jumlah ratusan miliar rupiah.

Rendra sudah terlalu sering mengingatkan tentang Indonesia sebagai sebuah 
negara maritim, tetapi kekuatan pengawal perairan lautnya rapuh sekali. Maka, 
sudah seharusnya dalam kurikulum pendidikan masalah maritim ini dimasukkan. 
Bukankah Indonesia dengan jumlah pulau sekitar 17.565 adalah sebuah negara 
kepulauan yang terpanjang dan terluas di dunia? Di samping panjang dan luas, 
juga mungkin terindah. Tetapi mengapa, perhatian kita terhadap laut selama ini 
sangat lemah? Maka, jangan heran nelayan-nelayan asing sudah puluhan tahun lalu 
lalang di perairan kita untuk mencuri ikan, dan tidak jarang pula berkongsi 
dengan anak negeri, karena lemahnya pengawasan aparat kita. Bahkan, bukan 
rahasia lagi sebagian aparat malah bekerja sama dengan para pencuri itu.

Tampaknya Indonesia kita ini adalah sebuah bangsa yang ruwet, terlalu banyak 
bisulnya. Tetapi, kita boleh bangga bahwa selama hampir 60 tahun kita merdeka, 
negeri ini relatif masih utuh. Hanya pertanyaannya adalah: untuk berapa lama 
bisa bertahan. Seorang teman yang sangat mengerti masalah pengurusan listrik di 
nusantara yang serba memusat hingga hari ini, sampai-sampai mengatakan bahwa 
Indonesia ini memang terlalu besar untuk menjadi sebuah negara. Pendapat ini 
tidak ada hubungannya dengan kecenderungan untuk membagi-bagi bangsa ini, 
tetapi semata-mata karena keprihatinan dalam mengamati masalah kita yang serba 
kusut, tidak mudah diurai, kecuali kita mau merancang ulang negeri ini, sebab 
siapa tahu dengan cara itu kita akan dapat keluar dari suasana yang serba buntu 
ini. Proses merancang ulang ini adalah pekerjaan raksasa yang harus dipikirkan 
matang-matang. 

Ide tentang otonomi daerah sebenarnya adalah salah satu cara untuk mengubah 
kebijakan yang serba memusat itu. Tetapi setelah dijalankan, muncul pula 
masalah baru berupa raja-raja lokal yang pendek akal yang menutup daerahnya 
terhadap daerah lain. Untuk proses kepindahan guru dari satu daerah ke daerah 
lain, misalnya, sungguh sulit, demi otonomi. Jika arus ini tetap berlangsung, 
maka sudah dapat dipastikan bahwa kesenjangan kualitas pendidikan kita akan 
semakin parah. Nasionalisme etnis/lokal adalah bahaya masa depan bagi keutuhan 
negeri ini. Akhirnya, marilah berpikir jernih, tidak putus asa, tetapi tetap 
kritis, serta mau mendengarkan pendapat seniman/sastrawan kita. 


[Non-text portions of this message have been removed]



 Yahoo! 

Re: [ppiindia] Putus Asa dengan Indonesia

2005-04-06 Terurut Topik A Nizami

Mana mau. Bukankah justru orang kaya itu yang bikin
hutang, kemudian dibebankan ke negara?

Uang mereka sudah dilarikan ke luar negeri.

--- Samudjo [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Kalo udah ngga kuat bayar hutang, kita bubarkan aja
 republik ini
 Artinya: Kalo para orang kaya (1 juta dollar) mau
 mbayari hutang Republik
 ini, barulah mungkin Itang Yunas..zangan marah Bang
 Itang,maksudku Hutang
 Lunas
 Ngono,
 samudjo
 - Original Message -
 From: Ambon [EMAIL PROTECTED]
 To: Undisclosed-Recipient:;
 Sent: Wednesday, April 06, 2005 4:12 PM
 Subject: [ppiindia] Putus Asa dengan Indonesia
 
 
 
  Republika
 
  Selasa, 05 April 2005
 
  Putus Asa dengan Indonesia?
 
  Oleh : Ahmad Syafii Maarif
 
 
  Usai menghadiri rapat Akademi Jakarta (AJ) pada 24
 Maret 2005 di Taman
 Ismail Marzuki (TIM), saya berbicara santai tentang
 berbagai masalah bangsa
 dan negara dengan Bung Rendra, Ajip Rosidi, dan Nh
 Dini. Sewaktu pertanyaan
 tentang Indonesia saya ajukan kepada Nh Dini,
 jawabannya telak, ''Saya putus
 asa dengan Indonesia.''
 
  Ungkapan pendek ini saya rasakan sangat tajam,
 menukik, dan barangkali
 cukup banyak rakyat kita yang sependapat dengan
 novelis ini. Saya sendiri
 pada berbagai forum pernah pula mengatakan,
 ''Sekiranya agama mengizinkan,
 saya sudah putus asa. Tetapi agama melarangnya, oleh
 sebab itu berbuatlah
 semaksimal mungkin untuk perbaikan, sesuai dengan
 kemampuan dan posisi kita
 masing-masing.'' Kemudian lontaran Nh Dini ini saya
 SMS-kan kepada beberapa
 teman. Reaksi mereka beragam, sesuai dengan
 pandangan masing-masing. Ada
 yang memberi jawaban pendek, ''Astaghfirullah!'',
 tetapi ada pula dengan
 nada empati, seperti yang di-SMS-kan oleh Bung Rizal
 Ramli, ''Pak Maarif,
 pendapat yang demikian semakin meluas. Mari kita
 berbuat sesuatu agar
 keputusasaan tidak menghantui kita.''
 
  Saya rasa seorang seniman atau sastrawan di
 manapun di muka bumi ini tidak
 jarang mewakili nurani rakyat yang paling dalam,
 karena keadilan yang
 dinanti tak kunjung datang, sementara para politisi
 asyik membual dengan
 retorika vulgar dan dangkal. Masalahnya, di negeri
 kita adalah bahwa sedikit
 sekali di antara kaum elite kita yang mau bergaul
 dengan seniman/sastrawan,
 padahal siapa tahu suara mereka memang mewakili
 realitas yang sebenarnya.
 Kalau demo dianggap ada yang menunggangi, maka
 ekspresi seorang sastrawan
 adalah ekspresi hati nurani yang tidak dapat
 ditunggangi, kecuali sastrawan
 partisan.
 
  Sebelum rapat, kami juga mendengar cerita sedih
 dari Misbach Yusa Biran
 tentang pengalamannya dengan sebuah rumah sakit di
 Jakarta yang minta uang
 muka Rp 11 juta, dan kemudian dokter yang salah
 praktik, sebagaimana sering
 kita dengar pula di berbagai tempat. Pasien umumnya
 tidak berdaya, sementara
 sebagian dokter sudah sangat materialistik.
 Persoalannya tetap saja, yaitu
 bahwa hati nurani kita semakin lama semakin kasar
 dan bahkan tumpul. Itu
 belum lagi berbicara tentang tragedi demi tragedi
 yang diderita oleh TKI/TKW
 kita di luar negeri, sudah terlalu biasa
 diperlakukan sebagai setengah
 manusia, hampir tanpa perlindungan, padahal mereka
 adalah juga sebagai
 sumber devisa untuk negara dalam jumlah ratusan
 miliar rupiah.
 
  Rendra sudah terlalu sering mengingatkan tentang
 Indonesia sebagai sebuah
 negara maritim, tetapi kekuatan pengawal perairan
 lautnya rapuh sekali.
 Maka, sudah seharusnya dalam kurikulum pendidikan
 masalah maritim ini
 dimasukkan. Bukankah Indonesia dengan jumlah pulau
 sekitar 17.565 adalah
 sebuah negara kepulauan yang terpanjang dan terluas
 di dunia? Di samping
 panjang dan luas, juga mungkin terindah. Tetapi
 mengapa, perhatian kita
 terhadap laut selama ini sangat lemah? Maka, jangan
 heran nelayan-nelayan
 asing sudah puluhan tahun lalu lalang di perairan
 kita untuk mencuri ikan,
 dan tidak jarang pula berkongsi dengan anak negeri,
 karena lemahnya
 pengawasan aparat kita. Bahkan, bukan rahasia lagi
 sebagian aparat malah
 bekerja sama dengan para pencuri itu.
 
  Tampaknya Indonesia kita ini adalah sebuah bangsa
 yang ruwet, terlalu
 banyak bisulnya. Tetapi, kita boleh bangga bahwa
 selama hampir 60 tahun kita
 merdeka, negeri ini relatif masih utuh. Hanya
 pertanyaannya adalah: untuk
 berapa lama bisa bertahan. Seorang teman yang sangat
 mengerti masalah
 pengurusan listrik di nusantara yang serba memusat
 hingga hari ini,
 sampai-sampai mengatakan bahwa Indonesia ini memang
 terlalu besar untuk
 menjadi sebuah negara. Pendapat ini tidak ada
 hubungannya dengan
 kecenderungan untuk membagi-bagi bangsa ini, tetapi
 semata-mata karena
 keprihatinan dalam mengamati masalah kita yang serba
 kusut, tidak mudah
 diurai, kecuali kita mau merancang ulang negeri ini,
 sebab siapa tahu dengan
 cara itu kita akan dapat keluar dari suasana yang
 serba buntu ini. Proses
 merancang ulang ini adalah pekerjaan raksasa yang
 harus dipikirkan
 matang-matang.
 
  Ide tentang otonomi daerah sebenarnya adalah salah
 satu cara untuk
 mengubah kebijakan