[R@ntau-Net] Negeri 1001 Maling (Catatan Untuk Kandidat Presiden)
Negeri 1001 Maling (Catatan Untuk Kandidat Presiden) Oleh Ruslan Ismail Mage By padangekspres, Rabu, 09-Juni-2004, 03:27:23 WIB Kalau Irak disebut negeri 1001 malam, maka Indonesia bisa disebut negeri 1001 maling. Demikian celoteh mengawali suatu dialog intelektual dengan teman-teman di Pascasarjana Ilmu Politik UI mengenai Teori Ketergantungan. Salah satu di antaranya yang menarik diperdebatkan adalah keasyikan pemerintah Indoensia selalu menggunakan fasilitas bantuan luar negeri. Hal ini menjadi menarik dikritisi, karena realitas lapangan selama Orde Baru sampai Orde Reformasi sekarang utang bangsa Indonesia bukannya berkurang, tetapi justru sebaliknya bertambah terus. Ada kecenderungan pemimpin yang berkuasa memanfaatkan kesempatan untuk memperbanyak utang tanpa harus melihat dampaknya, karena menurut logika politiknya yang akan bertugas menyelesaikan utang adalah pemimpin berikutnya. Sebagai catatan pada bulan Maret 1998, total utang luar negeri Indonesia mencapai 138 miliar dolar AS. Pada akhir tahun anggaran 1998/1999 jumlah utang luar negeri Indonesia telah mencapai 146,5 miliar dolar AS. Jumlahnya kemudian membengkak tahun 2002 dengan total 213 miliar dolar AS, dan sampai pertengahan tahun 2004 ini utang bangsa yang subur ini sudah kurang lebih 500 miliar dolar AS. Dalam dunia yang semakin mengglobal hampir tidak ada negara yang mampu berdiri sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Persoalannya kemudian ketika ada beberapa negara yang sukses mengolola pinjaman luar negerinnya dengan baik, tetapi ada juga negara yang justru setiap tahun hanya menamba beban hutangnya. Jadi pada dasarnya pinjaman luar negeri itu bisa menguntungkan, selama dikelola dengan jujur dan transparan. Tetapi kalau pinjaman itu dikendalikan oleh birokrasi yang korup, kemudian berkolaborasi dengan maling-maling berdasi, maka sebanyak apa pun pinjaman itu pasti habis tanpa hasil yang menjanjikan. Tulisan ini bukan untuk mencela bangsa sendiri, tetapi karena realitas di lapangan menunjukkan bahwa negara kita adalah termasuk negara terkorup di dunia, maka jangan pernah bermimpi kalau hutang luar negeri bisa berkurang apalagi terlunasi. Soalnya pinjaman itu tidak pernah dikelola dengan baik untuk bisa membangun bangsa apalagi mensejahterakan rakyat, tetapi hanya dijadikan lahan korupsi oleh beberapa orang untuk tujuan-tujuan tertentu. Siapa yang menyangsikan kalau negara ini tidak dihuni 1001 macamnya maling, mulai dari pejabat tertinggi sampai pejabat terendah bisa dikatakan maling, pintar semua memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya dengan menghalalkan segala macam cara, tanpa memikirkan nasib rakyat kecil yang semakin banyak menderita kelaparan. Kesadaran intelektual kita sebagai anak-anak bangsa, terkoyak-koyak lagi katika di tengah rakyat menderita kelaparan, uang negara justru seenaknya dicuri oleh orang-orang elite ekonomi. Mulai dibobolnya dana BNI Rp I,7 triliunan oleh seorang wanita yang sampai saat ini masih seenaknya ongkan-ongkan kaki di Singapura, kemudian menyusul uang BRI dicuri ratusan juta rupiah, sampai salah satu anak perusahaan pertamina yang berbasis di Singapura dibobol 8,2 juta dollar AS. Belum lagi korupsi yang terjadi di daerah-daerah. Lalu kapankah korupsi di republik ini bisa dihentikan atau minimal dikurangi. Terlalu pagi rasanya kalau mengatakan lima atau sepuluh tahun lagi, bahkan bisa sampai mati korupsi akan tumbuh subur di negeri yang subur ini. Indikatornya bisa dilihat dari mulai jaman Orde Baru sampai Orde Reformasi ini, presiden terpilih tetap saja memberi ruang gerak kepada koruptor untuk menggerogoti uang negara, tanpa memberi hukuman yang seberat-beratnya. Tengoklah beberapa koruptor yang kendatipun sudah memenuhi persyaratan hukum untuk ditahan, tetapi masih tetap bebas berkeliaran. Kalaupun ada yang masuk bui, itu hanya sekedar pembuktian publik bahwa pemerintah masih ada keinginan untuk memberantas korupsi. Lebih dari itu penahanan koruptor di republik ini biasanya tergantung besar kecilnya kontrak politik yang ada di baliknya. Sebenarnya harapan korupsi bisa diberantas pernah muncul pasca terpilihnya Megawati jadi presiden yang dianggap akan berpihak kepada rakyat. Tetapi realitas pemerintahannya kemudian menunjukkan kalau korupsi bukannya menurun, bahkan korupsi semakin menjadi-jadi dihampir semua kalangan masyarakat. Kalau pada jaman Orde Baru korupsi masih tersentralisasi dan terbatas dilakukan oleh orang-orang tertentu di lingkaran birokrasi, tetapi di era reformasi ini korupsi sudah terdesentralisasi dan hampir merata bisa dilakukan oleh semua kalangan masyarakat. Saking banyaknya uang negara yang dicuri maling-maling terhormat, sampai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie mengakaui sangat kesulitan menghitung berapa besarnya korupsi yang terjadi di berbagai daerah. Tetapi menurutnya, tidak kurang selama setahun uang negara yang dikorup mencapai Rp 306 triliun. Sehingga tidak
[R@ntau-Net] Negeri 1001 Maling
Dari Suara Muhammadiyah, sabagai bahan renungan http://www.suaramuhammadiyah.or.id/documents/kolom.htm Salam Is, 34 www.cimbuak.com #Kampuang Nan Jauah Dimato Dakek Di Jari# Negeri 1001 Maling Harwanto Dahlan Semboyan tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina tampaknya telah mendapat saingan. Khusus untuk ilmu mencuri, mungkin Indonesia kini sudah selangkah di depan negara-negara lain dan siap menjadi daerah tujuan belajar. Bahkan kalau Irak disebut sebagai Negeri 1001 Malam, maka Indonesia bisa dijuluki Negeri 1001 Maling. Berbagai teknik mencuri telah diterapkan dengan sukses oleh orang-orang Indonesia. Contoh-contoh pencurian bisa diperoleh dari para eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Karena dihuni banyak pencuri, maka lembaga-lembaga tersebut bisa menjadi executhieves, legislathieves, dan judicathieves. Kisah-kisah 1001 Maling pun juga sangat menarik. Konon, kisah pencurian dimulai dari mencuri kekuasaan. Supersemar menjadi kisah pencurian kekuasaan sangat elok yang sampai sekarang tetap belum terbongkar. Versi resmi menyatakan bahwa yang terjadi adalah peralihan kekuasaan secara sukarela, tidak seperti sebuah versi lain yang menyatakan di bawah todongan pistol. Tetapi bukti sukarela, khususnya secarik kertas yang banyak orang ingin melihatnya, raib tak diketahui di mana keberadaannya. Bahkan lembaga Arsip Nasional pun tidak menyimpannya. Di negara lain, sebuah dokumen yang tergolong sangat rahasia dijaga oleh pemerintah dengan sungguh-sungguh. Namun tetap ada batasan, misalnya setelah 25 tahun rakyat berhak mengetahuinya. Di negeri ini dokumen yang teramat sangat penting seperti Supersemar pun bisa raib! Selanjutnya kisah pencurian harta. Adalah eksekutif yang juga memulai kisah-kisah fantastis pencurian harta. Menggunakan pola Ken Arok dan Keboijosebuah ungkapan untuk menggambarkan orang bodoh dan tidak berpengalamaneksekutif memulai kisah spektakuler pertama dengan menjadikan Budiadji sebagai keboijo kasus korupsi 6 milyar rupiah di Dolog. Mungkin merasa tidak enak memakan bangsa sendiri, maka mereka kemudian meminjam tangan Edy Tansil yang sukses mengeruk Rp. 1,3 trilyun. Kisah ini juga menuai banyak pujian karena kemampuan eksekutif menghilangkan Edy Tansil. Mungkin kalau di-rating, kasus Tansil mendapat bintang empat. Dilibatkannya etnis Tionghoa dalam kasus-kasus pencurian kemudian semakin meningkat dengan kemudahan mendirikan bank, tidak dihukumnya mereka yang menggelapkan uang nasabah, sampai kemudian ditutup dengan kisah yang peringkatnya bintang lima yaitu BLBI. Kalau jaman Orde Baru yang pesta eksekutif, sekarang gantian dong, adalah ungkapan yang mungkin pernah anda dengar ketika orang mulai mempertanyakan betapa legislatif juga sudah mulai cenderung menyimpang. Dan sinyalemen masyarakat tidak keliru ketika mereka menyaksikan lembaga perwakilan mereka bergeser menjadi legislathieves. Untuk menjadi anggota dewan yang mulia orang harus berbuat all out dan at all cost, alias dengan segala cara dan tak peduli berapa banyak biaya yang mesti dikeluarkan. Menggunakan ijazah palsu, melegalisasi ijazah di kelurahan, menyumbang partai dengan jumlah uang yang besar agar memperoleh nomor peci, adalah beberapa teknik pencurian yang tidak pernah berubah dalam perpolitikan di Indonesia. ltu saja baru proses menjadi caleg. Bagaimana kalau mereka nanti sudah menjadi anggota legislatif? Sudah bukan rahasia lagi kalau para anggota dewan, baik di pusat maupun di daerah, adalah orang-orang yang sedang dimanjakan oleh keadaan. Bagaimana tidak? Mereka menentukan sendiri berapa besar anggaran mereka, termasuk di dalamnya tunjangan hadir sidang, fasilitas pribadi mulai dari mobil dinas sampai asuransi, kunjungan kerja dan studi bandingkalau perlu ke luar negeri, serta pesangon yang di Jogja mencapai sekitar seratus juta rupiah. Hebatnya, prestasi DPR/D sepertinya tidak berkorelasi positif dengan kontraprestasinya. Sebuah media nasional memuat daftar nama anggota DPR yang sering mangkir rapat. Juga sudah menjadi tontotan publik melalui televisi ketika para anggota dewan mengikuti sidang paripurna, banyak diantara mereka yang hanya diam, ngantuk, baca koran, terima atau kirim SMS, atau memang lebih suka membiarkan kursinya kosong. Luar biasa! Ini teknik pencurian yang sangat halus. Masih banyak kisah lain yang tidak kalah spektakuler. Lihat saja dunia peradilan. Mulai dari kasus-kasus kecil suap-menyuap hakim sampai sekarang kasus pembebasan mereka-mereka yang terlibat dalam skandal perbankan. Dengan berbagai alasan, kita melihat mengapa si A dihukum