[Urang Sunda] FW: [Comm M] Renungan Hikmah

2005-10-05 Terurut Topik Nia Sri Winiarsih





Hapunten baraya,..teu 
disundakeun..
sanes bade memprovokator 
atanapi niat jelek, mung hoyong meneruskan email anu ku abdi 
katampi

Nia



  
  

  Sikap 
  Adil untuk Nurcholish Madjid 

  


  
  

  Nurcholish 
  Madjid, telah meninggal dunia. Semoga Allah memberi balasan atas amalnya. 
  Namun pikirannya, sampai kapanpun tetap terbuka untuk dikritik. Baca CAP 
  Adian Husaini ke-113 Jum'at, 2 September 2005Oleh: 
  Adian 
  HusainiNurcholish Madjid, yang biasa dipanggil sebagai 
  Cak Nur telah meninggal dunia pada hari Senin, 29 Agustus 2005, pukul 
  14.05 WIB, di RS Pondok Indah Jakarta. Saat berita itu datang, saya 
  sedang bertamu di rumah Prof. Halim Mat Diah, guru besar di Universiti 
  Malaya, Kuala 
  Lumpur. Ketika berita itu saya sampaikan kepada 
  Prof. Halim, dia berucap singkat: Jazallaahu hasba maa amila (Semoga 
  Allah memberi balasan, setimpal dengan amal perbuatannya). Prof. 
  Halim mengenal cukup dekat sosok dan pemikiran Nurcholish Madjid. Ia 
  menyelesaikan jenjang pendidikannya dari S-1 sampai S-3 di IAIN Yogyakarta. Sembilan tahun ia tinggal di 
  Kota Gudeg itu dan sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam, termasuk 
  para pelopor sekularisasi dan liberalisasi Islam di Indonesia, yang ketika 
  itu berkumpul di Limited Group Yogyakarta.Nurcholish Madjid kemudian 
  dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ini seolah-olah memberikan 
  isyarat, bahwa pemerintah Indonesia memandang sosok Nurcholish Madjid 
  sebagai seorang yang berjasa besar terhadap bangsa Indonesia. 
  Seperti biasa, dalam rangkaian upacara prosesi kematian seseorang, 
  puji-pujian pun berhamburan. Para penulis 
  sibuk menggoreskan penanya dengan berbagai pujian dan sanjungan untuk 
  Nurcholish.Eep Saefulloh Fatah menulis kolom di Koran Tempo (30/8/2005), dengan judul 
  Cak Nur, Pemelihara 
  Ingatan. Ditulisnya, Bintang paling cemerlang di 
  langit intelektual Indonesia itu --Dr. Nurcholish 
  Madjid alias Cak Nur-- redup sudah. Senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05, 
  di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Cak Nur dipanggil Tuhan pulang. 
  Bukan hanya kita di Indonesia yang berduka. Semua 
  umat manusia pembela pluralisme dan kebebasan berpikir selayaknya 
  kehilangan.Tentu, puji-pujian seperti itu sudah biasa bagi 
  Nurcholish. Sebelum meninggal pun, Nurcholish sudah sering dipuji 
  habis-habisan, yang kadang kala melewati batas kepatutan. Saya 
  pernah mengkritik sebuah draft naskah buku tentang Islam di Asia Tenggara 
  yang digarap oleh Australian National University yang menyebut Nurcholish 
  dan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh Islam kultural. Padahal, ada nama lain 
  yang lebih patut disebut, yaitu Dr. Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang 
  juga pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 
  Sebenarnya, disamping puji-pujian, ada juga suara lain yang tidak 
  terekam oleh media massa di 
  Indonesia. Ketika itu, HP saya 
  dibanjiri dengan SMS yang isinya mensyukuri kepergian Nurcholish. 
  Ada juga SMS yang berisi 
  pertanyaan, apakah dia harus dishalatkan dengan cara syariat Islam atau 
  dengan cara agama sipilis 
  (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Malah ada 
  yang mengirimkan SMS berbunyi: Cak Nur dijemput 
  IsrailAlhamdulillahilladzi nashara abdahu wa aazza diinahu. Dan 
  sebagainya.Suara-suara umat yang berbeda dengan arus besar opini 
  media massa seperti itu, tentu saja tidak 
  terekam dalam suasana kematian. Apalagi, berbagai cerita seputar 
  tanda-tanda husnul khatimah Nurcholish juga diungkapkan dalam 
  pemberitaan. Bahkan, ada sebuah iklan besar di media massa yang berbunyi: 
  Semoga Allah SWT menerima 
  segala amal sholih Almarhum serta memasukkan ke surga-Nya bersama para 
  Anbiya, Shiddiqin, Syuhada dan Sholihin. Dengan 
  iklan seperti itu, maka sempurnalah pujian buat Nurcholish Madjid, 
  seolah-olah selama ini tidak ada masalah yang serius tentang ide-ide dan 
  pemikiran Islamnya. Padahal, banyak tokoh partai Islam itu yang selama 
  bertahun-bertahun aktif mengkritik pemikiran Nurcholish 
  Madjid.Bagi kita yang terbiasa mengikuti perkembangan pemikiran 
  Islam di Indonesia, tentu paham benar bagaimana dahsyatnya kontroversi 
  pemikiran Nurcholish Madjid selama ini. Pemikiran-pemikiran 
  itu kini tersebar di berbagai buku dan media massa. Siapa saja 
  bisa membacanya. Sampai meninggalnya, Nurcholish tidak mencabut atau 
  meralat pemikiran-pemikirannya. Karena itu, sampai kapanpun, 
  pikiran itu tetap terbuka untuk diikuti dan dikritik. Soal nasibnya 
  sesudah meninggal, kita serahkan kepada Allah, sebagaimana doa dari Prof. 
  Halim Mat Diah tadi: Semoga Allah memberi balasan setimpal dengan amal 
  perbuatannya. 

Re: [Urang Sunda] FW: [Comm M] Renungan Hikmah

2005-10-05 Terurut Topik Hepi





Teu nanaon Neng Nia .. aeh teh Nia
Aya nu resep aya nu teu resep ka Nurcholis Majid, 
kuma we ka Gusdur , keun urang bandungan bae, sok resep ningali batur melihat 
dari kacamata yang berbeda teh..

  
  Hapunten baraya,..teu 
  disundakeun..
  sanes bade memprovokator 
  atanapi niat jelek, mung hoyong meneruskan email anu ku abdi 
  katampi
  
  Nia
  
  
  


  
Sikap 
Adil untuk Nurcholish Madjid 
  

  
  


  
Nurcholish 
Madjid, telah meninggal dunia. Semoga Allah memberi balasan atas 
amalnya. Namun pikirannya, sampai kapanpun tetap terbuka untuk dikritik. 
Baca CAP Adian Husaini ke-113 Jum'at, 2 September 
2005Oleh: Adian 
HusainiNurcholish Madjid, yang biasa dipanggil sebagai 
Cak Nur telah meninggal dunia pada hari Senin, 29 Agustus 2005, pukul 
14.05 WIB, di RS Pondok Indah Jakarta. Saat berita itu datang, saya 
sedang bertamu di rumah Prof. Halim Mat Diah, guru besar di Universiti 
Malaya, Kuala 
Lumpur. Ketika berita itu saya sampaikan kepada 
Prof. Halim, dia berucap singkat: Jazallaahu hasba maa amila 
(Semoga Allah memberi balasan, setimpal dengan amal 
perbuatannya). Prof. Halim mengenal cukup dekat sosok dan 
pemikiran Nurcholish Madjid. Ia menyelesaikan jenjang pendidikannya dari 
S-1 sampai S-3 di IAIN Yogyakarta. 
Sembilan tahun ia tinggal di Kota Gudeg itu dan sering 
berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam, termasuk para pelopor sekularisasi 
dan liberalisasi Islam di Indonesia, yang ketika itu berkumpul di 
Limited Group Yogyakarta.Nurcholish Madjid kemudian 
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ini seolah-olah memberikan 
isyarat, bahwa pemerintah Indonesia memandang sosok Nurcholish 
Madjid sebagai seorang yang berjasa besar terhadap bangsa 
Indonesia. Seperti 
biasa, dalam rangkaian upacara prosesi kematian seseorang, puji-pujian 
pun berhamburan. Para penulis sibuk 
menggoreskan penanya dengan berbagai pujian dan sanjungan untuk 
Nurcholish.Eep Saefulloh Fatah menulis kolom di Koran Tempo (30/8/2005), dengan judul 
Cak Nur, Pemelihara 
Ingatan. Ditulisnya, Bintang paling cemerlang di 
langit intelektual Indonesia itu --Dr. 
Nurcholish Madjid alias Cak Nur-- redup sudah. Senin, 29 Agustus 2005, 
pukul 14.05, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Cak Nur dipanggil Tuhan 
pulang. Bukan hanya kita di Indonesia yang berduka. Semua 
umat manusia pembela pluralisme dan kebebasan berpikir selayaknya 
kehilangan.Tentu, puji-pujian seperti itu sudah biasa bagi 
Nurcholish. Sebelum meninggal pun, Nurcholish sudah sering dipuji 
habis-habisan, yang kadang kala melewati batas kepatutan. Saya 
pernah mengkritik sebuah draft naskah buku tentang Islam di Asia 
Tenggara yang digarap oleh Australian National University yang menyebut 
Nurcholish dan Abdurrahman Wahid sebagai tokoh Islam kultural. Padahal, 
ada nama lain yang lebih patut disebut, yaitu Dr. Mohammad Natsir, tokoh 
Masyumi yang juga pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 
Sebenarnya, disamping puji-pujian, ada juga suara lain yang 
tidak terekam oleh media massa di 
Indonesia. Ketika itu, HP 
saya dibanjiri dengan SMS yang isinya mensyukuri kepergian Nurcholish. 
Ada juga SMS yang berisi 
pertanyaan, apakah dia harus dishalatkan dengan cara syariat Islam atau 
dengan cara agama sipilis 
(sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Malah ada 
yang mengirimkan SMS berbunyi: Cak Nur dijemput 
IsrailAlhamdulillahilladzi nashara abdahu wa aazza diinahu. Dan 
sebagainya.Suara-suara umat yang berbeda dengan arus besar opini 
media massa seperti itu, tentu saja tidak 
terekam dalam suasana kematian. Apalagi, berbagai cerita seputar 
tanda-tanda husnul khatimah Nurcholish juga diungkapkan dalam 
pemberitaan. Bahkan, ada sebuah iklan besar di media massa yang 
berbunyi: Semoga Allah SWT 
menerima segala amal sholih Almarhum serta memasukkan ke surga-Nya 
bersama para Anbiya, Shiddiqin, Syuhada dan Sholihin. 
Dengan iklan seperti itu, maka sempurnalah pujian 
buat Nurcholish Madjid, seolah-olah selama ini tidak ada masalah yang 
serius tentang ide-ide dan pemikiran Islamnya. Padahal, banyak tokoh 
partai Islam itu yang selama bertahun-bertahun aktif mengkritik 
pemikiran Nurcholish Madjid.Bagi kita yang terbiasa mengikuti 
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, tentu paham benar bagaimana 
dahsyatnya kontroversi pemikiran Nurcholish Madjid selama ini. 
Pemikiran-pemikiran itu kini tersebar di berbagai buku dan media 
massa.