Inilah Generasi Terbaik dalam
Sejarah<http://muslim.or.id/manhaj/inilah-generasi-terbaik-dalam-sejarah.html>

Posted: 11 Mar 2010 04:00 PM PST

*“Belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan
mereka”*

Abdullah bin Mas’ud *radhiyallahu ‘anhu *mengatakan, “*Barangsiapa hendak
mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka
itu adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu
mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka
adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh
karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena
sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus*.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish shalih, hal. 198)

*Pengertian Sahabat*

*Sahabat *adalah *orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam*, meskipun
sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang
dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada sekedar
duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara,
dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau
orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu
yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits,
hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

*Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat*

Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah
wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan
sering menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat
kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan
firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka mengatakan ; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami
yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada
rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya
Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan termasuk
salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah
menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap
diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi
di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima
Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong
beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang
terjadi di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah
para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun
tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka
balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian
perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al Baqarah : 141). Barangsiapa yang mendiskreditkan para sahabat maka
sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.”
(Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

*Dalil-dalil Al Kitab tentang keutamaan para Sahabat*

   1. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah
   beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang
   kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan
   sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al
   Fath)
   2. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari
   kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan
   harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan
   keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
   orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri
   tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang
   berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa
   butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan
   saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada
   dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr : 8-9)
   3. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha
   kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji
   setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang
   ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka
   dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)
   4. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih
   dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta
   orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada
   mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi
   mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di
   dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At
   Taubah : 100)
   5. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari dimana Allah tidak
   akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka
   bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim : 8) (lihat
   Al Is’aad, hal. 77-78)

*Dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan para Sahabat*

   1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian
   mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila
   seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar
   Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara
   mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.”
   (Muttafaq ‘alaih)
   2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku
   (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian
   orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
   3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu
   adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka
   tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah
   amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang
   dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para
   sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah
   pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang
   sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
   4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
   mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat
   para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)
   5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila
   disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat
   Al Is’aad, hal. 78)

*Dalil Ijma’ tentang keutamaan para Sahabat*

   1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya,
   “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan
   taat) kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang
   terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan
   berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka
   diakui dalam hal ijma’.”
   2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua
   sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam fitnah maupun
   tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang layak untuk
   diperhitungkan pendapatnya.”
   3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah
   sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada
   orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang
   dari kalangan ahli bid’ah.”
   4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat
   adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci
   pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh
   manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah
   madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para
   imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak
   untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja
   dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)

*Urutan keutamaan para Sahabat*

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki
keutamaan yang bertingkat-tingkat. [1] Yang paling utama di antara mereka
adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali,
radhiyallahu’anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh
Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku
dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan
gigi geraham kalian.” [2] Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang
yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu : Abu
‘Ubaidah ‘Aamir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir
bin Al Awwaam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf
radhiyallahu’anhum. [3] Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu [4] Ahlu
Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah
ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui
apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan
kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al
Fath : 18). [5] Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad
sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat
yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara
kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi
daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan
masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al
Hadid : 10). Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah
perdamaian Hudaibiyah. [6] Kemudian kaum Muhajirin secara umum, [7] kemudian
kaum Anshar. Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di
dalam Al Qur’an, Allah subhanahu berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang
fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan
meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan
keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr : 8). Mereka itulah kaum Muhajirin.
Kemudian Allah berfirman tentang kaum Anshar, Sedangkan orang-orang yang
tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga
mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam
hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka
lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka
juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa
bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al
Hasyr : 9). Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum
Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih
utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka,
meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu
menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak
bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab
berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman,
ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat
secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum
Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima
taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah : 117). Hal itu
disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri
dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di
Mekkah, pent). Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah
Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman,
kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap
dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal
pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih
mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih
mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang
tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat
bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena
memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)

*Menyikapi polemik yang terjadi di kalangan para Sahabat*

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap
mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik
yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil
ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah,
red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid
apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila
ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala. Dan polemik
yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih
posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi;
karena kondisi para sahabat radhiyallahu’anhum tidak memungkinkan untuk itu.
Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat
keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia
adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian
maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk
memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan
perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak
memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara
mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)

*Keterjagaan para Sahabat*

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu)
Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa.
Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin
terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang
paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut :

   1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih
   2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih
   dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah
   sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
   3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh
   orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur
   Ridhwan
   4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat
   menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.
   5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
   6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak
   disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa
   menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.
   7. Kaum mukminin senantiasa mendo’akan mereka
   8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka
   adalah umat manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka
yang diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam
(lautan) kebaikan mereka. Hal itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik
manusia setelah para Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat ini,
yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada
suatu kaum yang serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah
Wasithiyah, hal. 83-84)

*Cintailah mereka!*

Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan, “Kami -Ahlus Sunnah-
mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak
melampaui batas dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Dan kami
juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci
orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan
mereka dengan cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali
dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan.
Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran
batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi <http://abumushlih.com/>

Artikel www.muslim.or.id <http://muslim.or.id/>

Kirim email ke