Usaha Kuliner
Limbangan Berliku, Tetapi Menggoda

DI Limbangan, Kabupaten Garut, makan bukan sekadar mengenyangkan
perut. Akan tetapi, juga menyangkut petualangan terhadap khazanah
kuliner, semacam wisata yang menjadikan makanan sebagai objek pemicu
rasa senang.

Oleh karena itu, orang-orang yang mampir di belasan rumah makan di
kanan-kiri jalan antara Nagreg dan Tasikmalaya itu mendapatkan
pengalaman kuliner yang berbeda. Pemandangan alam khas perdesaan nan
indah, makin menambah kepuasan.

Misalnya, selain nasi liwet yang lumer di mulut, orang yang makan juga
mendapat suguhan pemandangan alam yang membuat betah mata. Belum lagi
beragam layanan tambahan mulai dari memetik stroberi, memancing ikan,
bermain flying fox, memandikan kerbau, hingga menanam padi langsung di
sawah, itu semua makin melengkapi kesenangan pengunjungnya.

“Suasana di sini khas sekali. Tak hanya lapar, rasa lelah di jalan
hilang seketika melihat pemandangan yang indah,” kata Irwan (41),
pengunjung Bale Tingtrim.

Dari saung tempat bersantap, warga Jakarta yang tengah melakukan
perjalanan ke Ciamis itu bisa leluasa memandang hamparan sawah yang
elok dalam sistem terasering. Beberapa petani tampak tengah menyiangi
padi umur sebulan yang hijau-segar. Jauh di belakang, bukit-bukit
terlihat biru samar sebagai latarnya. Angin semilir terasa segar
menerpa wajah.

Bale Tingtrim, dulunya bernama Nasi Liwet Banen, adalah salah satu
pioner rumah makan besar di jalur tengah penghubung Jawa Barat-Jawa
Tengah ini. Sebelumnya, warung-warung nasi sederhana yang merajai
jalur ini.

Beroperasi sejak 2001, Nasi Liwet Banen-lah yang pertama kali
menawarkan konsep restoran bercita rasa perdesaan dengan membangun
sembilan saung di lokasi yang strategis. Konsep ini diikuti
restoran-restoran lain yang menjamur di kemudian hari.

Racik Desa, misalnya, mengusung juga cita rasa Sunda, baik dalam
sajian menu maupun dalam penataan ruang. Lebih dari dua puluh saung
bambu didirikan di kompleks rumah makan di Kampung Cigagade itu.

Nyaris tanpa batas dengan hamparan luas sawah di sekelilingnya. Di
atas kolam-kolam ikan di areal tersebut, melintang tambang sepanjang
lima puluh meter sebagai sarana ber-flying fox bagi pengunjung.
Restoran yang didirikan pada Mei 2006 ini juga melayani permintaan
rombongan anak sekolah melangsungkan kegiatan alam, seperti belajar
menanam padi, memandikan kerbau, dan kemah di alam terbuka.

Juju Sujana, pemilik Racik Desa, mempunyai sepetak sawah tak jauh dari
lokasi rumah makan tersebut. Di situlah, beragam kegiatan luar ruangan
dilakukan dengan melibatkan petani sekitar. “Datang ke sini, orang
tidak hanya ingin makan. Mereka juga ingin berekreasi,” katanya.

Beberapa ratus meter sebelum masuk Kecamatan Limbangan dari Nagreg,
ada Rumah Makan Asep Stroberi. Menu dan tampilan ruangnya mirip dengan
kedua restoran sebelumnya. Pemandangan alam perdesaan juga menjadi
suguhan andalan.

Jika Racik Desa berada di lokasi landai yang sejajar dengan sawah,
restoran ini menyesuaikan diri dengan kemiringan lahan. Layanan
tambahan khas di sini adalah kegiatan memetik stroberi.

Masakan Sunda memang mendominasi menu makanan di  belasan rumah makan
di Limbangan, seperti nasi liwet, nasi timbel, pepes, serta berbagai
jenis ikan goreng dan bakar, lengkap dengan lalapan dan sambal. Akan
tetapi, bukan berarti tidak ada menu lain yang layak dicoba. Ada rumah
makan yang secara khusus mempromosikan ikan laut. Ada juga yang
menyodorkan menu lain, mulai dari gulai, sate, nasi rames, hingga tahu
Sumedang. Variasi menu terus bertambah dari tahun ke tahun.

**

Limbangan, sebuah kecamatan di bagian utara Kabupaten Garut. Jaraknya
sekitar 32 kilometer dari pusat kota. Penduduk Limbangan sekitar 80
ribu jiwa. Lebih dari separuhnya bekerja  menggarap sawah. Dari
Bandung, kawasan ini dapat ditempuh dalam waktu satu jam perjalanan
dengan mobil melalui ruas Tol Bandung-Cileunyi. Jalan nasional yang
menembus pegunungan ini memang berliku, tetapi keberadaan belasan
rumah makan dengan berbagai  tawaran menarik, sangat menggoda
pengendara, terutama saat rasa lapar dan lelah  datang menghinggap.
Limbangan menjadi tempat strategis bagi usaha kuliner. Apalagi
didukung pemandangan alam yang menarik.

“Pasar kami adalah semua pengendara yang melintas menuju atau dari
Jabar selatan. Juga, semua yang menuju Jawa atau sebaliknya. Jumlahnya
kan luar biasa banyak. Apalagi saat akhir pekan dan liburan,” kata
Iman S.P, Manajer Rumah Makan Tahu Sumedang, mewakili optimisme para
pengelola rumah makan yang lain.

Dibukanya akses tol dari Cileunyi sampai Purwakarta (Cipularang), yang
menghubungkan dua kota besar Bandung dan Jakarta, benar-benar
berpengaruh besar pada peningkatan volume kendaraan yang melintas di
Limbangan. Ditambah lagi dengan pelebaran jalan Nagreg dan pembangunan
jalan layang.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daeerah (RPJMD)  Garut
2009-2014, Limbangan sebenarnya tidak diproyeksikan sebagai kawasan
bisnis di Garut utara. Justru Malangbong yang masuk dalam rencana.
Namun, Limbangan berkembang lebih cepat. Hal ini tidak terlepas dari
kabar akan adanya pembangunan jalan tol dari Cileunyi ke Nagreg.

"Belum juga tol dibangun, pengembangan malah sudah berjalan. Dan
kelihatannya bagus," kata Kepala Dinas Permukiman Tata Ruang dan Cipta
Karya (Pertacip) Garut Deny Suherlan.

Perkembangan pesat tak terduga ini membuat pemkab berancang-ancang
membangun infrastruktur tambahan di waktu mendatang. Limbangan akan
dijadikan pusat pengembangan suvenir dengan membangun Garut Trade
Centre, sebagai etalase bisnis Garut di wilayah Selatan. “Daya dukung
lahan dan lingkungan cukup memadai. Selama masih bisa bertahan, kenapa
tidak potensi itu kita olah dan wadahi,” ucap Kepala Bidang Tata Ruang
Dinas Pertacip Luna Afianti.

Dari sisi pengembangan wisata, pertumbuhan bisnis kuliner di Limbangan
juga menyiratkan optimisme tersendiri. Selama ini, meski ada tak
kurang dari 28 objek wisata di  Garut,  belum ada yang bisa menyamai
kontribusi kawasan pemandian air Cipanas, yang jadi primadona. “Kami
bisa perkenalkan Limbangan sebagai paket wisata dengan agowisata
Malangbong yang tengah dipersiapkan,” kata Kepala  Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Yatty Rochayati.

Limbangan akan terus tumbuh. Lokasi strategis dengan alam yang elok,
menggoda investor. Restoran-restoran baru boleh jadi akan segera
bermunculan. Oleh karena itu, optimisme harus diimbangi dengan
kebijakan tepat dalam mengatur tata ruang.  Jika tidak, optimisme bisa
menjadi bumerang.

“Jangan sampai semua sawah di sini dijadikan rumah makan. Pemkab harus
selektif dalam memberikan izin. Kalau semua jadi bangunan, kami bisa
melihat apa?” ujar Sari (36), warga Banjar sempat mampir makan di
Racik Desa. Bersama suaminya, Rahmat (37), dia asik menyantap nasi
liwet sambil membuang pandangan di hamparan sawah yang menghijau,
persis di samping saung mereka. (Ririn N.F./Ag. Tri Joko Her
Riadi/"PR"/Lingga S. Wiangga)***

Web: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=132300

Kirim email ke