saya ambil dari milis sekolah-kehidupan,
aslinya dari sebuah tulisan di wordpress
sebuah tulisan yang semoga bisa menyumbang sesuatu untuk dunia (wira)usaha
kita.

aslinya bersama dengan tulisan ini ada undangan bertemu muka dengan Pak
Singgih, di Surabaya.  mungkin ada juga diskusi mengenai dunia wirausaha,
saya kurang tahu tepatnya bagaimana.  saya tidak berani menampilkan di milis
ini sebab oot nya mungkin jadi kejauhan :)

*BR, ari.ams*

---------- Pesan terusan ----------
Dari: Budi Setiawan
Tanggal: 4 Maret 2010 19:44
Subjek: Singgih Susilo Kartono : Sempurna dalam Ketidaksempurnaan




Singgih Susilo Kartono (versi panjang)

October 4, 2009 by
rustikaherlambang<http://rustikaherlambang.wordpress.com/author/rustikaherlambang/>
*Sempurna dalam Ketidaksempurnaan*
[image: singgih kartono susilo]

singgih kartono susilo saat wawancara berlangsung

Totalitas, keras kepala, konsisten, dan penuh daya hidup dalam menjalani
pilihan adalah sebagian dari rahasia kesuksesannya

Di sebuah desa yang sunyi, jauh dari keramaian kota metropolitan, salah satu
produk termewah 2008 versi majalah Time diproduksi. Produk bernama Radio
Kayu Magno yang kini menjadi kegemaran baru di pasar Amerika, Jepang, dan
Eropa itu justru dibincangkan karena kesederhanaan yang ditawarkan.

Singgih Susilo Kartono adalah nama di balik seluruh kerja besar ini. Ia
adalah desainer produk yang memusatkan segala aktivitas bisnisnya dari desa
Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Terbuai
dalam alam pedesaan masa kecil, tinggal di atas tanah orang tua yang sejak
dulu diimpikan, ia mengajak masyarakat setempat untuk bekerja di workshop
sederhana yang berpemandangan alam pedesaan, pesawahan, pepohonan bambu,
bermusik desau angin, dan suara anak-anak bermain sepakbola kertas.

Tahun lalu, ia menduduki posisi 6 dari 276 nominator People Design Award,
Cooper-Hewitt National Design Museum New York, Amerika Serikat. Prestasi ini
berlanjut di Jepang ketika membawa penghargaan Good Design Award – Japan
2008, sementara ia baru saja meraih Grand Award “Design for Asia Award” 2008
by Hong Kong Design Center. Tahun 2009, ia “menaklukkan” Eropa dengan
membawa pulang penghargaan Design Plus Award – Ambiente Frankfurt Germany
2009, serta Brit Insurance Design of the Year 2009, Design Museum, London.
Prestasi luar biasa ini ternyata tetap disikapi rendah hati oleh Singgih –
seperti yang dirasakan dewi ketika mengunjungi workshopnya beberapa waktu
lalu.

“Ini kan seperti ramalan Alvin Toffler. Kita bisa bekerja dari pelosok
pedesaan dan memiliki akses koneksi internasional,”kata Singgih yang juga
harus membagi waktunya untuk mengajar di Toyota Shirikawa- Go-Eco Institute
Jepang, selain menjadi dosen tamu di Falmouth University dan Central Saint
Martin College, London, Inggris. Meski demikian, ia mengaku paling kerasan
tinggal di workshopnya, dan meminimalisir kepergian ke luar kota. “Andai
saja semua bisa dilakukan dengan naik kereta api.. Saya takut naik pesawat,”
ujarnya malu-malu, membuka sebagian rahasianya.

Di desa ini, Singgih dilahirkan empat puluh satu tahun lalu. Ia adalah anak
bungsu dari 5 bersaudara. Orang tuanya berprofesi sebagai guru yang menambah
penghasilan dengan mendirikan tempat penggilingan padi dan pembibitan
cengkeh. “Yang sekarang jadi rumah saya, dulu merupakan tempat penggilingan
padi yang disewa orang tua saya. Waktu itu saya mimpi betul seandainya tanah
ini milik kita,” katanya berbinar-binar sambil menunjuk rumah yang sedang
dibangun di depan workshop. “Lucunya, di tempat yang sama saya membuat
pembibitan tanaman kayu, mirip yang dilakukan orang tua saya,” ia tersenyum,
mengenang masa kecilnya yang dididik dengan sangat keras dan disiplin oleh
ayahnya. “Waktu kecil saya sangat peragu, penakut, pemalu, dan sangat kaku.
Ibu saya bilang, kalau saya punya kemauan harus jalan, egonya besar,” ia
tertawa. Suatu hari nanti, ia akan menyadari bahwa sebagian kesuksesan yang
diraihnya kini tak lain dari tingginya ego yang dimiliki.

Tapi yang paling berkesan darinya adalah soal sensitivitas visual. Ia punya
pengalaman dengan pompa air. “Saya diminta untuk memasang pompa air. Karena
menurut saya bentuknya tidak indah, saya pasang sesuai keinginan saya. Eh,
ternyata pompa air tak bisa dipakai. Saya sampai menangis karena dipaksa
memasang pompa air yang menurut saya jelek bentuknya,” ia menertawakan
dirinya. Termasuk ketika ia mengganti badge OSIS dengan badge lain yang
menurutnya bagus.” Ketika dipanggil guru BP, saya bilang, badge itu jelek
dan tidak sesuai dengan jiwa anak muda. Ha ha ha..”

Ia memang sangat memperhatikan hal-hal di sekelilingnya. Terutama pada orang
yang dikasihinya. “Sejak SMP, saya sering membuat pernak-pernik untuk
diberikan kepada orang yang saya sukai. Saya senang melihat ekspresi orang
yang menerimanya,” katanya. Bisa jadi keinginan ini dipacu untuk mendapatkan
perhatian dari orang lain. Ia lalu bicara, “Saya dulu sering ada rasa iri
pada kakak-kakak. Memang hal ini yang membuat saya jadi agak badung. Tapi
sikap (cemburu) itu justru mendorong saya untuk bisa lebih baik, seperti
ingin dapat sekolah bagus,” kata Singgih. Ia berhasil masuk jurusan Fakultas
Seni Rupa dan Desain  (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) kendati nilai
mata pelajaran menggambarnya 6! “Sholat tahajud selama sebulan penuh .
Karena melihat keseriusan saya, Ibu sering menemani,” ia membuka rahasianya.

Persoalan kembali hadir. Selama setahun penuh, karena merasa tak bisa
menggambar, ia bekerja keras untuk bisa menyeimbangkan kemampuan dengan
teman sekelasnya. “Saat itu saya hampir frustasi. Duh Tuhan, jangan-jangan
Kamu hanya mengabulkan doaku, tapi sesungguhnya aku tak mampu menjalaninya,”
Ia kembali tersenyum karena mampu menyelesaikan masa kuliahnya dengan baik
dan langsung mendapat tawaran bekerja di PT Prasidha Adhikriya. Di sini ia
benar-benar belajar pada sang pemilik,  Surya Pernawa, mengenai bagaimana
mengembangkan kerajinan yang ada di Indonesia. Tapi, ia hanya sanggup
bertahan hingga dua tahun lamanya.

“Saya ternyata tak bisa hidup di kota karena ramai, bising, rumit, dan yang
pasti saya cuma jadi sekrup. Tak pernah sekalipun saya berpikir untuk jadi
karyawan. Di perusahaan Pak Surya, hubungan kami seperti teman,” ia
menjelaskan alasan mengapa akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya di
tahun 1995. Bersama Haryanto Aly, ia mendirikan perusahaan serupa bernama PT
Aruna Arutala. “Saya tahu, orang tua saya kecewa karena saya belum punya
apa-apa, sudah pulang,” kata Singgih yang menjalankan proyek pertamanya dari
perusahaan sebelumnya. Sedihnya lagi, enam bulan kemudian perusahaan yang
sudah merekrut 40 karyawan itu terancam bangkrut karena salah managemen. Ia
harus bertindak tegas.

“Eh, tiba-tiba saya bisa memiliki gaya kepemimpinan! Mungkin karena saya
dipaksa menghadapi situasi,” saat itu, ia mengurangi karyawan hingga
berjumlah delapan dan mengatakan pada karyawan bahwa ia hanya mampu
memberikan uang sebesar Rp.2500/hari, sambil disertai janji bila perusahaan
berkembang, mereka juga akan dinaikkan. Ia memang akhirnya menepati
kata-katanya. Di tahun-tahun berikutnya, perusahaan berjalan lancar dan
menuai kesuksesan.

Tapi ia masih merasa hidupnya tak tenang. Ada sesuatu yang mengganjal
perasaannya. Hal itu adalah soal kebebasan dalam berkarya. “Ternyata kami
memiliki proses kreatif yang berbeda. Teman saya sangat sistematis dan
terstruktur, sementara saya memutuskan desain berdasarkan *feeling* dan
pendekatan emosional. Terus terang tak bisa berpikir berdasarkan rentang,
atau mendiskripsikan dari a ke z prosesnya bagaimana. Tapi saya tahu, tujuan
saya radio kayu, ”ungkapnya jujur. Setelah tujuh tahun, ia pun memutuskan
mundur, dan mendirikan perusahaan baru bernama PT Piranti Works yang
bergerak pada produk kayu berdimensi kecil.

Akibat keputusan ini, ia kembali dari nol. “Dari pada pusing memikirkan
jumlah asset di perusahaan lama, mending saya fokus saja,” katanya. Berbekal
ruang tamu miliknya sebagai workshop, ia memulai usaha dengan memproduksi
kaca pembesar dari kayu. “Istilah Magno berasal dari situ (magnifying
glass). Saya artikan, saya memang membuat barang yang kecil, detail, saya
pilih huruf g yang unik, karena menurut saya cantik,” ceritanya. “Tahun
2004, saya naik vespa ke luar kota untuk mencari kayu bekas karena tak mampu
membeli kayu banyak. Saya memotong-motong sendiri di depan rumah, ” ia
mengisahkan perjuangannya.

Padahal, ia hanya berpikir sederhana. Bila memang sudah mentok di sini,
artinya ia harus berbelok. Perjalanan desain seperti sebuah petualangan,
banyak *trial and error. **K*adang ia tak berpikir panjang, hanya mengikuti
kata hati, namun tak banyak orang bisa memahami. Contohnya ketika gagal
mendapatkan mesin radio dari supplier dan industri karena terbentur
kuantitas minimum, ia menuju pasar dan membeli radio hanya untuk diambil
mesinnya. “Habis mau gimana lagi? Ya harus dengan cara kanibal,” ia tertawa.

Ia juga pernah melakukan *fund rising* untuk dirinya ketika tak memiliki
biaya untuk pameran di Jepang tahun 2005. “Saya jual produk melalui email
dengan foto produk prototype, lalu saya tuliskan  “Tolong bayar dulu, nanti
setelah pulang, saya siapkan barangnya”, kata Singgih yang sejak awal
memilih berorientasi ekspor karena dianggapnya menjadi pasar yang paling
kuat dan mendorong produsen untuk punya disiplin kerja yang baik. (Itu
sebabnya ia sering mengalami kendala berhubungan dengan sumber daya manusia
di daerah yang masih kurang menghargai porfesionalitas bekerja.)

Perjalanan ini ternyata tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Order
pertamanya didapat dari pria Jepang – yang seperti dikatakan Singgih,
wajahnya kurang meyakinkan karena kumal – berupa boneka kayu yang ternyata
memiliki nilai sama persis dengan asset yang ditinggalkan di perusahaan
lama. “Ini seperti hadiah dari Tuhan,”katanya riang. Dari keuntungan yang
diperoleh, ia membeli tanah luas di desanya, membesarkan perusahaan, dan
membangun kembali mimpi masa lalunya. “Waktu kecil, saya baca buku mengenai
Thomas Alva Edison, saya pingin jadi inventor dan punya hak cipta,”
lanjutnya.

“Saya ini orangnya nekad saja. Sebenarnya yang paling sengsara istri saya.
Karena saya adalah orang yang di depan, orang yang punya gagasan. Kalau
gagal ya wajar, tapi yang merasakan kesusahan kan orang lain. Kalau
diprotes, saya nggak bisa terima, karena saya sangat keras kepala,” ia
menengok pada sang istri, Tri Wahyuni, yang menemani sepanjang wawancara.
Wajahnya terlihat bahagia. Bersama sang istri – mungkin satu-satunya orang
yang bisa memahami gagasan-gagasannya – ia melanjutkan kayuh bisnisnya.

“Terus terang, saya tak bisa mengurus segala sesuatu yang monoton, terus
menerus, dan detail. Proses produksi itu kan rumit, untuk satu radio
memerlukan lebih dari 20 proses, banyak komponen, dan masing-masing dibuat
dengan tangan. Saya tak bisa, kelebihan istri saya, dia bisa kerja ini
dengan cara “awangan” ( membayangkan),”kata Singgih yang berhasil merumuskan
kembali pemahaman tentang industri kerajinan dengan pendekatan modern
berbasis kerja tangan. Lagi-lagi, ia matang karena ditempa dengan berbagai
pengalaman.

*Kembali ke Desa*

Banyak hal yang bisa dipelajari dari Singgih. Salah satu yang menarik adalah
ketika ia memutuskan pulang ke desa, itulah yang dianggap sebagai sebuah
sikap. Seperti ingin mengisi selembar kertas kosong untuk membuat sejarah di
desa – yang dalam pandangannya kian banyak ditinggalkan anak-anak muda
terdidik dan berprestasi.

“Mimpi saya ingin memberikan kontribusi langsung ke masyarakat. Di desa,
saya punya komunitas yang maju dan saya pikir itu bisa diciptakan dalam
komunitas terbatas,” katanya berandai-andai.

Ia tak main-main dengan keinginannya. Ia pernah menjadi anggota dewan
perwakilan desa dan membuat “koran” bernama Entho Cothot  yang terbit setiap
minggu yang digarap bersama sang istri. Media pedesaan ini mencermati seluk
beluk kehidupan pedesaan dengan visi ke depan, sambil menitip harapan bahwa
desanya bisa maju di kemudian hari. “Karena saya tak bisa menulis, saya
bangun jam 4 pagi, dan terus-terusan selama seminggu, akhirnya berhasil,” di
sini ia belajar bahwa bila dia bisa memaksa diri, sesuatu yang awalnya tak
bisa menjadi bisa. Sebanyak 161 edisi ia lakukan demi mewujudkan keinginan
membangun desa yang lebih bervisi.

Namun, ia juga dipaksa menerima sebuah keadaan bahwa keinginan atau bayangan
seindah apapun belum tentu bisa diterima oleh orang lain. Itulah yang
terjadi. Ia sempat frustasi, tak sanggup menghadap kenyataan yang dialami.
Rumah tempat tinggalnya pernah hampir saja menjadi sasaran amukan massa
karena tulisan yang dibuatnya dianggap terlampau kritis.

“Saya hanya memberikan saran yang terbaik untuk masyarakat. Tapi saya sering
kalah voting, saya membayangkan arahnya begini, tapi tak bisa berjalan apa
adanya,”ujarnya. Nada kekecewaan terasakan pada dirinya. Ia memang tegas,
kaku, dan tak mau bermanis-manis mulut. Semuanya langsung pada sasaran.
Mungkin caranya ini kurang disukai banyak orang. “Tak apa saya jadi korban
salah persepsi sepanjang apa yang saya lakukan benar,” ucapnya kecewa.
Ketika ia merasa gagal, ia kembali ke jalannya. Sendirian. Kembali ke
bisnisnya, radio kayu Magno.

*Keberuntungan dari Radio*

“Sebenarnya, radio itu banyak unsur keberuntungan buat saya,” akunya jujur.
‘Barang itu hampir dimiliki semua orang. Desain simple ada di mana-mana.
Saya hanya memasukkan unsure filosofi yang membuat orang menjadi memiliki
“hubungan” dengan radio, dan untungnya lagi, produk saya diterima pasar,”
kata Singgih yang sudah mengutak-atik radio sejak masa skripsinya. Di
tangannya, radio menjadi sangat personal. Di produk terbarunya, ia bahkan
tidak memberikan skala (untuk mengetahui gelombang). “Supaya si pemilik bisa
belajar dengan perasaannya untuk bisa mengetahui di mana letak gelombang
radio yang tepat dengan cara belajar, sampai dia hafal, melalui sentuhan
tangannya,” ujarnya.

“Radio itu sempurna karena ketidaksempurnaannya. Karena tak ada gambar,
seperti halnya televisi, masing-masing orang jadi punya imajinasi,” ia
seperti mendapat inspirasi, “Menyenangkan bagi saya bisa mendesain radio,
energinya bisa keluar dengan murni. Kini, saya bisa mengekspresikan perasaan
dalam produk yang saya buat. Saya senang bisa menceritakan penghayatan saya
atas sepotong kayu seperti menulis sebuah puisi,” ia tersenyum. Ia ternyata
mudah tersentuh dengan hal-hal kecil atau mudah menangis bila melihat
ketidakadilan atau ketidakberdayaan yang ia lihat melalui berbagai media.
Seperti juga desainnya yang hangat, begitu pula pada ia ketika bicara
tentang perasaannya. Segala sesuatu dipikirkan dalam-dalam dan penuh
perasaan.

Seperti ketika ia bicara mengenai kayu yang menjadi materi radio. “Kayu
bicara mengenai hidup dan kehidupan, tentang keseimbangan, dan soal
keterbatasan.” Cita-citanya ingin memiliki hutan sendiri sehingga bisa
menjaga keseimbangan alam yang menjadi obsesinya. Mungkin juga ia tengah
memikirkan tentang kelanjutan cita-cita lainnya: membuat produk kayu menjadi
ikon desain dunia. “Negara kita kaya akan kayu, tapi tak ada barang dari
Indonesia yang desainnya bagus dan dikenal dunia,” ucapnya prihatin.
“Apalagi saya melihat salah satu masalah dalam kehidupan kita adalah over
production dan pergantian produk yang sangat cepat. Saya pikir dengan desain
klasik, sederhana, basik, bisa menarik bagi orang. Mungkin orang tak suka
prinsip ini, tapi saya suka, karena dalam sejarah desain itulah yang
bertahan,”ujarnya serius.

Lalu ia seperti diingatkan akan suatu hal, sebelum kemudian tertawa
terbahak-bahak mengenai alas an personal kedekatannya dengan produk bernama
radio. “Dulu, istri saya bekerja sebagai penyiar radio. Tapi saya jatuh
cintanya bukan karena membayangkan suaranya, karena kami pacaran dari SMA.
Ha ha ha…Nah, apakah ini menjadi alasan personal, saya tak tahu. Mungkin
supaya dia tidak sedih ya, sehingga menstimulir saya untuk membuat proyek
ini, “ Bapak dua anak bernama Wening Lastri dan Lilo Liris Lituhayu itu
kemudian berpikir kembali apakah kesukaan yang ia lakukan merupakan salah
satu wujud rasa cinta yang mengendap untuk istrinya. Bila ia sudah berpikir,
Anda tentu akan tahu apa yang akan dilakukannya kemudian.  (*Rustika
Herlambang*).

Fotografer: Ferdy. Lokasi: Workshop Singgih Susilo.

Sumber:
http://rustikaherlambang.wordpress.com/2009/10/04/singgih-susilo-kartono-versi-panjang/


-- 
-----
save a tree, don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=========================
Blog resmi AKI, dengan alamat www.ahlikeuangan-indonesia.com 
-------------------------
Facebook AKI, untuk mengenal member lain lebih personal, silahkan join 
http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045
-------------------------
Arsip Milis AKI online, demi kenyamanan Anda semua
http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
=========================
Perhatian :
- Untuk kenyamanan bersama, dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor 
posting sebelumnya
- Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. Anggota 
yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas
- Saran, kritik dan tulisan untuk blog silahkan 
ahlikeuangan-indonesia-ow...@yahoogroups.comyahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    ahlikeuangan-indonesia-dig...@yahoogroups.com 
    ahlikeuangan-indonesia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ahlikeuangan-indonesia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke