Kita punya budaya Gotong Royong. Gotong Royong adalah transaksi barang atau 
jasa yang tidak diukur dengan uang. Dia biasa diukur dengan berbagai macam 
simbol seperti dituakan dalam masyarakat, dihargai atau mendapat upeti hasil 
bumi.

Masalahnya, masyarakat ini menjadi terdiskriminasi ketika berinteraksi dengan 
masyarakat modern yang segala sesuatunya diukur dengan uang.

Biasa parkir di pasar desa gak bayar parkir, dan seluruh desa tahu dan ikut 
menjaga itu properti pak X yang dituakan didesa tersebut begitu dibawa ke 
Jakarta gak ada yang tahu itu mobil siapa, yang penting lu taruh ditempat 
parkir lu bayar sejam 2.000 perak.....

Kita sedang membawa masyarakat kita bertransaksi terukur dengan uang dan kalau 
perlu ukurannya sama dengan ukuran global supaya gak terdiskriminasi. Tapi 
kenyataanya kan banyak yang pingin serba gratisan :-(


Salam

RM



--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, prastowo prastowo <sesaw...@...> 
wrote:
>
> Sekedar menambahkan sedikit saja.
> Setahu saya sejak purba ada tiga modus dlm ekonomi: 
> 1. reciprocity = dasarnya kesetaraan, dlm komunitas dekat.
> 2. redistribution = yaitu transaksi antara pusat-daerah atau sebaliknya, 
> intinya ada dua tempat dg klasifikasi berbeda.
> 3. exchange = pertukaran atau perdagangan di pasar.
> 
> Ketiga modus pernah mewarnai sejarah perekonomian bangsa manusia, ini kata 
> para antropolog. Yang terjadi hanyalah menonjolnya salah satu saja, dan ada 
> upaya menghapuskannya. Kini misalnya, yg menjadi kekuatan hegemonik adalah no 
> 3, tetapi tidak berarti no 1 dan no 2 tidak ada.
> Justru praktik reciprocity ini ada, di desa2, dan hingga kini masih ada. 
> Redistribusi ini salah satunya dijalankan oleh pemerintah, dan exchange oleh 
> swasta.
> 
> Saya lebih memaknai kekeluargaan ini seharusnya dekat ke modus no 1, krn ini 
> kekuatan bangsa kita. Toh, dlm kondisi tertentu banyak juga saat ini prakik 
> non-pasar yg terjadi. Amartya Sen pun mengakuinya, bahkan di AS, lebih2 saat 
> Obama maju dg program reformasi healthcare.
> jadi bukan perkoncoan atau kronisme. Maka, idealnya sebuah welfare-state atau 
> ekonomi pasar sosial yg bertumpu pd demokrasi partisipatif, bukan ditopang 
> birokrasi, sebagaimana kegagalan keynesianisme di era 1970-an atau orba tempo 
> lalu.
> 
> Kita punya modal nyata, misalnya budaya gtong royong. tapi entahlah bagaimana 
> memodelkan ini, apakah sekedar sebagai eksternalitas? 
> Inilah yg saya maksud, manusia Indonesia tidak bisa diasumsikan 
> self-interested murni dan rasional. Kalau pun rasional, ini mungkin semacam 
> rasionalitas yang 'bounded', entah oleh agama, kultur, tradisi, dan sejarah.
> sekedar pendapat.
> 
> salam,
> 
> pras
> 
> 
> 
> 
 


Kirim email ke