Tulisan Pak SImon Saragih ini sebenernya dimuat Kompas sudah lebih dari
seminggu y.l
Tapi saya kok merrasa ada baiknya dibaca ulang

salam, ari.ams


http://www.kompas.co.id/read.php?cnt=.xml.2008.01.11.01183344&channel=1&mn=15&idx=19

/Home/Bisnis & Keuangan/Analisis
Menantikan Terobosan yang tak Kunjung Datang
Jumat, 11 Januari 2008 | 01:18 WIB

Ekonomi negara-negara tetangga terus berlari dengan kecepatan tinggi.
Thailand antara lain semakin menempatkan diri sebagai basis produksi
otomotif Jepang dengan tujuan pemasaran untuk kawasan. Singapura semakin
berkibar dengan keberadaan dana-dana investasi milik negara yang mengincar
berbagai aset di negara lain.

Menambah daftar itu adalah Malaysia yang juga makin banyak berkibar di
negara lain dengan investasi lewat merger dan akusisi, termasuk terhadap
sejumlah perusahaan di Indonesia. Bahkan Vietnam, yang baru melakukan
program pencanangan pembangunan ekonomi pada dekade 1990-an, kini semakin
banyak kedatangan investasi asing, yakni 20 miliar dollar AS sepanjang tahun
2007.

Ini belum lagi menyebut China dan India yang sudah menyedot perhatian
investor dunia dalam beberapa tahun terakhir. Dalam data aliran investasi
dunia sepanjang 2007, yang dipublikasikan United Nations Conference on Trade
and Development (UNCTAD), Rabu (9/1), China kedatangan investasi sebesar
67,3 miliar dollar AS.

Pelayanan yang ramah, dan prosedur perizinan investasi yang relatif lebih
mudah telah membuat negara-negara tetangga semakin kedatangan investasi
asing dengan volume yang terus meningkat. Tahun 2007 adalah periode di mana
untuk pertama kali ASEAN kemasukan arus investasi, yang melampaui puncak
arus kedatangan investasi yang pernah terjadi tahun 1997 lalu.

Keberadaan prasarana pendukung investasi, yang terus dikembangkan di negara
tetangga juga turut membuat perekonomian mereka makin melaju dengan tingkat
pertumbuhan di atas 5 persen per tahun, bahkan mencapai angka 8 persen di
Vietnam.

Ekonomi Indonesia juga tumbuh dengan angka sekitar 5 persen per tahun. Namun
kualitas pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan relatif tidak berkualitas karena
pertumbuhan itu lebih didorong sektor konsumsi. Pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas dan berkesinambungan adalah pertumbuhan yang didorong investasi
dan ekspor.

Indonesia tidak mengalami terobosan besar soal kedatangan investasi asing.
Demikian pula ekspor non-migas tak mengalami perubahan besar sejak dekade
1990-an. Berbagai upaya dilakukan, termasuk dengan menggelar konferensi
investasi. Berbagai deregulasi dan insentif pun terus diluncurkan namun tak
kunjung berhasil mendatangkan investasi asing.

Dengan demikian praktis ekonomi Indonesia tumbuh hanya ditopang sektor
konsumsi, swasta yang pada umumnya hanya terjadi di kota-kota besar terutama
di Jabodetabek.

Lagi, pertumbuhan setinggi 5 persen tidak memadai untuk menyerap angkatan
kerja yang masuk ke pasaran dan tak memadai untuk mengangkat kaum miskin
dari garis kemiskinan.

Untuk itu Indonesia memerlukan basis perekonomian yang lebih luas, yang
tidak semata-mata didorong sektor konsumsi. Diperlukan ekonomi yang tumbuh
berkat dorongan ekspor, berkat dorongan investasi dan berkat dorongan
konsumsi pemerintah.

Namun tidak ada terobosan besar untuk mendorong gairah di ekspor non-migas,
konsumsi pemerintah dan investasi. Sebagaimana diutarakan ekonom dari
Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, persoalan kualitas prasarana menjadi
hambatan bagi asing memasuki Indonesia.

Untuk merangsang ekspor nonmigas, Indonesia kini makin mendapatkan
persaingan keras dari Vietnam, dan China yang menyedot investasi yang
memproduksi barang-barang manufaktur.

Sebenarnya, walaupun Indonesia masih gagal mendatangkan investasi asing, dan
gagal mendorong ekspor nonmigas, negara ini nesia punya kesempatan besar
mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni dengan pemanfaatan kekayaan sektor
pertambangan, terutama minyak dan gas. Walau tidak berhasil kedatangan
investasi asing, Indonesia punya sektor migas yang terbukti berhasil
mengangkat status sosial ekonomi di Bolivia, Venezuela dan Rusia.

Namun sektor migas adalah sektor yang tidak didalami secara saksama.
Penguasaan asing dan swasta di sektor tambang migas tak ubahnya seperti
sektor yang untouchable. Bahkan seperti dikatakan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, Indonesia mengkonsumsi energi yang
lebih banyak ketimbang produksi energi itu sendiri.

Lalu dikatakan pula, selama ini Indonesia mengalami kelambatan investasi
dalam eksplorasi migas.  Akibatnya yang terjadi adalah kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) di saat harga minyak internasional sedang meningkat.

Jadilah Indonesia berkutat pada masalah-masalah klasik, seperti kenaikan
harga BBM, yang memiskinkan rakyat, tanpa bisa diimbangi dengan kenaikan
pendapatan karena ekonomi yang tumbuh lambat dan tidak punya basis produksi
yang lebih luas.

Beranikah kita mengaudit secara nasional, apa sebenarnya yang terjadi dalam
penguasaan sektor migas? Benarkah produksi minyak lebih rendah ketimbang
konsumsi? Kemana hasil dari sektor pertambangan lain seperti emas dan
lainnya, yang juga kini sedang mengalami booming?

Mantan Ketua MPR Amien Rais sudah berkali-kali menyuarakan pentingnya sektor
migas ini didalami secara saksama sehingga bisa menjadi salah satu sumber
kekuatan ekonomi. Dengan menguasai produksi migas, pemerintah akan memiliki
sumber keuangan yang akan bisa menjadi pendorong besar pembangunan ekonomi
seperti pada dekade 1970-an.

Isu ini tenggelam begitu saja dan semua pihak lebih cenderung menelan
keterangan pemerintah. Alhasil, ekonomi Indonesia bertumbuh namun tidak
cukup siginifikan.

Berbicara soal ekonomi Indonesia, akan selalu berkutat pada isu klasik yang
membosankan, selama kita tidak berhasil melakukan terobosan, termasuk di
bidang pembangunan infrastruktur, di mana negara lain sedang berpacu.

Tentu, kekayaan migas dan pertambangan lainnya juga tak akan pernah bisa
menjadi stimulus pembangunan ekonomi, selama kita tidak berani melakukan
overhaul seperti yang  sudah terjadi di Bolivia, Venezuela dan Rusia. Akhir
kata, ekonomi Indonesia masih tetap menantikan terobosan yang tidak kunjung
datang. (Simon Saragih)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke