[Maryamah Karpov]

NOVEL YANG MEMENANGI SELERA MASSA
--------------------------------
Oleh Anwar Holid

Kesuksesan tetralogi Laskar Pelangi menyempilkan istilah yang mengundang tanda 
tanya: cultural literary nonfiction. Seperti apakah itu?


DESEMBER 2008 lalu, ketika masih membawa-bawa Maryamah Karpov (Bentang, 504 
hal.) ke mana pun pergi ingin segera menamatkannya, saya malah bertemu dengan 
orang yang malah belum selesai membaca Laskar Pelangi. Dia menenteng buku 
pertama tetralogi itu sambil menunggui anaknya yang latihan main perkusi bareng 
anak saya. Beberapa minggu sebelumnya, kami sempat membicarakan kehebohan 
cerita-cerita berlatar pendidikan di pulau terpencil itu.

"Ini baru sempat baca," katanya. "Kebetulan istri saya kemarin beli waktu jalan 
ke toko buku."

Saya lihat dia sudah lebih dari setengah membuka novel itu. Padahal saya 
beserta ratusan ribu pembaca lain sudah menamatkannya beberapa hari atau minggu 
setelah novel itu terbit pada 2005. Apa ada beda signifikan bila seseorang baru 
sempat membaca karya yang terbit beberapa tahun lalu? Mungkin tidak. Saya 
sendiri, karena sebuah keperluan, baru-baru ini membaca lagi Laskar Pelangi, 
dan dampaknya menurut saya berbeda ketika waktu dulu menamatkan untuk pertama 
kali. Ketika membaca dua atau tiga kali, kita jadi lebih dewasa, ada refleksi 
dan rujukan yang lebih kaya dari sebelumnya. Tapi, ada juga fakta yang harus 
saya sebut, bahwa sebagian orang ternyata tetap gagal membaca novel itu. Entah 
kenapa; mungkin butuh bahasan lebih lanjut.

Setelah melewatkan Sang Pemimpi dan Edensor, saya langsung loncat ke Maryamah 
Karpov. Beruntung, sebagian orang memberi tahu isi dan mengungkapkan kesan 
mereka terhadap volume kedua dan ketiga tersebut. Pukul rata, kebanyakan orang 
lebih terkesan pada Sang Pemimpi daripada Edensor. Bagi saya sendiri, Edensor 
cukup menyita perhatian karena masuk nominasi KLA 2007. Setidaknya ini 
membuktikan bahwa para juri memperhitungkan kekuatan sastra novel 
tersebut---sebab kalangan tertentu meragukan aspek tersebut bisa muncul di sana.

Ketika bicara tentang daya tarik tetralogi itu secara keseluruhan, tampaknya 
semua orang sependapat bahwa keunggulan kisah itu ialah pada keutuhan aspek 
fiksinya. Tetralogi itu lucu, romantis, dibumbui petualangan dan kisah 
fantastik, menjadikannya sangat inspirasional bagi pembaca fanatik, terasa 
dekat dengan kondisi pendidikan di Indoesia sehari-hari. Keutuhan aspek 
tersebut membuat tetralogi itu jadi seimbang. Dengan porsi masing-masing, semua 
muncul satu demi satu, silih berganti, sampai tanpa terasa ia menarik imajinasi 
pembaca ke sebuah kisah dan kejadian yang lengkap, mulai dari drama yang 
mengharu-biru, lantas disusul dengan humor, ironi, tragicomedy, juga 
pengharapan, optimisme, dan tentu saja petualangan-petualangan fantastik. 
Seorang fanatik Laskar Pelangi manapun bisa cerita kehebatan tetralogi itu 
lebih detail dan bersemangat daripada saya.

Struktur Laskar Pelangi dan Maryamah Karpov agak mirip sekaligus melingkar, 
yaitu kembali ke awal. Bila di buku pertama Laskar Pelangi terbentuk, di buku 
keempat Laskar Pelangi reuni. Di masa kecil, jagoan Laskar Pelangi yang paling 
disegani ialah Lintang dan Mahar; setelah dewasa kedua orang itu kembali muncul 
sebagai penyelamat Ikal. Pandu Ganesa, seorang fanatik karya-karya Karl May 
dengan menarik menilai karakter Lintang dan Mahar sebagai representasi otak 
kiri dan kanan--yang diharapkan supaya seimbang. "Ini dielaborasi dengan 
gegap-gempita oleh si penulis." Bedanya, bila di Laskar Pelangi Tuk Bayan Tula 
mengadali Mahar, kini sebaliknya. Mahar ganti mengerjai Tuk yang gagap 
teknologi. Petualangan di hutan dan laut kembali terjadi, dengan intensitas 
lebih serius.

Bila dulu sepuluh anak bermain, berkelana, melakukan banyak kegiatan, 
menjelajah wilayah-wilayah berbahaya, merambah hutan dan nekat menjadi 
penyelamat, kini setelah dewasa yang benar-benar mengemuka hanya bertiga. Ini 
konsekuensi logis dari perjalanan waktu dan peristiwa, sebab orang dewasa punya 
agenda dan prioritas masing-masing. Perjalanan menguatkan karakter sekaligus 
mengeraskan trauma seseorang. 

Sengaja Mengundang Kontroversi?

Kenangan merupakan salah satu subjek paling penting dalam tetralogi ini. Namun, 
kali ini Ikal bukan mengenang masa kecilnya, melainkan ketika dia dewasa. Dia 
mengulang kenangan bersama ayah, mengenang A Ling yang susah-payah ia coba 
gapai dengan berbagai cara namun masih gagal, termasuk kenangan-kenangan 
bersama Laskar Pelangi sebelum akhirnya masing-masing menjalani nasibnya. Misal 
Mahar. Di buku pertama, sebelas tahun setelah mereka berpisah kala SMP, Mahar 
masih menjadi pendakwah Islam di kawasan terpencil di sekitar pulau Belitong. 
Tapi kini Mahar sudah sepenuhnya jadi dukun dan mengaktifkan lagi Societeit de 
Limpai, sebuah organisasi paranormal. Bila dulu Societeit menyewa perahu untuk 
mengarungi samudera, kini Ikal bikin sendiri!

Apa perubahan-perubahan itu mengurangi daya tarik novel tersebut? Bagi orang 
yang terlalu kritis dan berkeyakinan bahwa cerita itu terlalu fantastik untuk 
terjadi sebagai kenyataan, novel itu dinilai terlalu berlebihan. Rollo May, 
seorang tokoh kreativitas, menyebutkan bahwa imajinasi memungkinkan manusia 
menimbang-nimbang beragam kemungkinan, membuka kesempatan yang lebih luas lagi, 
termasuk di antaranya bisa menerima ambiguitas. Sejak awal, Laskar Pelangi 
memainkan-mainkan anggapan itu. Di satu sisi, karya itu tegas disebut sebagai 
novel; tapi di sisi lain banyak orang bersemangat mencari jejak-jejak 
kenyataannya, karena sebagian memang ada. Sedangkan penerbit menyebut itu 
sebagai "cultural literary nonfiction." Sengaja untuk menciptakan kontroversi?

Menarik kalau ada yang membahas unsur warisan budaya pada tetralogi itu. Boleh 
jadi di sinilah kritik Nurhady Sirimorok dalam Laskar Pemimpi (Insist Press, 
191 hal.) memiliki arti penting. Buku itu menurut Puthut EA “berusaha 
membersihkan kacamata kita yang telah buram karena terlewat asyik menyimak 
pandangan yang homogen.”

Maryamah Karpov pun demikian. Banyak pembaca dengan mudah bisa menemukan kabut 
logika di sana; mereka telah mengungkapkannya di berbagai media dan kesempatan. 
Tapi satu hal, dan ini boleh jadi mengherankan, novel itu tetap diburu, dan 
kesan umum pembacanya tetap sama, bahwa kisahnya lucu, romantis, penuh 
petualangan, inspirasional, dan dekat dengan kehidupan para pembacanya. 

Tetralogi Laskar Pelangi minimal membuktikan sesuatu dengan amat nyata, yaitu 
ia telah memenangi selera massa.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 0857 215 111 93 | Panorama II No. 26 
B, Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.mizan.com



      

Kirim email ke