diambil dari http://roythaniago.wordpress.com


Aktivitas Ilmiah di Negeri Ini

Oleh: Roy Thaniago

Nama AnakAgung Banyu Perwita mendadak jadi ramai dibicarakan. Sayang, bukan
karena prestasi, melainkan aib. Ia, yang merupakan guru besar ITB itu,
terbukti melakukan plagiarisme, sesuatu yang sangat pantang dilakukan
di dunia akademis.

DOSEN muda ini terbukti menjiplak karya Carl
Ungerer dalam artikelnya di Jakarta Post edisi 12 November 2009.
Ganjarannya, ia dicopot dari jabatan sebagai staf pengajar di ITB.

Persoalan rendahnya kesadaran etis di kalangan akademisi pun punya
catatan lain. Misalnya, kasus di Universitas Hasanuddin (Unhas),
Makasar. Rasanya kita tak kaget dan memang tak perlu kaget membaca
berita yang dilansir KOMPAS (6/2) (‘Dekan Sastra Bantah Penjualan
Skripsi’). Pemberitaan ini, yang juga diberitakan pada hari-hari
sebelumnya, mengabarkan soal ditemukannya buku dan skripsi Perpustakaan
Fakultas Sastra Unhas yang dijual kiloan.

Oleh dosen dan mahasiswa yang menemukannya, dikatakan bahwa skripsi
tersebut dipungut dari karung buku yang dijual petugas kebersihan.
Inilah yang melahirkan dugaan bahwa skripsi-skripsi tersebut dijual
kiloan. Hal itu dibantah oleh Burhanuddin Arafah, Dekan Fakultas Sastra
Unhas, yang mengatakan bahwa pihaknya tidak menjual skripsi-skripsi
tersebut. Ia menduga bahwa skripsi-skripsi tersebut dicuri ketika atap
ruang perpustakaan sedang direnovasi.

Terlepas dari siapa benar siapa salah, kita tidak kaget bahwa
aktivitas pencurian, pembajakan, dan penyepelaan gagasan ilmiah adalah
hal yang lumrah di negeri ini. Bahwa hak kekayaan intelektual bukan
sesuatu yang dihargai oleh banyak orang, sekali pun oleh kalangan
akademis itu sendiri.
Bagaimana tidak, kalau aktivitas colong-menyolong ide dan
penjiplakan gagasan terjadi justru di lingkungan kampus, suatu zona
yang seharusnya meluhurkan aktivitas intelektual tersebut? Inikah ekses
buruk yang ditimbulkan dari konsep pendidikan kita yang lebih
mengarahkan peserta didik dan pendidik ke sifatnya yang materialistik,
mekanistik, dan formalistik? Atau mengutip Mangunwijaya, bahwa hukum
rimba pun berlaku dalam sistem pendidikan kita. Siapa kuat, siapa
bertahan. Ya, siapa kuat (tahan malu) bermain curang, ia akan terus
eksis.

Cerita Lama

Cerita miring seputar aktivitas ilmiah di lingkungan pendidikan
bukanlah hal asing buat kebanyakan orang. Dari penelusuran di internet
saja, banyak sekali situs-situs yang menjual skripsi jadi dengan harga
yang variatif. Sesuatu yang sebenarnya mudah diberantas kalau mau
dilakukan. Ya, kalau mau.

Tapi, siapa yang mau repot-repot dengan pemberantasan itu kalau para
pemasok naskah skripsi – entah dosen, karyawan kampus, atau mahasiswa –
tersebut pun menikmati rupiah yang tak sedikit ketimbang membiarkan
skripsi-skripsi tersebut dibiarkan mendebu dibaca laba-laba? Pihak
berwenang pun enggan memberantas, karena memang gagasan ilmiah bukan
sesuatu yang lebih berharga dari pada uang bangku atau poin kredit
untuk menjadi guru besar.

Selain di internet, yang lebih menawarkan naskah jadi yang tinggal
diutak-atik, ada juga yang sifatnya menjual jasa. Jasa penulisan
skripsi. Maka tak heran kalau banyak sarjana yang setelah lulus tidak
bisa mengaplikasikan ilmunya dalam pekerjaan – apalagi diajak berpikir
abstrak. Itu tak lain karena mereka memakai jasa penulisan skripsi yang
dikerjakan dosen di kampus sendiri maupun di kampus tetangga. Bahkan
proses sidang skripsi pun bisa diskenariokan!

Seperti halnya kencing pun yang tidak gratis, ‘bantuan ghoib’ ini
pun ada bayarannya yang tidak kecil. Bantuan ghoib dari dosen bisa
dimulai dari yang kecil, seperti ‘hanya’ membimbing dengan meminjamkan
skripsi-skripsi terdahulu, sampai kemudian menuliskan skripsi dan
merekayasa sidang skripsi.

Akal bulus untuk meluluskan diri meraih gelar kesarjanaan bukan
hanya dimonopoli para mahasiswa, karena pada pengajar pun tekun
melakukannya. Cerita mengenai seorang guru besar yang menulis banyak
buku, padahal isinya adalah kumpulan tugas kuliah mahasiswanya yang
tidak pernah dimintai izin sebelumnya, sudah menjadi cerita klasik –
untuk tidak mengatakan cerita legenda.

Cerita lain, ternyata Lembaga Penelitian (Lemlit) yang ada di
perguruan tinggi, adalah sumber pendapatan alternatif buat para dosen
yang (katanya) kepepet kebutuhan ekonomi. Seorang dosen yang mengajukan
proposal penelitian dan diloloskan, dengan mudah memakai skripsi
mahasiswanya untuk dijadikan laporan penelitiannya. “Saya punya hak di sana, 
karena saya yang bimbing”,
kira-kira begitu pikir mereka. Isi penelitiannya tentu sama persis
karena tinggal menyalin dan mengubah nama dan data fiktif lainnya.

Sebagai pelicin, dengan murah hati disisihkannya dana hibah
penelitian itu untuk pegawai Lemlit yang membantu meloloskannya. Dan
untuk melenyapkan kecurigaan, karena proposalnya terlalu sering lolos,
dipakailah nama rekan dosen lain sebagai pengaju proposal penelitian.
Kontan saja banyak dosen yang kaget bahwa namanya ada di salah satu
laporan penelitian yang tak pernah ia kerjakan. Ini tak lain karena
nama mereka dipakai secara diam-diam.

Cermin Pendidikan

Maraknya kasus-kasus tadi, menyuratkan beberapa kesimpulan bahwa (1)
aktivitas pendidikan yang salah satunya berupa gagasan ilmiah, bukan
merupakan suatu yang dihargai di negeri ini; (2) para pengambil
kebijakan yang mengurus sistem pendidikan di Indonesia tidak serius
menangani kasus pembajakan dan plagiarisme gagasan ilmiah; dan (3)
sistem pendidikan di Indonesia yang berorientasi materialistik,
mekanistik, dan formalisitik, hanya menghasilkan lulusannya yang malas,
curang, dan bermental instan.

Untuk poin ketiga ini, akan semakin jelas bila kita lihat bagaimana,
misalnya, universitas mengiklankan dirinya di media massa sebagai
lembaga pendidikan yang menjamin lulusannya dalam mendapatkan
pekerjaan. Dan hal ini kemudian dipersepsikan masyarakat kebanyakan,
bahwa universitas hanya sebagai salah satu ‘meja birokrasi’ yang harus
dilewati untuk melegalisasikan seseorang mendapatkan pekerjaan
nantinya. Apalagi fakta bahwa pendidikan adalah barang mewah yang harus
dibayar mahal, yang membuat kebanyakan orang melakukan berbagai cara
untuk segera lepas dari cengkraman biaya tinggi, turut menambah ekses
buruk pendidikan kita.

Dengan demikian universitas bukan lagi sebagai laboratorium hidup
dalam meramu dan mencetak manusia-manusia yang unggul dalam berkegiatan
ilmiah maupun dalam berkepekaan sosial yang mempunyai posisi
sosial-kultural dalam masyarakatnya. Tapi universitas hanya merupakan
sebuah peternakan atau tambak yang menyiapkan robot-robot mekanis yang
patuh terhadap kebutuhan dunia industri semata. Dan obsesi mengantungi
ijazah dengan jalan apapun, menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Maka, perlukah kita kaget dengan berita-berita semacam ini kalau
ingatan kolektif kita menyimpan banyak catatan kelam mengenainya?
Dengan tidak perlu ditambahi dengan cerita lain soal bisnis jasa
pemberian gelar Dr HC pun, kita sudah menganggap hal ini sebagai
rahasia umum yang beredar di masyarakat. Walau merupakan rahasia umum,
pun kita harus selalu maklum karena pihak berwenang punya kesibukan
luar biasa ketimbang urusan yang mungkin sepele ini.

Jadi, kalau mendengar cerita soal pembajakan karya akademik, tidak usah sok 
kaget deh! (ROY THANIAGO)


      Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

Kirim email ke