Radar Bojonegoro-JAWAPOS Group
[ Minggu, 04 Juli 2010 ]

Mengupas Mitos Peninggalan Sunan Bejagung Lor-B 
Watu Gajah Penjelmaan Gajah Tentara Majapahit  ?

Sejarah penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa tak bisa  dilepaskan dari sosok 
Sunan Bejagung Lor dan Bejagung Kidul yang  makamnya berada di Desa Bejagung, 
Kecamatan Semanding. Begitu  berpengaruhnya, sejumlah mitos dikaitkan dengan 
kedua aulia ini.  


DWI SETIYAWAN, Tuban 

--- 

GUGUSAN batu besar nan hitam teronggok di barat lapangan  Desa Bejagung, 
Kecamatan Semanding, sekitar 2,5 kilometer (km) selatan  barat Kota Tuban. 
Sudah 
ratusan tahun batu-batu tersebut bercokol di  tanah desa seluas 2 hektare 
tersebut. 


Sebagian batu mirip gajah,  terutama di bagian utara. Meski tidak dijaga dan 
dilindungi dengan  bangunan pagar, tidak ada satu pun yang berani mengusik 
batu-batu itu.  Jangankan membongkar, untuk sekadar memindahkan batu pun tidak 
ada yang  bernyali. 


Gugusan batu yang bernama Watu Gajah ini termasuk  salah satu mitos kebesaran 
Sunan Bejagung Lor dan Bejagung Kidul. Konon,  batu-batu tersebut penjelmaan 
dari gajah tentara Majapahit yang hendak  membawa pulang paksa Pangeran 
Kusumohadi yang mengaji kepada Maulana  Abdullah Asyari (Sunan Bejagung). 


Pangeran Kusumohadi adalah  putra Prabu Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit. 
Setelah mengetahui  bahwa anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, 
maka sang prabu  memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana 
itu,  Pangeran Kusumohadimemohon kepada Sunan  Bejagung untuk membantunya 
menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk. 


Alasannya,  pangeran ingin tetap menekuni ilmu Islam dan  tidak ingin menjadi 
raja.  Kehendak pangeran tersebut dikabulkan Sunan Bejagung. Untuk melindungi  
sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret tanah sekitar Padepokan  Kasunanan 
Bejagung yang sampai sekarang dikenal dengan Siti  Garet. Tujuannya, agar 
tentara Majapahit tidak  bisa masuk kasunanan. 


Tentara Majapahit akhirnya tak bisa masuk  kasunanan dan berhenti di selatan 
kasunanan. Melihat itu, salah seorang  santri melapor kepada Sunan Bejagung 
bahwa di sebelah selatan  kasunanan banyak pasukan gajah dari Majapahit. Sunan 
Bejagung spontan  mengatakan tidak gajah tetapi batu. Karena  kekuatan karomah 
sang wali, semua gajah menjadi batu.

Kepala UPTD  Museum Kambang Putih Tuban, Supriyadi membenarkan bahwa Watu Gajah 
 
hanyalah bagian dari mitos sejarah Sunan Bejagung Lor dan Bejagung  Kidul. 
Meski 
dikaitkan dengan siar wali di daerah setempat, tidak ada  bukti sejarah yang 
menguatkan kalau batu-batu tersebut adalah bagian  dari sejarah.

Karena itu, batu-batu tersebut tidak masuk benda  cagar budaya (BCB) yang 
dilindungi. Dikatakan dia, yang masuk dalam  situs sejarah hanyalah seluruh 
benda di dalam kompleks makam Sunan  Bejagung Lor dan Bejagung Kidul.

Mitos lain yang terkait dengan  karomah Sunan Bejagung adalah pantangan warga 
Bejagung memakan ikan  meladang (jenis ikan laut). Sekdes Bejagung, Kusnadi 
mengatakan, hampir  semua warganya tak pernah melanggar pantangan tersebut. 
''Kalau  dilanggar, maka yang memakan akan gatal-gatal,'' kata dia. 


Mitos  ini terkait dengan pengalaman Sunang Bejagung yang terapung di laut dan  
ditolong ikan tersebut. Ponpes Sunan Bejagung mengupas pantangan  memakan ikan 
ini dalam situsnya sunan-bejagung.net. Rujukannya, buku  Babad Tanah Jawa, 
Babad 
Tuban, dan juga buku dokumen Bejagung. 


Dalam  situs ini disebutkan, suatu ketika Sunan Bejagung diajak berhaji oleh  
santrinya yang berwujud jin. Santri tersebut sanggup menggendong Sunan  
Bejagung 
dari Tuban sampai ke Masjidil Haram Makkah. Namun, saat  digendong melintas 
samudra, Sunan Bejagung lepas dan jatuh ke laut. 


Dalam  musibah tersebut dikisahkan Sunan Bejagung selamat karena dan ditolong  
ikan meladang. Ikan inilah yang membawa sunan sampai di suatu pantai di  
Hadramaut (yang sekarang dikenal dengan Saudi Arabia). Setelah sampai di  Arab, 
Sunan Bejagung berpesan kepada semua anak cucunya jangan sampai  makan ikan 
meladang.

Dalam portal Ponpes Bejagung ini juga  dibeber sejarah kedatangan Sunan 
Bejagung 
yang dikaitkan dengan  hancurnya Kerajaan Pasai di Kutai. Setelah Pasai hancur, 
terjadi eksodus  besar-besaran muballig Arab yang dipimpin Syekh Jumadil Kubro. 
 
Pengikutnya, Syekh Ibrohim Asmoro Qondi, Maulana Ishak, Maulana Malik  Ibrahim, 
Maulana Abdullah Asyari Sunan Bejagung, dan ulama lainnya. 


Sesampai  di tanah Jawa yang menjadi tujuannnya, Syekh Jumadil Kubro membagi  
tugas dakwah. Dia menuju kerajaan Majapahit. Maulana Ishaq ke Kadipaten  
Banyuwangi, Maulana Malik Ibrahim ke Gresik. Sementara Syekh Maulana  Ibrohim 
Asmoro Qondi dan  Syekh Maulana Abdullah  Asy'ari  ditugaskan di  Kadipaten 
Tuban. Mubalig lainnya ditugaskan di tempat yang berbeda  dengan tujuan yang 
sama, siar ajaran Islam. 


Kedatangan Maulana  Abdullah Asy'ari di Tuban disambut baik Adipati Tuban 
Wilotikto. Sang  Adipati sangat menghormati ulama pendatang tersebut, meski 
pada 
saat itu  dia belum bisa menerima islam sebagai agama yang baru. Bentuk rasa  
hormatnya kemudian diwujudkan dengan memberikan tanah pardikan  (kemerdekaan) 
di 
sebuah daerah pegunungan yang saat ini bernama Desa  Bejagung di Kecamatan 
Semanding.

Di daerah inilah Syekh Maulana  Abdullah Asy'ari mendirikan sebuah kasunanan 
dengan nama Kasunanan  Bejagung sekitar 1360 M yang pada akhirnya menjadikan 
beliau dikenal  dengan sebutan Sunan Bejagung .

Awalnya, tidak ada istilah Sunan  Bejagung Lor dan Sunan Bejagung Kidul karena 
Sunan Bejagung memang hanya  satu yaitu Maulana Abdullah Asya'ari Sunan 
Bejagung. Kisah ini berawal  dari datangnya seorang santri yang dikirim oleh 
Syeh Jumadil Kubro.  Namanya, Pangeran Kusumohadi yang tidak lainputra  Prabu 
Brawijaya IV atau Prabu Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya. 


Kusumohadi  pergi meninggalkan kerajaan karena tidak menginginkan tahta 
kerajaan  
yang saat itu menjadi rebutan antara Pangeran Wirabumi dan Putri Kusuma  
Wardani. Setelah diterima sebagai santri Sunan Bejagung, Kusumohadiberganti 
nama 
menjadi Hasyim Alamuddin. Karena  alim, sholeh, dan ketauhidannya sangat 
tinggi, 
akhirnya Kusumohadi  diambil menantu Sunan Bejagung. Dia dinikahkan dengan 
putrinya bernama Nyai Faiqoh.

Melihat kemampuan menantunya  dalam mengajarkan agama, Hasyim Alamuddin 
dipasrahi siar di wilayah  Bejagung Kidul. Sementara Syekh Maulana Abdullah 
Asy'ari berpindah atau  uzlah ke Bejagung bagian utara (Bejagung Lor). (*/yan)


  
 
HALAMAN KEMARIN 
        * Satu Semester Makan Delapan Korban  
        * Pendaftar Luar Kota Dikuota Sepuluh Persen  
        * Warga Bojonegoro Ramaikan Muktamar di Jogjakarta  
        * Hamili Siswi SMA, Urusan Polisi  
        * Kasipidsus Kejari Dimutasi  
        * Terapkan Sistem Penutupan Kota  
        * Tandatangani MoU Teknis Pengitungan Ulang  
        * Jajal Petenis Meja Kota Blitar  
        * Guntur Gagal Ukir Prestasi  
        * Urus Kelengkapan Administrasi Ivaylo  


Kirim email ke