Wa'alaikum Salam,
 
Mungkin artikel di bawah bisa memberikan penerangan.
Reference : Buku :Sunnahkah Berdzikir berjama'ah
Penulis : Arifin Badri, MA
Atau mau lebih jelas open di www.muslim.or.id tentang Berdzikir berjama'ah 
C. Hukum mengusap wajah setelah berdo¡¯a
 
Pada pembahasan ini, bapak Kyai menyatakan bahwa mengusapkan kedua telapak tangan seusai berdo¡¯a ialah sunnah dan termasuk salah satu etika yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ¡®alaihi wasallam. Kemudian beliau berdalil dengan hadits riwayat Umar bin Al Khatthab rodiallahu¡¯anhu berikut ini:
 
¡°Dahulu Rasulullah shollallahu¡¯alaihiwasallam bila mengangkat kedua tangannya tatkala berdo¡¯a, tidaklah menurunkannya hingga mengusapkannya ke wajah beliau¡±. (Riwayat At Tirmizi 5/463, hadits no: 3386, ¡®Abd bin Humaid 1/44, hadits no: 39, Al Bazzar 1/243, hadits no: 129, At Thabrani dalam Mu¡¯jam Al Ausath 7/124, hadits no: 7053, dan Al Hakim 1/719, hadits no: 1967, semuanya melalui jalur perawi yanng bernama Hammad bin ¡®Isa Al Juhani).
Seluruh sanad hadits ini bertemu pada seorang perowi yang bernama Hammad bin ¡®Isa Al Juhani, dan karenanya lah seluruh ulama¡¯ memvonis dhaif/lemah hadits ini. Diantara ulama¡¯ ahli hadits yang telah memvonis dhaif ialah:
  1. Abu Zur¡¯ah Al Razi, ia berkata: ¡°Ini adalah hadits mungkar, dan saya kawatir jangan-jangan hadits ini tidak ada asal usulnya (palsu)¡±. [¡¯Ilal Ibnu Abi Hatim, oleh Abdurrahman bin Muhammad Ar Razi 2/205].
  2. Yahya bin Ma¡¯in, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi. [Al ¡®Ilal Al Mutanahiyah oleh Ibnu Jauzi 2/840].
  3. Al Bazzar, ia berkata: ¡°Hadits ini yang meriwayatkannya dari Handholah hanyalah Hammad bin ¡®Isa, dan dia ini lemah haditsnya¡­ dan saya tidak ada pilihan lain, sehingga saya cantumkan hadits ini, karena (mengusap muka dengan kedua telapak tangan setelah berdo¡¯a) tidaklah diriwayatkan dari Nabi shollallahu¡¯alaihiwasallam melainkan dalam riwayat lemah semacam ini, atau bahkan lebih lemah lagi¡±. [Al Musnad, oleh Abu Bakar Ahmad bin ¡®Amer Al Bazzar 1/243].
  4. Az Zahabi. [Siyar A¡¯alam An Nubala¡¯, oleh Az Zahabi 16/67].
  5. An Nawawi. [Al Majmu¡¯ Syarah Al Muhazzab, Oleh An Nawawi 3/463, dan Al Adzkar 355].
Adapun ucapan Al Hafidz Ibnu Hajar Al ¡®Asqalani berikut ini:
¡°Hadits ini memiliki beberapa pendukung, diantaranya riwayat Ibnu Abbas ¨Cradhiallahu ¡®anhuma- yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya, dan paduan seluruh riwayat ini menjadikan hadits ini meningkat menjadi hadits hasan (hasan lighairihi)¡±, maka perlu diketahui bahwa ucapan beliau ini oleh banyak ulama¡¯ dinyatakan tidak dapat diterima, karena beberapa hal berikut:
  1. Hadits hasan lighairihi menurut istilah Ibnu hajar ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang belum diketahui statusnya (mastur) bila diriwayatkan dari beberapa jalur sanad (rentetan perawi) yang berbeda. [Lihat keterangan beliau tentang hadits Hasan Lighairihi pada kitab beliau NuzhatunnNnadhar Fi taudlih Nukhbatil Fikar, 139-140].
  2. Ibnu Hajar telah berkata tentang perawi di atas, yaitu Hammad bin ¡®Isa Al Juhani, bahwa ia adalah perawi yang dhaif, berikut ini ucapan beliau tentangnya:
 
¡°Hammad bin ¡®Isa bin ¡®Ubaidah bin Al Thufai Al Juhani Al Wasithi, penduduk Bashrah, dhaif, tergolong kedalam generasi ke sembilan, ia mati tenggelam di daerah Juhfah, pada tahun: 208¡å. [Taqrib At Tahzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 81].
Padahal menurut istilah Al Hafidz Ibnu Hajar Al ¡®Asqalani, orang yang ia vonis dhaif, ia kategorikan ke dalam tingkatan ke delapan, yaitu: tingkatan orang-orang yang tidak ada satu ulama¡¯pun yang menganggapnya kuat dalam periwayatan hadits, akan tetapi ada ulama¡¯ ahli hadits yang memvonisnya dhaif atau lemah, walaupun vonis ini tidak dijelaskan sebabnya. [Baca Muqaddimah kitab Taqrib At Tahzib oleh Ibnu hajar Al ¡®Asqalani].
Dan bila kita merujuk kepada pembagian Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqrib Al Tahzib, maka kita dapatkan bahwa tingkatan dhaif adalah tingkatan kedelapan, berarti tingkatan ini lebih rendah bila dibanding dengan tingkatan mastur, yang beliau posisikan pada tingkatan ketujuh.
Ditambah lagi, bila kita mengkaji ulang biografi perawi ini, kita akan dapatkan bahwa Ibnu Hibban telah menyebutkan alasan mengapa orang ini divonis lemah, yaitu karena diragukan ¡®adalah-nya (kredibilitasnya).
Ibnu Hibban berkata:
 
¡°Hammad bin ¡®Isa Al Juhani, seorang syeikh, ia meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dan Abdul ¡®Aziz bin Umar bin Abdil Aziz, beberapa riwayat yang terbolak-balik. Sehingga orang yang perlakuannya semacam ini, dapat diduga cacat riwayatnya, dan tidak boleh dijadikan hujjah/dalil¡±.
Sedangkan Az Zahabi berkata:
 
¡°Hammad Al Juhani, ialah seorang yang mati tenggelam di Juhfah, ia meriwayatkan dari Ja¡¯far As Shaadiq dan Ibnu Juraij beberapa riwayat yang sangat jelek¡±. [Mizan Al I¡¯itidal, oleh Az Zahabi 2/369].
Sehingga seharusnya perawi ini dikatagorikan oleh Ibnu Hajar ke dalam tinggkatan yang lebih rendah dari tingkatan ke delapan.
Dengan penjelasan ini, kita dapat simpulkan bahwa hadits sahabat ¡®Umar bin Khatthab ini bila diteliti lebih mendalam dengan menggunakan penjelasan Ibnu Hajar tentang hadits hasan lighairihi tidak dapat dianggap sebagai hadits hasan lighairihi. Sehingga ucapan Ibnu Hajar di atas tidak sesuai dengan penjabaran beliau sendiri, sehingga tidak dapat diterima. [Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan dan takhrij lengkap tentang hadits ini, silahkan baca buku Juz¡¯un Fi mash Al Wajhi Bi Al yadain Ba¡¯da Raf¡¯ihima Li Ad Du¡¯a, oleh Baker bin Abdillah Abu Zaid].
Kemudian yang menurut hemat saya perlu untuk dikritikkan kepada bapak Kyai Dimyathi pada pembahasan ini ialah sikap beliau yang kurang obyektif dalam membahas masalah ini. Beliau tahu bahwa para ulama¡¯ berbeda pendapat tentang hal ini, akan tetapi beliau hanya menukilkan satu pendapat saja, sehingga terkesan bahwa seluruh ulama¡¯ sependapat dengan mereka. Terlebih-lebih beliau pada hal: 133 berkata: ¡°berdasarkan hadis-hadis di atas itulah, para ulama berfatwa bahwa mengusap wajah setelah berdo¡¯a itu hukumnya sunat¡±. Padahal tidak demikian itu halnya, yang berfatwa demikian hanyalah sebagian ulama¡¯ bukan seluruhnya.
Salah satu buktinya adalah Imam An Nawawi sendiri, beliau memiliki dua pendapat yang saling bertentangan: Pada kitab Al Majmu¡¯ beliau menyatakan yang benar ialah tidak mengusap wajah, sedangkan dalam kitab Al Adzkar beliau menyatakan disunnahkannya mengusap wajah seusai berdo¡¯a. [Lihat Al Majmu¡¯ Syarah Al Muhazzab 3/463, dan Al Adzkar 355].
Bahkan Sulthan Al Ulama¡¯ Izzuddin bin Abd Al Salam berkata:
¡°Dan tidaklah ada orang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya seusai berdo¡¯a melainkan orang bodoh¡±. [Al Fatawa Al Mushiliyyah, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam 34].
Kemudian pada pembahasan ini bapak Kyai menukilkan perkataan Imam An Nawawi tentang hukum beramal dengan hadits dhaif, beliau berkata:
 
¡°Ulama¡¯ ahli hadits dan fiqih dan yang lainnya menyatakan: boleh dan dianjurkan dalam hal fadla¡¯il (keutamaan suatu amalan, At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan menakut-nakuti) untuk menggunakan hadits dhaif, selama tidak termasuk hadits maudlu¡¯ (palsu). Adapun berkenaan dengan hukum-hukum, seperti halal, haram, jual-beli, pernikahan, perceraian, dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan kecuali hadits shahih, atau hasan, kecuali dalam rangkan kehati-hatian dalam hal-hal tersebut¡±. [Al Azkar, oleh Imam An nawawi, 7-8].
Ucapan An Nawawi ini sering disalahpahami oleh banyak orang. Agar maksud beliau ini menjadi jelas, saya akan nukilkan penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani tentang hukum beramal dengan hadits dhaif dalam fadla¡¯ilul A¡¯amal:
 
¡°As Sakhawi berkata: Saya pernah mendengar dari guruku rahimahullah ¨C yaitu Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani- berkata dan kemudian beliau menuliskannya untukku dengan tulisan tangannya sendiri: ¡°Sesungguhnya syarat beramal dengan hadits dhaif ada tiga:
  1. Syarat yang disepakati oleh seluruh ulama¡¯: hendaknya hadits itu tidak terlalu lemah, dengan demikian hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh para pendusta/pemalsu, orang-orang yang dituduh berdusta/memalsukan hadits, dan orang yang banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan hadits tidak dimaksudkan dalam hal ini.
  2. Hendaknya amalan itu tercakup oleh suatu dasar/dalil yang bersifat umum, sehingga amalan yang diada-adakan, dan tidak memiliki dasar hukum (dalil) sama sekali tidak dimaksudkan di sini.
  3. Hendaknya ketika mengamalkannya, tidak diyakini akan keabsahan hal tersebut, agar tidak dinisbatkan kepada Nabi shollallahu¡¯alaihiwasallam suatu hal yang tidak pernah beliau sabdakan.
Kemudian yang perlu di tekankan lagi, bahwa yang dimaksudkan oleh para ulama¡¯ dari kata Fadla¡¯ilul A¡¯amal ialah: keutamaan atau pahala atau ganjaran amalan-amalan yang benar-benar telah diajarkan dan ada dalilnya dalam syari¡¯at, bukan mengadakan amalan-amalan yang dianggap utama atau baik, walau tidak ada dalilnya. Oleh karenanya para ulama¡¯ mengungkapkannya dengan sebutan Fada¡¯ilul A¡¯amal, bukan A¡¯amal Al faadlilah. Saya rasa orang yang mengerti bahasa arab, walau sedikit, ia dapat membedakatan antara dua ungkapan ini.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
 
¡°Beramal dengan hadits dla¡¯if maksudnya ialah: Hati kita mengharapkan pahala itu atau takut tertimpa hukuman itu, layaknya seorang pedagang mengetahui bahwa perdagangan akan mendatangkan keuntungan, akan tetapi ia mendengar kabar bahwa perdagangan kali ini akan mendatangkan keuntungan besar. Maka kabar ini seandainya benar adanya, niscaya ia diuntungkan, dan bila tidak benar, ia tidak dirugikan. Demikian inilah halnya At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan menakut-nakuti) dengan kisah-kisah Bani Israel, mimpi-mimpi, ucapan ulama¡¯ terdahulu, berbagai kejadian yang dialami oleh ulama¡¯ dan lainnya yang tidak boleh dijadikan dasar/dalil untuk menetapkan suatu hukum syari¡¯at ¨Cbila hanya berdasarkan hal-hal itu-, baik itu hukum sunnah atau lainnya. Akan tetapi boleh disebutkan tatkala menyampaikan At Targhib wa At Tarhib, membangkitan harapan, dan menumbuhkan rasa takut¡±. [Majmu¡¯ fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 18/66].
Inilah maksud para ulama¡¯ dengan ucapan: Boleh beramal dengan hadits-hadits dlaif dalam fadla¡¯ilul A¡¯amal.
Bila kaidah ini telah jelas, mari kita terapkan pada permasalahan ini, yaitu mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah, seusai berdo¡¯a:
Setelah ditelusuri, dan dikaji dengan mendalam, kita dapatkan bahwa para ulama¡¯ sepakat menyatakan bahwa: Seluruh hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini lemah, sehingga tidak ada dasar/dalil yang kuat untuk menetapkan hukum sunnah bagi amalan ini. Dan amalan ini juga tidak tercakup oleh dalil-dalil lain yang bersifat umum, sebab dalil-dalil yang menganjurkan kita untuk berdo¡¯a tidak menyinggung/mencakup metode berdo¡¯a dengan cara mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, sehingga amalan ini tidak disunnahkan. Dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini tidak dapat dikatagorikan ke dalam hadits-hadits fadla¡¯ilul A¡¯amal, karena hadits-hadits itu tidaklah menyebutkan keutamaan suatu amalan, akan tetapi mensyari¡¯atkan suatu amalan, sehingga dikategorikan ke dalam hadits-hadits Al A¡¯amal Al fadlilah.
Semoga dengan penjelasan ini, kesalahpahaman semacam ini tidak terulang lagi, dan bapak Kyai lebih berhati-hati dalam berfatwa.
Yang lebih tidak dapat diterima dari ucapan bapak Kyai pada pembahasan ini ialah ucapan beliau pada hal: 134, yaitu: ¡°dari fatwa para ulama¡¯ tadi, dapat dipahami bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo¡¯a itu adalah sunat, dan dinilai sebagai orang yang mengikuti sunnah Rasulullah shollallahu¡¯alaihiwasallam. Logikanya, orang yang tidak mau mengusap wajahnya setelah berdo¡¯a adalah orang yang melakukan bid¡¯ah, tidak sesuai dengan sunnah Nabi shollallahu¡¯alaihiwasallam¡±.
Pada penggalan ucapan bapak Kyai ini ada beberapa hal yang perlu diluruskan:
Pertama: Memastikan bahwa ini adalah sunnah Rasulullah shollallahu¡¯alaihiwasallam, padahal para ulama¡¯ sendiri berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan Imam An Nawawi As Syafi¡¯i dalam kitabnya Al Majmu¡¯ menyebutkan bahwa ulama¡¯ mazhab Syafi¡¯i memiliki tiga pendapat yang berbeda dalam permasalahan ini. Dengan demikian saya anjurkan agar bapak Kyai menjadikan hal ini sebagai pertimbangan, agar dapat bersikap obyektif.
Kedua: Vonis bid¡¯ah terhadap orang yang tidak mengusap wajahnya seusai berdo¡¯a adalah vonis sepihak, dan tanpa didasari oleh etika keilmuan, sebab betapa banyak hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi ? dan juga para sahabatnya berdo¡¯a, akan tetapi tidak disebutkan dalam riwayat-riwayat shahih itu, bahwa mereka mengusap wajahnya. [Saya rasa bahwa bapak Kyai Dimyathi mengetahui hadits-hadits yang saya maksudkan, karena beliau adalah seorang yang dikenal sebagai pakar hadits di bumi Pasundan].
Oleh karena itu, mari kita simak bagaimana etika seorang ulama¡¯ tatkala mengomentari permasalahan ini, agar bisa dibandingan dengan sikap bapak Kyai Dimyathi:
Imam Al Baihaqi dalam kitabnya As Sunan Al Kubra berkata:
 
¡°Adapun masalah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan seusai berdo¡¯a, maka saya tidak ingat dari seorang ulama¡¯ salafpun (ulama¡¯ terdahulu) bahwa ia melakukannya dalam do¡¯a qunut, walaupun itu diriwayatkan dari sebagian mereka ketika berdo¡¯a di luar shalat. Dan telah diriwayatkan juga suatu hadits dari Nabi shollallahu¡¯alaihiwasallam tentangnya, akan tetapi haditsnya lemah, dan walau demikian hadits ini diamalkan oleh sebagian mereka di luar shalat. Adapun mengusap wajah di dalam shalat (seusai berdo¡¯a dalam shalat), maka itu adalah amalan yang tidak ada dalilnya yang shahih, tidak ada riwayat dari ulama¡¯ salaf (atsar), juga tidak ada dalil berupa qiyas, maka yang utama ialah kita tidak melakukannya, dan mencukupkan diri dengan apa yang telah dilakukan oleh ulama¡¯ salaf ¨Csemoga Allah meridhai mereka- yaitu seusai berdo¡¯a dalam shalat cukup mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke wajah¡±. [As Sunan Al Kubra Oleh Imam Al Baihaqi 2/212].
Betapa tinggi kesopanan dan etika keilmuan beliau dalam membahas suatu permasalahan, walaupun beliau tidak sependapat dengan orang yang mengusapkan tangannya ke wajah, akan tetapi beliau berkata dengan penuh penghargaan: walaupun itu diriwayatkan dari sebagian mereka ketika berdo¡¯a di luar shalat, dan telah diriwayatkan juga suatu hadits dari Nabi shollallahu¡¯alaihiwasallam tentangnya, akan tetapi haditsnya lemah, dan walau demikian hadits ini diamalkan oleh sebagian mereka diluar shalat¡±.
 
Wassalam,
Dani
 
========================================================
Assalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh

Hari ini ana beli buku "Dzikir dan Do'a Shahih dari Shahih Adabul
Mufrod & Jamius Shagir" terbitan Media Hidayah Cetakan Pertama
Dzulqa'dah 1425. Buku kecil ini merupakan buku yg disusun dari
kitab 'shahih al-Adab al-Mufrad lil Imam Al-Bukhori' dan kitab 'Shahih
al-Jami' ash-Shaghir wa Ziyadatuhu (al-Fath al-Kabir)
Dua kitab ini merupakan karangan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Sedangkan buku kecil ini disusun oleh Muhammad Thalib, Abu Umar SS.

Pada buku ini halaman 23 Bab Cara Berdoa no.3 menyebutkan sbb:
"Apabila beliau berdo'a, beliau mengangkat kedua tangannya, lalu
mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya."(Hadits Shahih
Riwayat Abu Dawud dari Yazid;al-Jami'ash-Shagir no. 6685)

Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa mengusap muka setelah berdoa
adalah tidak ada sunnahnya dari Rasulullah Salallahu'alaihiwasallam.
Jadi yang ana sekarang bingung nih....mohon pencerahannya..

Jazakumullah Khairan

Wassalaamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

------------------------------------------------------------------
HADIRILAH.. SILATURAHMI ULAMA DAN UMMAT KE II BERSAMA MURID-MURID SENIOR
ULAMA AHLI HADITS ABAD INI SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI, MASJID
ISTIQLAL, AHAD 20 MUHARRAM 1427H/19 FEBRUARI 2006M JAM 08.00 – 12.00
Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
------------------------------------------------------------------




SPONSORED LINKS
Islam Beliefs Religion


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke