Pendidikan Ala Pesantren

Oleh Imam Nur Suharno

"Saya saat ini masih teringat akan makanan halal dan haram, hukum nun
mati dan tanwin, larangan-larangan ketika jinabah, dan sebagainya.
Namun, saya sudah tidak ingat fungsi trigonometri dalam matematika.
Apalagi tentang teori-teori ilmu ekonomi dan sejarah."

Begitulah komentar beberapa orang yang mencoba membedakan keadaan
(ilmu) saat ini dari hasil pendidikan pesantren dengan pendidikan
formal pada umumnya. Sederhana tetapi mengena. Cukup banyak komentar
yang sejenis dengan pernyataan di atas. Hal ini sebenarnya menjadi
evaluasi bahwa proses pendidikan ala pesantren lebih berkesan di benak
para pembelajar (santri) dibandingkan dengan hasil dari pendidikan
formal umumnya. (Tabloid Pondok, edisi keempat, Direktorat Pendidikan
Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam,
Departemen Agama RI, 2008).

Salah satu keistimewaan pendidikan pondok pesantren adalah sistem
boarding school atau sistem asrama. Dengan sistem boarding school,
santri sepanjang hari dan malam berada dalam lingkungan belajar.
Mereka bergaul bersama siswa yang lain dan para ustaz mereka. Para
guru/ustaz dapat memantau dan mengarahkan setiap perilaku santri
sepanjang waktu. Di samping itu, dengan bergaul sepanjang waktu,
memungkinkan bagi santri untuk mencontoh perilaku dan cara hidup
ustaz. Sebab, mencontoh merupakan salah satu cara belajar yang paling
efektif daripada sekadar belajar secara kognitif. (Wakhudin, Pikiran
Rakyat, 2007).

Dengan model pendidikan ala pondok pesantren, tiga aspek ranah
pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik akan sangat
mudah diimplementasikan. Lain halnya dengan di lembaga pendidikan pada
umumnya, bahwa format tiga ranah pendidikan tersebut masih dicari
untuk bisa diimplementasikan. Dengan pendidikan ala pondok pesantren
ini, tujuan pendidikan nasional dapat pula diejawantahkan.

Keberhasilan pola pendidikan ala pondok pesantren (terlepas dari
kekurangannya di berbagai sisi) menjadikan para pengelola pendidikan
tertarik untuk mengadopsinya. Sejak pertengahan 1990-an, ada fenomena
menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan model
pondok pesantren ramai-ramai diadopsi untuk mengembangkan sekolah plus
yang menawarkan kelebihan bagi peserta didik.

Di sekolah yang kemudian disebut boarding school ini, peserta didik
mengikuti kegiatan pendidikan reguler dari pagi hingga siang di
sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan
nilai di sore dan malam hari. Selama 24 jam, peserta didik berada di
bawah pendidikan dan pengawasan para ustaz/guru dan pembimbing.

Di lingkungan sekolah, mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan
teknologi secara intensif. Sementara di asrama, mereka ditempa untuk
menerapkan ajaran agama yang dipelajari di sekolah, juga untuk
mengekspresikan rasa seni dan keterampilan hidup di hari-hari libur.
Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan
para ustaz/guru. Dari segi sosial, boarding school mengisolasi peserta
didik dari lingkungan sosial yang heterogen. Dari segi semangat
religiusitas, menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan
jasmani dan rohani, intelektual, emosional, dan spiritual.

Dalam kehidupan asrama, peserta didik mendapatkan pembelajaran dan
pengalaman hidup yang sangat baik. Ustaz/guru dan pembimbing hidup
berdampingan dengan peserta didik di dalam kampus untuk
sebanyak-banyaknya memberikan pengaruh yang baik agar budaya hidup dan
kehidupan kampus normatif seiring dengan kematangan peserta didik
secara fisik ataupun mental. Pola pendidikan pondok pesantren
(boarding school) ini, memungkinkan untuk terbentuknya karakter
peserta didik.

Memilih sekolah di pondok pesantren, bukanlah keputusan yang mudah
bagi orang tua ataupun anak. Sedikitnya ada empat hal yang perlu
dipersiapkan selain biaya pendidikan.

Pertama, perlu adaptasi dengan lingkungan. Sebab, yang biasanya anak
bergaul hanya dengan teman sebaya dalam satu wilayah tertentu,
kemudian harus bergaul dengan teman secara lebih luas dan kompleks.
Sebab, komunitas pesantren berasal dari berbagai daerah dan berbagai
karakter.

Kedua, perlu kesiapan mental baik dari anak maupun orang tua. Sebab,
secara fisik mereka akan berpisah dalam waktu tertentu.

Ketiga, perlu kesabaran. Dengan kesabaran yang matang, anak akan mampu
menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapinya.

Keempat, yang tidak kalah pentingnya, iringan doa dari orang tua,
terutama doa di sepertiga malam. Rasulullah saw. pernah bersabda, "Ada
tiga macam doa yang tidak diragukan lagi, pasti diterima, yaitu doa
orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua kepada
anaknya." (H.R. Tirmidzi).

Dengan empat hal di atas, diharapkan anak menjadi betah dan siap untuk
belajar di lingkungan pondok pesantren (boarding school). Betah
merupakan kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu di pondok pesantren.
Sebab, anak yang cerdas tetapi tidak betah tidak akan mampu
konsentrasi dalam belajar. Sebaliknya, anak yang biasa-biasa saja dari
sisi kecerdasan bila betah akan mampu berprestasi. Wallahualam. ***

Penulis, Praktisi Pesantren di Kuningan, Jawa Barat.
Cite: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=87144

Kirim email ke