ASAL USUL

Orang-Orang "Murtad"

                               Mohamad Sobary

Seseorang yang meninggalkan agamanya dan pindah ke agama lain disebut
murtad. Ke-murtad-an saya kira tampak bukan pada ke-pindah-annya ke
agama lain, tapi lebih dilihat pada ketidak-sediaannya mematuhi ajaran
yang sudah pernah diyakini kebenarannya dan pernah menjadi jalan hidupnya.

Ia dianggap mengkhianati agamanya. Ini perkara sensitif dalam kelompok
karena menodai kesakralan dan "ingkar" akan kebenaran agamanya
terdahulu. Maka, mereka yang masih di "sana", dan terutama orang-orang
yang dianggap pimpinan, biasanya kecewa, jengkel, marah. Dan keluarlah
kutukan: "si murtad, yang tak bisa merawat imannya…."

Dalam hidup sosial—di luar aturan, tradisi, cara pandang, dan segenap
corak ritus sakral keagamaan—dapat juga terjadi prinsip ke-murtad-an.
Namanya murtad sosial, suatu momen, atau fenomena, runtuhnya "iman"
sosial kita.

Wujudnya, seseorang meninggalkan jalan kemanusiaan dan berganti jalan
nafsu angkara murka, yang bertentangan dengan apa saja yang manusiawi.
Merampok, membunuh, memerkosa, mencuri, meneror, menyantet, cukup
untuk menjadi contoh.

Sebuah film koboi lama, The Good, the Bad, and the Ugly mungkin juga
merupakan corak ke-murtad-an tadi. Hidup serba keras dan penuh
kekerasan. Membunuh sesama manusia dianggap biasa. Kelangsungan hidup
dijaga dengan pembunuhan.

Tapi di sana yang menang dan yang kalah hampir tak terlihat bedanya.
Kedua pihak sama-sama kelelahan, berdarah-darah, menderita, dan getir.

Orang saleh bisa terjerumus dalam kesalahan, dan orang bejat bisa
tampak seolah suci dan luhur. Kelicikan, tipu daya, dan perbanditan
sungguh berkuasa. Dan sekali lagi: kebejatan bisa tampak seperti kesalehan

Dalam film digambarkan alam yang gersang, kering, panas, batu-batu,
dan debu, tanpa air, tanpa pepohonan, tanpa bayangan keteduhan. Para
penikmat film sering menganggap film koboi hitam-putih. Saya tak
begitu setuju.

Dalam hidup serba keras, di mana kalah-menang tipis bedanya, kesalehan
dan kebejatan mudah disamarkan, maka Tuhan dinyatakan lewat bedil,
setan-iblis diungkapkan dalam bahasa bedil, dan syiar mengenai apa
yang benar pun lewat moncong bedil. Pendeknya, cara ber-"amar makruf
nahi mungkar"—menyampaikan kebenaran dan mencegah kesalahan dan
kezaliman—pun memakai bahasa bedil.

Dalam hidup yang keras, bedil satu-satunya bahasa yang dipahami umat
manusia. Dalam film koboi, satu tema ini bisa tampil dalam banyak
variasi pada banyak cerita yang berbeda. Pertarungan benar-salah,
mulia-bejat, direpresentasikan pada sang jagoan, orang baik, yang
memburu, hingga ke ujung dunia sekalipun, si bandit zalim, yang bikin
susah orang lain.

Di sini orang baik bukan orang suci, bukan nabi. Ia mungkin orang
kesepian, yang hidup penuh rasa getir, dan enggan menengok gelapnya
masa lalu, dan karena itu ia mungkin diam-diam memanggul dendam pada
semua bandit, seperti halnya Rama Parasu, pandita berkapak, yang pedih
masa lalunya, dan dendam pada semua satria. Kapak raksasanya sudah
menebas leher-leher para satria yang tak berdosa. Tapi dalam dunia
film koboi, bisa juga orang baik di sini penegak hukum, sheriff, atau
wali kota yang berani menyempet-nyerempet bahaya.

Bagaimana si bandit yang zalim itu watak dan ciri-cirinya?

Cerdas, pandai memutarbalikkan fakta, pandai memfitnah, bohong, licik,
culas, dan keji. Ia juga pandai menjilat, pandai berpura-pura sedih,
atau taubat. Pendeknya, pandai memanipulasi apa saja. Tetapi,
nuraninya tumpul.

Tak jarang si bandit mengidap watak antisosial, seperti banyak bandit
dalam film-film Amerika. Mungkin pada intinya ia orang yang hidupnya
hampa, meaningless, dan tak bahagia. Dalam kategori tertentu ia
sebenarnya orang "sakit". Ia patut dikasihani.

Ke-murtad-an macam itu tak terjadi semata di dalam film. Kalau kita
percaya karya seni—juga film—hanya tiruan buruk dari realitas hidup
kita, maka kita akan tahu bahwa dalam hidup nyata, tiap detik, tiap
menit, tiap jam, tiap hari, kita bertemu, bertegur sapa makan bersama,
shalat bersama, terkadang juga naik haji bersama, dan mungkin
bersengketa hebat pula, dengan si "murtad".

Dan si "murtad" itu boleh jadi—dalam suatu "lakon" tertentu—malah kita
sendiri. Kita menjadi si "murtad", atau bagian dari jamaah kaum
"murtad" tadi. Ini berarti bahwa kita tak bisa menjaga "iman" sosial
kita, yang menjadi tonggak dan penyangga rasa hormat dan penghargaan
kita atas kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.

Anak buah, teman sejawat, karyawan, para pimpinan, bos, semua bisa
murtad. Tokoh bisnis, pemimpin rohani, tokoh intelektual, tokoh
politik, tak satu pun pernah kebal dari ancaman murtad sosial tadi.

Tokoh dunia macam Bush pun "murtad" dalam kategori ini. Bahkan lebih
dari itu. Ia contoh terbaik untuk menjelaskan relevansi ucapan Mahatma
Ghandi: an eye for an eye will only make the whole world blind.

Bush memelopori penciptaan sebuah blind world. Maka, di kalangan
orang-orang "murtad", ia yang paling murtad. Di situ ia raja, bahkan
kaisar.

Dunia memang sering buta. Kita bagaikan hidup di alam kegelapan, di
bumi tingkat ketujuh. Dan saat ini kita menjadi saksi sedih karena
ke-murtad-an terhadap kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, diterima
wajar, bahkan dengan rasa hormat, seperti kita menerima mertua yang
lama tak berkunjung.

Memang benar, dunia bukan surga, dan tak mungkin dibikin menjadi surga
yang nyaman, teduh dan aman. Tapi bukankah kita bisa berusaha
membikinnya sedikit lebih terang agar "iman" sosial kita tak terlalu
rentan menghadapi godaan untuk "murtad"?

        





Kirim email ke