Hans Kung dan Tumpang Tindih Paradigma Islam
Oleh Novriantoni Kahar

Karena itu, masa depan Islam, bagi Kung, sangat bergantung pada pergulatan yang 
terjadi di antara berbagai paradigma di atas. Skenario buruk maupun baik dapat 
saja terjadi pada Islam di masa kini dan di saat mendatang. Pertanyaan kuncinya 
bagi Kung adalah adakah ruang yang memadai di negara-negara Islam kunci untuk 
mengkombinasikan antara substansi ajaran Islam dan tantangan abad ke-21? 
Siapakah ahli waris absah agama yang sudah berumur 14 abad ini yang akan mampu 
mengajukan pandangan-pandangan segar dan relevan dengan dunia kini? 
Artikel ini sebelumnya dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 1 Mei 2010.

Selama sepekan ini (25 April-2 Mei), publik Indonesia kedatangan Presiden 
Global Ethics Foundation Profesor Hans Kung. Teolog Katolik asal Swiss itu 
sudah lama dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan implementasi etika 
global demi terwujudnya tatanan dunia yang lebih baik dan adil. Itu pulalah 
yang menyemangatinya untuk menulis buku tentang Islam yang berjudul Islam: 
Past, Present and Future (2007). Ia ingin memahami dan menjajaki kemungkinan 
sumbangan Islam sebagai salah satu agama besar dunia bagi terwujudnya dialog 
dan kesepahaman antarumat beragama di dunia yang fana ini.

Saya membaca buku ini lewat file pdf yang dapat diunduh gratis di berbagai link 
Internet. Kesan pertama saya terhadap buku ini adalah ketebalannya yang sampai 
800 halaman. Tapi itu bisa dimaklumi karena yang diulas adalah Islam dulu, 
kini, dan proyeksi di masa mendatang. Walau ulasannya bersifat deskriptif saja, 
tampak sekali bahwa Kung berupaya keras untuk memahami kompleksitas ajaran, 
sejarah, dan doktrin Islam sejak awal kedatangannya sampai saat ini. Daftar isi 
buku ini membuktikan bahwa Kung sangat paham tentang fase-fase penting sejarah 
dan peradaban Islam.

Kesan kedua adalah empati Kung yang mendalam terhadap obyek kajiannya, yaitu 
Islam, sehingga menghasilkan karya yang obyektif dan berimbang. Kung memang 
tidak bertendensi untuk menjadi orang dalam Islam sehingga harus menjadi apolog 
Islam. Dia juga tetap menyisakan kritisisme, sebagaimana kritisismenya terhadap 
kekristenan. Namun kritisisme itu tidak membuatnya jatuh kepada sinisme yang 
tak perlu. Orang Islam tak akan terlukai oleh telaah Kung tentang Islam, tapi 
mereka justru diajak merenungkan kemungkinan-kemungkinan memahami Islam dengan 
cara yang lebih baik.

Kesan ketiga, keunikan Kung dalam menggambarkan faktor-faktor yang sangat 
menentukan corak dan warna Islam dalam berbagai fase sejarahnya. Dalam 
pengantar, dia memberi penjelasan tentang mengapa ia menulis buku ini dan 
membaginya ke dalam beberapa fase tertentu. Kung menelusuri faktor-faktor 
paling menentukan dalam sejarah perjalanan Islam. Penelusurannya itulah yang 
kemudian ia bingkai dengan menggunakan enam paradigma (PI-PVI) pokok pemahaman 
terhadap Islam.

PI adalah Islam sebagaimana yang di- tentukan coraknya oleh paradigma komunitas 
Islam perdana yang masih orisinal (original Islamic community). PII adalah 
Islam yang sangat ditentukan oleh paradigma Arab yang mendinastik. PIII 
ditentukan oleh kosmopolitanisme atau corak Islam klasik. PIV adalah paradigma 
ulama dan ordo sufi yang menjadi penentu hitam-putih Islam. PV adalah paradigma 
modernisasi. Dan semua paradigma itu sangat penting dipahami guna membantu 
pemahaman kita tentang ke mana arah paradigma Islam kontemporer (PVI).

Bagi Kung, setiap paradigma ditandai oleh ciri dan corak yang paling dominan di 
masanya. PI, misalnya, sangat ditandai oleh kesederhanaan dan kebersahajaan 
Islam, karena ia masih dalam proses pembentukan dan perjuangan. PII dan 
selanjutnya juga sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial tribalisme 
Arab, yang menjadi penggerak dinamika Islam di masa itu. Namun pembagian enam 
paradigma ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa tatkala paradigma baru 
datang, maka paradigma lama akan menghilang begitu saja. Tumpang-tindih 
antarparadigma tetap mungkin terjadi, bahkan dalam tingkat tertentu justru 
membantu menjelaskan kondisi riil Islam pada saat- saat tertentu.

Misalnya, di zaman modern ini, bukan tidak ada orang Islam yang masih tercecer 
dalam paradigma pertama dan berhasrat untuk menyontek pola pikir dan perilaku 
kaum salaf Islam. Mereka bahkan berupaya mendesakkan paradigma itu ke dalam 
dunia modern kita. Ketika modernisasi dan spesialisasi di berbagai bidang sudah 
berjalan begitu ekstensif (PV), bukan tidak ada segmen masyarakat Islam yang 
masih kuat berpegang pada otoritas ulama. Jika kita memperhatikan masih 
ditanyakannya hal-hal sepele kepada ulama dan begitu larisnya majelis-majelis 
zikir di Jakarta (PIV), kita segera tahu bahwa beberapa paradigma yang di muka 
ternyata masih ikut mewarnai paradigma yang belakangan.

Karena itu, masa depan Islam, bagi Kung, sangat bergantung pada pergulatan yang 
terjadi di antara berbagai paradigma di atas. Skenario buruk maupun baik dapat 
saja terjadi pada Islam di masa kini dan di saat mendatang. Pertanyaan kuncinya 
bagi Kung adalah adakah ruang yang memadai di negara-negara Islam kunci untuk 
mengkombinasikan antara substansi ajaran Islam dan tantangan abad ke-21? 
Siapakah ahli waris absah agama yang sudah berumur 14 abad ini yang akan mampu 
mengajukan pandangan-pandangan segar dan relevan dengan dunia kini? Paradigma 
manakah yang akan dominan?

Pertanyaan ini akan lebih membumi lagi bila dikaitkan dengan 
persoalan-persoalan kekinian kita. Misalnya apakah umat Islam masih akan 
mempertahankan hukum-hukum lama yang melecehkan akal sehat manusia dan 
merendahkan martabat kemanusiaan kita? Apakah umat Islam akan mendukung 
kebebasan tiap-tiap individu untuk beragama atau tidak beragama sesuai dengan 
kehendak nuraninya atau justru akan memaksakan kontrol sosial dan komunal atas 
keberagamaan orang lain? Jawaban atas tantangan-tantangan dan 
pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan menentukan di dalam paradigma manakah 
umat Islam akan terperosok.

Kirim email ke