Senin, 12 Feb 2007, Keluarga Para TKI yang Divonis Mati di Luar Negeri (1)
Ayah Lili Kecewa, Lurah, Camat, dan Bupati Tak Peduli Sedikitnya 19 TKI (tenaga kerja Indonesia) yang bekerja di Malaysia, Arab Saudi, Mesir, dan Singapura kini terancam. Sebab, mereka sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan setempat. Siapa saja mereka? Bagaimana keluarga mereka di tanah air? ALVIN NASUTION, Simalungun Sudah seminggu ini Wardi mengaku susah tidur. Pria 57 tahun itu selalu memikirkan anaknya, Lili Ardi Sinaga, yang terancam hukuman mati di Malaysia. "Setiap malam kami tak henti-hentinya berdoa untuk dia (Lili). Istri saya bahkan jarang makan sejak menerima kabar tentang vonis mati anak saya," cerita Wardi, didampingi Rusmi, sang istri. Wanita 53 tahun itu kedua matanya sembab. Pasutri itu ditemui di rumahnya di Dusun Tomurung II, Kecamatan Maligas, Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar, Sumatera Utara (Sumut), Sabtu lalu (10/2). Wardi menceritakan, dia kehilangan kontak dengan anaknya sejak Lebaran 2005. "Sejak itu kami tak lagi bisa berhubungan," katanya. Sebelumnya, hubungan itu hanya melalui surat-menyurat. Wardi mengaku sudah melakukan segala cara untuk membebaskan anaknya dari tahanan Diraja Malaysia. Tapi, sebagai orang kecil, upayanya tidak banyak membuahkan hasil. Sedangkan pemerintah, menurut dia, tampaknya tak sungguh-sungguh berusaha menyelesaikan perkara anaknya itu. "Saat ini kami hanya berharap pada Tuhan. Mudah-mudahan hukuman mati itu tidak jadi dilaksanakan," tutur pria yang sehari-hari bekerja sebagai penambang batu. Lili Ardi Sinaga adalah satu di antara 19 TKI yang sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan Malaysia, Mesir, dan Arab Saudi. Data itu dirilis Executive Director Migrant Care Anis Hidayah. Saat ini ke-19 TKI itu berupaya lolos dari eksekusi mati, baik hukuman gantung, pancung, maupun ditembak mati. Dari jumlah itu, 12 orang bekerja di Malaysia. Mereka adalah Suhaidi bin Asnawi (asal Lombok Barat, NTB); Lili Ardi Sinaga (Temurung, Pematang Siantar, Sumut); Hasanuddin Sinring (Makassar); Noni Fitria (Binjai, Sumut); Nazaruddin Bin Daud (tak diketahui asalnya); dan Tarmidzi Bin Yacob (tak diketahui asalnya). Nama-nama lain yang juga tak diketahui asalnya adalah Armiadi Bin Ismail, Bustaman Bin Buchori, Abdul Jalil Bin Abdul Hamid, Ruslan Dedeh, Nuraini Binti Sadi, dan Izudan Kazuadi. Sedangkan yang bermasalah di Arab Saudi adalah Siti Zainab (Jawa Timur), Hafidh Bin Kholil Sulam (Jawa Timur), Eti Thoyib Anwar (Jawa Barat), Nur Makin Sobri (tak diketahui asalnya), dan Suwarni (tak diketahui asalnya). Yang ditahan di Singapura dan Mesir masing-masing bernama Barokah (Jawa Tengah) dan Darman Agustiri (Padang, Sumatera Barat). Darman tercatat sebagai mahasiswa yang merangkap jadi pekerja di sebuah restoran di Kairo, Mesir. Khusus Lili Ardi Sinaga, 23, dia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Kuala Selangor, Malaysia, setelah didakwa membunuh seorang warga Malaysia, Kairun Bee Shariff, 55, di kawasan Sungai Buloh Country Resort, Jeram, pada 21 Februari 2005. "Saya tak sangka ini terjadi pada anak saya," kata Rusmi, sambil terisak. Baik Wardi maupun Rusmi sebenarnya sangat berharap bantuan dari Kedutaan Indonesia di Malaysia. Tapi, harapan itu tinggal harapan. "Yah, mungkin karena kami orang kecil," ujar Wardi. Mereka sempat ke Malaysia untuk menemui anaknya, Maret 2005. Mereka berhasil berangkat ke Malaysia berkat bantuan Ketua DPRD Simalungun Sahmidun Saragih. Dialah yang membiayai semua ongkos keberangkatan Wardi dan istrinya, mulai pengurusan paspor, uang transpor hingga biaya selama di Malaysia. Saat itulah Wardi berusaha meminta bantuan duta besar Indonesia di Malaysia. "Waktu itu saya sempat bertemu Pak Feri di Kantor Kedutaan Indonesia di Malaysia. Pak Feri sempat berjanji akan membantu. Tapi, janjinya hanya tinggal janji," tuturnya. Akhirnya, Wardi dan istrinya harus pulang ke tanah air tanpa bisa menemui anaknya. Di mata Rusmi, Lili adalah anak baik yang berbakti pada orang tua. "Nyapu rumah pun dia mau. Selama di Malaysia, dia selalu mengirim uang untuk biaya hidup kami di sini. Saya sedih kenapa dia bisa sampai kek gini," tutur Rusmi. Lili sempat menceritakan kasus yang menimpanya. "Waktu itu dia mengaku kalau cuma menampar. Entah kenapa, toke yang ditamparnya itu ada kelainan jantung dan empat hari kemudian meninggal. Itulah ceritanya pada kami," tutur Wardi. Saat ini Wardi dan keluarga hanya bisa pasrah dengan kasus yang membelit Lili. Hanya, dia sempat menumpahkan kekecewaan kepada para pejabat di daerahnya yang sama sekali tak peduli dengan nasib anaknya. Sejauh ini tak satu pun pejabat di Pemkab Simalungun yang mendatanginya untuk menanyakan dan memberi dukungan kepada keluarga Lili. "Lurah, camat, bupati, tidak ada sedetik pun datang ke rumah saya untuk menanyakan ataupun memberi dukungan kepada kami, menyangkut nyawa putra kami," ungkapnya kesal. Wardi mengatakan, hanya Sahmidun Saragih yang sangat peduli dengan nasib yang menimpa anaknya. "Saya pernah menjumpai camat untuk membicarakan masalah dana keberangkatan saya ke Malaysia. Namun, sang Camat mengatakan tidak ada uang," keluh Wardi. Wardi dan keluarga sangat berharap pemerintah dapat bertindak cepat dalam mengusahakan keringanan hukuman anaknya. "Saya memohon pemerintah RI bertindak cepat dalam mengusahakan keringanan hukuman anak saya," kata Wardi sembari mengucurkan air mata. (*)