Catatan Lava Tour
oleh Azis Azzura

Tonggeret adalah sebutan untuk segala jenis serangga dari ordo
Hemiptera, subordo Cicadomorpha. Serangga ini mempunyai mata yang kecil
dan terpisah jauh di kepalanya dan biasanya juga memiliki sayap yang
tembus pandang. Tonggeret hidup di udara sedang hingga tropis dan
sangat mudah dikenali di antara serangga lainnya, terutama karena
tubuhnya yang besar dan bakat akustiknya yang luar biasa (dan
seringkali sangat mudah dikenali). Tonggeret kadang-kadang disebut
"belalang", meskipun mereka tidak mempunyai pertalian keluarga
dengan belalang yang sebenarnya. Tonggeret mempunyai hubungan dekat
secara taksonomi dengan wereng dan spittlebugs.(wikipedia)

Mereka
biasanya
tinggal di pohon-pohon tinggi. Mereka serentak mengeluarkan
bunyi di siang hari seolah ingin menyampaikan pesan alam kepada setiap
telinga manusia yang mendengarnya. Konon, saat tongeret mulai berbunyi
di siang hari, itu artinya musim kemarau telah di depan mata. Percaya
atau tidak, itu hasil pemikiran berdasarkan pengalaman para leluhur
kita.

Tembang tongeret mengiringi perjalanan lava tour kami pada
Minggu (22/3) pagi itu. Kami terdiri dari 29 orang dari berbagai
kalangan dan profesi yang berbeda, namun sama-sama tertarik untuk
mengetahui sedikit mengenai sejarah kota kami tercinta, Bandung.
Nyatanya, seiring tembang yang dilantunkan sekelompok tongeret, pagi
itu begitu cerah. Matahari menyengat kami dengan leluasa, tanpa ada
intervensi dari awan sedikitpun. Nampaknya musim kemarau memang hampir
tiba. Puji Tuhan YME, alam dan seisinya memang berkomunikasi dengan caranya 
sendiri, memakai bahasanya sendiri yang tak dimengerti oleh manusia.

Tepat pada pukul 8.00 WIB, briefing kecil dimulai sekedar untuk
perkenalan dan pengarahan singkat mengenai perjalanan kami kali ini.
Tur kali ini, kami dibantu oleh tim pecinta alam dari UPI yaitu
Jantera. Kira-kira 30 menit kemudian, kami telah berjalan menyusuri
jalanan kampus UPI untuk menuju ke arah gedung Gymnasium. Dengan
sedikit memotong jalan di samping gedung tersebut, kami sampai di
Sungai Cibeureum. Di situlah Curug Sigay berada. Curug ini merupakan
bentukan dari lelehan lava yang mengalir akibat letusan Gunung Prasunda yang 
pak Bachtiar namakan Gunung Jayagiri.

”...gunung
itu meletus pada 500.000-560.000 tahun yang lampau. Saat itu, lava yang
panasnya mencapai seribu derajat Celsius mengalir ke lembah-lembah,
salah satunya jalur yang dilalui Sungai Cibeureum," ungkap Bachtiar.
(dikutip dari PR edisi Senin (23/3) )

Ironisnya, sepanjang jalur
sungai tersebut dipenuhi sampah. Belum lagi, warna air yang coklat
cenderung keruh membuat rasa kagum dan excited kami menjadi sedikit
terganggu. Selain itu, sempadan sungai yang standarnya berjarak enam
meter dari tempat jatuhnya air curug itu, tak diindahkan oleh penduduk
sekitar. Pemukiman warga menjadi penghalang kami dalam menikmati nuansa
alam curug itu... Lihat foto dan baca selengkapnya di sini atau klik 
www.mahanagari.com


-ulu-


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke