Rakyat Busung Lapar
Selasa, 25 Maret 2008 | 00:54 WIB

Widodo Dwi Putro

Ada kesan, kasus busung lapar dan kekurangan gizi hanya masalah rumah
tangga. Padahal, kelaparan yang berakhir dengan kematian adalah
pelanggaran hukum positif.

Pasal 304 KUHP menyebutkan, "Barangsiapa dengan sengaja menempatkan
atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah."

Hak bebas dari rasa lapar

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), hak terbebas dari kelaparan
merupakan hak asasi paling dasar. Bahkan, hak-hak asasi lain tidak
akan terpenuhi tanpa lebih dulu menjamin hak atas kecukupan pangan dan
gizi.

Hak atas pangan dideklarasikan sebagai HAM melalui berbagai perjanjian
internasional. Di antaranya, Deklarasi Universal untuk HAM tahun 1948
Pasal 25 Ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang berhak atas suatu standar
kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya, termasuk makanan (pangan), pakaian (sandang), dan rumah
(papan)...."

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi,
Sosial, dan Kebudayaan (ICESCR). Pasal 11 ICESCR menegaskan, negara
anggota mengakui hak tiap orang atas standar kehidupan yang layak
baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, dan perumahan.

Hak atas kecukupan pangan juga dicantumkan dalam berbagai dokumen
internasional, antara lain Deklarasi Universal tentang Eradikasi
Kelaparan dan Malnutrisi 1974, Deklarasi tentang Hak Orang Cacat 1975,
konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (CEDAW) 1979, Deklarasi tentang Hak Anak 1959, dan Konvensi
Hak Anak 1989.

Setiap bentuk hak asasi manusia selalu diiringi kewajiban atau
tanggung jawab negara. Pasal 71 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia tegas menyebut, "perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah."
Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang untuk
melakukan semua upaya hukum atas terjadinya pelanggaran HAM.

Menggugat kewajiban negara

Menyikapi kasus busung lapar yang terus terjadi, belum tampak adanya
langkah-langkah berarti dari pemerintah, mencegah terulangnya busung
lapar. Selama ini pemerintah masih reaktif, memberi bantuan pangan
kepada mereka yang tertimpa kelaparan ketika jatuh korban dan menjadi
perbincangan publik di media massa.

Padahal, kasus kelaparan di Indonesia tidak terjadi tiba-tiba, tetapi
efek bola salju dari kasus kelaparan sebelumnya. Dari kliping,
sebelumnya 317 anak balita mengalami gizi buruk di Bogor karena
orangtua mereka hanya mampu memberi bayi-bayi itu makan sehari sekali
(Kompas, 17/4/2002). Kasus serupa menimpa Kabupaten Kutai, masyarakat
di pedalaman didera kelaparan, makan sehari sekali (Kompas, 16/4/2002).

Lebih menyedihkan, laporan Dinas Kesehatan NTB, dari 51 bayi berusia
di bawah lima tahun (balita) yang mengalami busung lapar selama
Januari-Mei 2005, tujuh di antaranya meninggal.

Ada kesan, kasus busung lapar dan kekurangan gizi seolah-olah bukan
disebabkan oleh kelalaian negara melaksanakan kewajibannya, tetapi
sebagai masalah rumah tangga belaka. Pembiaran negara merupakan
pelanggaran terhadap peraturan tertinggi dalam tata hierarki peraturan
perundang-undangan yang memuat tanggung jawab negara terhadap fakir
miskin dan anak-anak telantar, yakni Pasal 34 UUD 1945. Negara jelas
melanggar UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Kasus busung lapar yang berujung pada kematian cukup memenuhi unsur
pidana. Dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum tidak perlu
menunggu pengaduan korban, tetapi dapat proaktif memeriksa para
pejabat negara yang terkait.

Para pejabat (mulai pejabat dinas terkait, bupati/wali kota, gubernur,
menteri yang membidangi, hingga presiden), pihak yang seharusnya
bertanggung jawab mencegah dan mengatasi terjadinya busung lapar dapat
diminta pertanggungjawaban secara pidana. Para pejabat dapat diancam
pidana (Pasal 304 jo 359) karena melakukan pembiaran (omissie delict)
hingga menyebabkan orang lain sengsara dan meninggal.

Jika aparat penegak hukum pasif, warga masyarakat dapat menggugat
negara, misalnya melalui Citizen Law Suit, atas dasar negara telah
melakukan kelalaian atau penelantaran (state negligence). Gugatan
warga masyarakat ini untuk mengingatkan adanya hak yang harus dipenuhi
negara kepada rakyatnya. Rakyat mempunyai hak menggugat atau menuntut
negara, apalagi selama ini pemerintah selalu mendikte rakyat agar
patuh dengan kewajibannya, seperti membayar pajak dan instruksi lain
yang tidak bisa ditolak. Langkah hukum ini penting ditempuh sebagai
"pendidikan hukum dan politik" bagi para pejabat agar paham akan
kewajiban-kewajibannya.

Widodo Dwi Putro Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram; Dosen Tamu
Fakultas Hukum Universitas Al Azhar dan Universitas Pancasila Jakarta

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.25.00540937&channel=2&mn=158&idx=158

Kirim email ke