Perlu Terobosan
Senin, 14 April 2008 | 00:31 WIB

IVAN A HADAR

Kini, Indonesia kian terpuruk akibat dilanda berbagai krisis.

Pertama, krisis ekonomi yang berujung pada krisis kemanusiaan ketika
nyaris separuh warga negeri ini masih tergolong miskin atau hampir
miskin. Sementara elite seakan tak berdaya atau membiarkan banyak
kekayaan terkonsentrasi segelintir orang. Harta 100 orang terkaya di
Indonesia, misalnya, berjumlah lebih dari 60 miliar dollar AS.
Sementara jutaan orang menjadi kian miskin. Meminjam kata Gandhi,
"Tuhan hanya dikenal dalam bentuk sepotong roti".

Krisis moral terlihat saat sekitar 10 anak negeri ini meninggal dunia
hari demi hari akibat kekurangan gizi atau penyakitan. Juga, krisis
demokrasi saat lebih dari 36 juta penduduk amat miskin harus bergulat
mencari nafkah guna menyambung hidup, terpinggirkan dari tiap proses
pengambilan keputusan publik.

Tidak menjamin

Kenyataan menunjukkan, struktur demokrasi saja belum cukup untuk
menjamin munculnya elite yang sadar dan bertanggung jawab. India,
negara demokrasi terbesar di dunia, bisa menjadi contoh. Di negeri
berpenduduk lebih dari satu miliar jiwa ini, demokrasi tidak mampu
menghindari korupsi, munculnya partai politik fundamentalis atau
menyudahi kebencian antarkelompok serta menahan pemerintah mengucurkan
miliaran dollar AS untuk program senjata nuklir saat jutaan rakyatnya
hidup dalam kemiskinan.

Kondisi itu bisa memunculkan persepsi, demokrasi adalah hambatan bagi
terciptanya good governance dan kesejahteraan. Boleh jadi, kita
terlalu mudah puas saat asas demokrasi telah ditanamkan dalam
konstitusi. Tanpa menyadari bahwa demokrasi hanya akan berfungsi bila
kian banyak masyarakat yang memiliki akses pada pendidikan dan sumber
daya material. Karena, pada dasarnya, demokrasi tidak lain adalah
sebuah filsafat (radikal) tentang keterlibatan masyarakat. Ia bertumpu
pada keyakinan bahwa wacana publik yang melibatkan semua warga akan
menghasilkan manusia-manusia yang merajut sebuah sistem yang cocok
bagi kehidupan bersama.

Untuk menciptakan sebuah demokrasi yang membawa kesejahteraan bagi
sebanyak mungkin warga, diperlukan terobosan berupa program yang jelas
dalam upaya memerangi kemiskinan.

Oscar Arias Sanchez, mantan Presiden Kosta Rika yang juga pemenang
Nobel Perdamaian 1987, mengusulkan perlunya konsentrasi pada upaya
pengurangan beban utang, peningkatan dana bantuan pembangunan, dan
pemotongan budget militer.

Dampak sosial

Di banyak negara berkembang, beban utang luar negeri menjadi hambatan
bagi penegakan demokrasi. Sejak krisis 1997, kita terancam masuk
perangkap utang permanen (permanent debt trap). Hal ini diungkapkan
Morgan Stanley Dean Witter (MSDW), sebuah bank investasi yang
bermarkas di London. Sebelum krisis, Maret 1996, utang kita 30 persen
dari GDP. Awal 1999, jumlahnya naik menjadi 128 persen dari GDP. Kini,
meski menurun, jumlahnya masih di atas ambang batas kewajaran. Saat
ini kewajiban membayar utang kita masih menyerap lebih dari 40 persen
pendapatan negara.

Krisis ekonomi yang masih berlangsung juga menimbulkan dampak sosial
amat serius. Tahun 1993, Indonesia memiliki sekitar 22,5 juta orang
miskin dan hampir miskin. Pada 1998, jumlah itu meningkat menjadi 40
juta dan melonjak menjadi 110 juta jiwa.

Sementara itu, indikator kesehatan dan kesejahteraan secara umum juga
menurun. Unicef, misalnya, berkesimpulan, tanpa pengurangan beban
utang luar negerinya yang amat berat, Indonesia akan "kehilangan satu
generasi" (lost generation) karena lemah dan bodoh akibat gizi buruk
dan kurang pendidikan.

Maka, bila tidak ada langkah nyata pengurangan utang dari kreditor,
pemerintah Indonesia bisa mengusulkan Arbitrage Insolvency dengan
mengajukan fakta dan argumen di depan hakim independen internasional
(Kunibert Raffer, 2006). Dalam pengadilan internasional, suatu negara
bisa diputuskan memperoleh keringanan atau pembatalan utang luar
negerinya karena pembayaran utang bertentangan dengan HAM, yaitu saat
masih banyak anak negeri itu tidak sekolah atau kekurangan gizi.

Pada saat sama, negara-negara industri dituntut memperkuat demokrasi
dan menunjang good governance di negara-negara berkembang lewat
peningkatan dana bantuan pembangunannya. Sayang, ketika kemelaratan
merambah dunia, bantuan negara kaya mencapai titik terendah. Dari GDP
22.000 miliar dollar AS per tahun, hanya 0,25 persen atau 55 miliar
dollar AS yang disalurkan sebagai bantuan. Janji negara-negara
industri untuk meningkatkan bantuan pembangunan menjadi 0,7 persen GDP
dalam kerangka MDGs, hingga kini hanya dipenuhi oleh satu-dua negara.

Soal anggaran militer

Selain pemotongan utang, perlu pengurangan anggaran belanja militer.
Tiap rupiah untuk membeli senjata (canggih) yang sebenarnya tidak
dibutuhkan untuk mengatur keamanan berperan memperburuk kehidupan
rakyat yang selama ini tidak punya akses pemenuhan kebutuhan akan
makanan, rumah, pendidikan, dan kesehatan. Kian banyak yang sepakat,
dana militer adalah penyimpangan prioritas kemanusiaan terbesar.
Betapa tidak. Tiap tahun sekitar 800 miliar dollar AS dihabiskan untuk
biaya tentara dan perlengkapannya.

Padahal, dengan 40 miliar dollar AS, semua penduduk bumi dijamin
memiliki akses pada layanan sosial dasar, seperti pendidikan,
kesehatan, makanan, sanitasi, dan air minum selama 10 tahun. Sementara
dengan jumlah sama, semua penduduk dunia bisa terangkat di atas garis
kemiskinan. Hal yang seharusnya menggetarkan hati siapa pun.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs; Pendapat Pribadi

Kirim email ke