Baraya, Aya artikel hade di Kompas. Cenah ieu artikel teh, numutkeun PR poe ieu, kengging anugrah dina "Malam Anugerah Kebudayaan 2005". Mangga urang simak, bari mumuluk nyuruput sacangkir kopi. Sumber: Kompas, Sabtu, 09 April 2005 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/09/opini/1672232.htm =============== Kebanggaan Bernama Indonesia Oleh Jakob Sumardjo DALAM sebuah seminar tentang nasionalisme Indonesia di sebuah perguruan tinggi teknik di Bandung, bermunculan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah nasionalisme itu masih diperlukan, apakah tujuan nasionalisme, untuk apa nasionalisme, bukankah nasionalisme Indonesia itu telah gagal? Serentetan pertanyaan anak-anak muda terdidik yang serius, yang mencerminkan betapa muaknya mereka terhadap segala hal yang dikaitkan dengan nama "Indonesia". Indonesia itu suatu kegagalan. Indonesia itu sesuatu yang tidak patut untuk dipertahankan keberadaannya. Indonesia itu sesuatu yang tak bermakna. Mereka sama sekali tidak punya kebanggaan sedikit pun terhadap Indonesia. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak peduli pada Indonesia. Meskipun mereka tidak mampu membayar sepeser pun kepada kami para pembicara, tetapi mereka mendatangkan kami, orang-orang tua, untuk diminta penjelasan. Mereka bingung menjadi bagian yang bernama Indonesia. Mereka tidak mengerti alasan mengapa tradisi lokal di Indonesia harus dipelihara seperti yang selalu digembar- gemborkan oleh pemerintah. Mereka merasa tidak perlu dimasukkan kotak dengan nama Indonesia karena sekarang ini manusia sudah lintas batas, tak ada bedanya lagi antara kita dengan Eropa, Amerika, dan Afrika. Apa pun alasannya, yang jelas anak- anak muda ini kecewa, tidak percaya, muak, antipati dengan lembaga yang disebut kebangsaan. Padahal selama 30 tahun pemerintah Orde Baru mengindoktrinasi mereka dengan pelajaran Pancasila, kewarganegaraan, P4, dan upacara bendera setiap minggu. Anak-anak muda ini lahir, dibesarkan, dan hidup dalam masa Orde Baru. Dan hasilnya bukan semakin memahami apa artinya menjadi orang Indonesia, justru menolak keindonesiaan mereka. Bukan hanya mahasiswa-mahasiswa teknik ini yang kecewa kepada Indonesia, juga anak-anak muda pedesaan tidak percaya kepada Indonesia. Ratusan ribu anak-anak muda desa ini nekat keluar Indonesia dan menjadi tenaga kasar di negara-negara asing dan tetangga. Meskipun mereka dianiaya di sana, tidak menyurutkan minat mereka untuk secara ilegal menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang. MODERATOR seminar itu meluncurkan kata-kata legendaris Presiden John F Kennedy, jangan bertanya apa yang dapat diberikan negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negara ini, langsung disambar oleh peserta, justru kami yang bertanya, apa yang telah diberikan negara kepada kami? Indonesia itu telah memberi apa kepada kami, anak-anak muda ini, sehingga kami harus menjadi penjual tenaga di negeri asing? Negeri-negeri ini mampu menghidupi kami. Lebih baik menjadi tenaga kasar di negeri orang daripada menjadi seorang guru besar di Indonesia. Seorang guru besar di Indonesia digaji Rp 2,5 juta per bulan, sedangkan kami, para pembantu rumah tangga, digaji Rp 4 juta-Rp 5 juta per bulan di negara lain. Lebih baik hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri sendiri. Jadi, apa gunanya menjadi orang Indonesia? Kita tidak dapat menyalahkan logika anak-anak muda ini karena mereka membaca realitas Indonesia. Betapa seringnya nama rakyat dan predikat kemiskinan mereka permainkan. Rakyat diminta kesabarannya untuk mengencangkan ikat pinggang, namun mereka yang meneriakkan kata-kata ini sudah terlalu gendut perutnya sehingga mereka tak punya pinggang lagi untuk dikencangkan. Mereka mengatasnamakan wakil-wakil rakyat, tetapi sebagai wakil rakyat kedudukan mereka lebih tinggi daripada yang diwakilinya. Rakyat sekali lagi diminta kesabarannya untuk berkorban, tetapi apa yang telah mereka korbankan untuk rakyat? Dulu di zaman revolusi, rakyat mau berkorban dengan sukarela kepada orang-orang pemerintah karena hidup pembesar-pembesar ini tak jauh berbeda dengan rakyat. Baju mereka, rumah mereka, kendaraan mereka, kadang lebih rendah kualitasnya daripada yang dimiliki rakyat. Tetapi, tanggung jawab mereka lebih besar daripada rakyat. Keterancaman jiwa mereka lebih gawat daripada rakyat. Realitas ini membuat nasionalisme sebuah magnet. Bahkan ada orang-orang yang atas nama Indonesia mau menanggung risiko hidup semacam itu. Mereka ini orang- orang keramat. Orang-orang yang bersedia mengesampingkan kepentingan sendiri untuk sesuatu yang bernama Indonesia. Kini, 50-60 tahun kemudian, rakyat dan anak-anak muda ini melihat bahwa gaji mereka (orang pemerintah/parlemen/ lembaga peradilan), baju mereka, rumah mereka, kendaraan mereka, seperti orang yang hidup di sebuah negara yang telah adil dan makmur. Sementara rakyat tetap hidup seperti di zaman revolusi. Mencari makan susah, uang sulit didapat, anak sakit tidak ada obat, rumah berimpitan, naik kendaraan seperti ikan pindang dalam keranjang. Orang-orang ini seperti hidup di sebuah negeri yang benar-benar terbelakang. Indonesia rakyat berbeda jauh dengan Indonesia mereka. Ada dua Indonesia di negeri Khatulistiwa ini dan dua-duanya tidak saling mengenal. Jangan menyalahkan anak-anak muda dan rakyat kebanyakan atas sikap keindonesiaan mereka. Indonesia telah terlalu lama mengecewakan. Indonesia telah terlalu lama tidak berubah. Tetap saja ada Indonesia-atas dan Indonesia-bawah. Indonesia-atas adalah mereka yang berhasil menduduki kursi-kursi kekuasaan atas nama rakyat. Indonesia-bawah adalah mereka yang diperintah, yakni yang katanya pemilik kekuasaan yang sejati (rakyat). Tidak ada lagi kebanggaan bernama Indonesia. Kalau memang masih ada, untuk apa mereka mau bekerja sebagai "hamba-pembantu" di negeri orang, sedangkan di rumah sendiri mereka seba- gai orang merdeka? Indonesia bagi mereka ini bermakna tidak ada harapan dan tidak ada masa depan. Indonesia sela- ma ini tidak mempunyai perspektif. Penyakit Indonesia ini tak dapat disembuhkan. PENYAKIT Indonesia itu namanya memang "nasionalisme" seperti dituduhkan anak-anak muda mahasiswa teknik itu. Kalau negarawan John F Kennedy mengatakan kepada rakyatnya: jangan bertanya apa yang dapat dilakukan nega- ra terhadapmu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu lakukan bagi negaramu, maka "negarawan" negeri ini (sengaja diberi tanda kutip karena saat ini rasanya di Indonesia tidak ada lagi negara- wan sejati, yang banyak cuma politisi) akan bertanya: apa yang dapat negara berikan kepada kamu, dan jangan bertanya apa yang dapat kamu berikan kepada negara. Erosi nasionalisme justru dimulai dari yang tua-tua. Mereka mengajarkan kepada yang muda-muda sikap konsumtif, bukan sikap produktif. Hidup itu memperoleh, mengambil, menerima, menuntut; bukannya menghasilkan, produktif, memberi, memenuhi kewajiban. Kalau bisa, nak, bekerjalah sedikit, yang ringan- ringan saja, santailah, tetapi hasilnya seabrek-abrek. Bekerja keras dan tidak mementingkan diri itu filsafat bodoh. Filsafat hidup yang sebenarnya itu hanya dimiliki para maling (kalau lelaki) dan pelacur (kalau perempuan). Tetapi di Indonesia ini sukar membedakan mana yang lelaki dan mana yang perempuan. Dalam sejarah Indonesia, orang-orang yang menjalankan filosofi ini hanya para raja dan bangsawan. Jadi, anak-anakku, hidupmu akan mulia kalau dapat menjadi seperti mereka. Saya tidak mengatakan, nak, bahwa para raja dan bangsawan itu maling dan pelacur sebab mereka menjadi seperti itu karena kuasa-kuasa Dunia Atas, sedangkan di zaman modern ini "raja" dan "bangsawan" itu memperoleh mandat dari Dunia Bawah. Bekerja keras untuk orang lain itu salah besar, anakku. Itulah sosialis. Bekerja keras untuk diri sendiri itulah moralitas sejati. Itulah kapitalis. Masing-masing orang itu harus bekerja keras untuk dirinya sendiri, kalau perlu mendepak orang lain. Prinsip hidup itu memang kejam, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Makanya saya sarankan, mumpung kamu menjadi "raja" dan "bangsawan", bekerjalah keras untuk dirimu sendiri. Sumpah jabatan? Ah, kata-kata itu sudah lama kehilangan makna. Ingatlah filsafat pelacuran itu. Pakailah gincu setebal-tebalnya. Itulah makna nasionalisme selama ini, yang disaksikan dan dialami anak-anak muda ini. Itulah sebabnya mereka bertanya dengan keras kepada para pembicara, orang-orang tua ini, apakah nasionalisme masih perlu dipertahankan? Apakah nasionalisme Indonesia itu memang sudah gagal? Untuk apa Indonesia? Saya marah besar di mimbar itu. Tetapi sesampainya di rumah, saya renungkan ulah mereka. Bukankah mereka ini anak- anak seperti dalam cerita Hans Christian Andersen, "Pakaian Baru Sang Kaisar"? Dua orang penipu menjual pakaian "tak terlihat" kepada Kaisar. Begitu halusnya pakaian tersebut sehingga harganya amat mahal. Ketika rakyat menyaksikan Kaisar mengenakan pakaian yang tembus pandang itu, mereka tetap memuji-muji dia sebagai pakaian super mahal. Namun, anak-anak kecil tak tahan menyatakan, bahwa Sang Kaisar sebenarnya telanjang bulat di depan rakyatnya. Jakob Sumardjo Budayawan
===== Situs: http://www.urang-sunda.or.id/ [Pupuh17, Wawacan, Roesdi Misnem, Al-Quran, Koropak] --------------------------------- Yahoo! for Good - Make a difference this year. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Clean water saves lives. Help make water safe for our children. http://us.click.yahoo.com/YNG3nB/VREMAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/ [Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/