Oto Iskandar Dinata
"SI JALAK HARUPAT" yang Tak Pernah Kembali

"Kalaoe Indonesia Merdeka boleh diteboes dengan djiwa seorang anak
Indonesia, saja telah memadjoekan diri sebagai kandidat jang pertama
oentoek pengorbanan ini." Demikian ucapan R. Oto Iskandar di Nata
seperti ditulis Surat Kabar Tjahaja edisi 21 Agustus 1945. Mungkinkah
itu pertanda takdir yang akan menimpanya? Buku Si Jalak Harupat,
Biografi R. Oto Iskandar di Nata karya Nina H. Lubis, M.S., terbitan
PT Gramedia Pustaka Utama yang dicukil ini bisa mengungkapnya.

Pada 31 Maret 1897 terdengar tangis bayi dari sebuah rumah paling
besar di Desa Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Itulah tangis pertama R.
Oto Iskandar di Nata, putra pasangan Raden Haji Rachmat Adam, kepala
desa Bojongsoang, dengan Nyi Raden Siti Hatijah.

Oto - anak ketiga dari delapan bersaudara - besar dalam keluarga
bangsawan, sehingga hidupnya relatif lebih baik dibandingkan dengan
anak-anak orang kebanyakan. Setelah cukup umur, ia masuk HIS.

Di masa kanak-kanak Oto gemar berolahraga, terutama sepak-bola.
Sepakbola tetap disenangi sampai ia dewasa. Selain menjadi pemain, ia
juga sering menjadi wasit dan pernah menjadi ketua PERSIB, bersama
Rahim - mertua Bung Hatta. Ia juga menaruh perhatian cukup besar pada
kesenian. Gemar main tonil, juga pandai menabuh gamelan dan menari
Sunda.

Cita-cita gurunya

Setamat HIS, Oto melanjutkan pelajaran ke Kweek-school Onder-bouw
(Sekolah Guru Bagian Pertama), sekolah berasrama, di Bandung. Dalam
asrama Oto dianggap sebagai anak yang aktif dan terkadang berani
melanggar aturan.

Akibatnya, Oto sering dihukum pimpinan asrama - misalnya sering
dilarang keluar kamar. Sikap pemberaninya diimbangi dengan
kepandaiannya. Setiap tahun ia naik kelas dengan angka-angka yang
menonjol.

Selanjutnya, Oto melanjutkan studi ke Hogere Kweekschool (Sekolah Guru
Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Di sini pemuda Oto mulai gemar
membaca, terutama buku-buku dan surat kabar berbau politik. Koran yang
sering dibacanya antara lain De Express, asuhan Douwes Dekker. Karena
isinya sering mengecam pemerintah Belanda, murid Sekolah Guru dilarang
membaca koran itu.

Oto pun dengan sembunyi-sembunyi membaca dan menyembunyikannya di
bawah bantal atau kasur. Dari bacaan itu, jiwa Oto menjadi lebih
matang. Ia mulai tertarik pada masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan
perjuangan.

Selain pandai bergaul, Oto juga suka berterus terang. Sikap ini kadang
membuat orang marah. Seperti yang dilakukan suatu kali dengan
mengenakan dasi kuning ke sekolah.

Ada guru Belanda yang tidak senang melihatnya. "Hai, Oto, mengapa kamu
memakai dasi? Bukankah saya sendiri tidak memakai dasi?"
Oto dengan tenang menjawab, "Tuan Guru tidak perlu memakai dasi, sebab
Tuan sudah tua."
Tentu saja sang guru marah, "Kurang ajar kamu! Ayo keluar!"
Guru itu heran ada anak pribumi berani bicara seperti itu kepada Tuan Belanda.
Saat si anak keluar dari ruang kelas, ia mendengar sang Guru bergumam,
"Andaikata ia anak Belanda, ia pasti disebut anak yang suka berterus
terang."

Sejak itu Oto merenung dan berpikir, kalau ia anak sinyo, ia akan
disebut anak yang suka terus terang. Namun, karena ia anak pribumi, ia
pun disebut anak kurang ajar. Si anak merasa disadarkan bahwa ia
adalah anak bangsa yang dijajah. Ia merasa ingin berontak.

Selulus Sekolah Guru, Oto memulai pengabdian menjadi guru di HIS
Banjarnegara. Profesi guru memang cita-citanya sejak melanjutkan
pendidikan ke Kweek-school. Ia menjalankan tugas dengan penuh
dedikasi. Ia sadar, dengan pendidikan bangsanya dapat menjadi bangsa
berilmu dan mengerti tugas serta tanggung jawab terhadap Tanah Air.

Koran dibolongi

Suatu pagi di sebuah kelas HIS Kelas Tujuh di Banjarnegara, terdengar
suara guru yang berwibawa. Ia menyuruh seorang murid perempuan untuk
pindah duduk ke belakang. Murid ayu bernama Rr. Soekirah itu tanpa
membantah mengikuti perintah itu. Namun, hatinya bertanya-tanya, sudah
kesekian kali gurunya memberi perintah yang sama. Apa salahnya?

Ternyata guru berbadan tinggi besar berkulit agak gelap, tapi penuh
wibawa itu menaksir si murid. Lucunya, sang guru - yang tak lain
adalah Oto Iskandar di Nata - sering mencuri pandang memperhatikan
wajah muridnya dari balik surat kabar yang sengaja dibolongi.

Pada April 1923 di Bandung berlangsunglah pesta pernikahan Oto yang
sepuluh tahun lebih tua dengan Soekirah, putri Asisten Wedana di
Banjarnegara. Di Bandung Oto mulai aktif dalam pergerakan politik. Ia
menjadi wakil ketua Boedi Oetomo Cabang Bandung.
Pada Agustus 1924 keluarga muda Oto pindah ke Pekalongan, Jawa Tengah.
Tak hanya melaksanakan tugas selaku guru pada HIS Negeri Pekalongan,
Oto masih aktif di Boedi Oetomo.

Ketika menjadi anggota Dewan Kota Pekalongan, Oto membongkar kasus
Bendungan Kemuning. Rakyat pun terselamatkan dari penipuan yang
dilakukan pengusaha Belanda. Keberaniannya itu membuat residen
Pekalongan marah. Akibatnya, Oto masuk dalam daftar hitam orang-orang
yang diancam hukum buang. Nyali Oto tak ciut. Konflik dengan sang
residen berakhir dengan dipindahkannya sang residen.
Nama Oto makin populer. Sepak terjangnya membuat pemerintah Hindia
Belanda khawatir. Maka ia dipindah ke Batavia pada 1928.

Pekik "Merdeka!"

Di Batavia Oto mengajar di HIS Muhammadiyah. Aktivitas di bidang
politik juga meningkat. Profesi wartawan pun dilakoninya. Profesi guru
akhirnya ia tinggalkan pada akhir 1933. Namun, perhatiannya pada
bidang pendidikan tidaklah surut.

Berikutnya, ia berkiprah di Pagoejoeban Pasoendan Cabang Batavia sejak
Juli 1928 dan langsung menduduki posisi Sekretaris Pengurus Besar.
Pada kongres di Bandung, Desember 1928, ia terpilih sebagai Ketua
Pengurus Besar organisasi itu.

Pada masa kepemimpinannya, Pagoejoeban Pasoendan mengalami kemajuan
pesat di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kewanitaan. Meskipun
organisasi ini berbasis masyarakat Sunda, jangkauan perjuangannya
bersifat nasional. Tidak salah kalau Pagoejoeban Pasoendan
dikategorikan pergerakan etnonasionalis.

Di bawah kendali Oto pula karya Pagoejoeban Pasoendan di bidang
pendidikan begitu nyata. Sekolah-sekolah mulai didirikan oleh
organisasi ini. Pada 1941, 51 unit sekolah yang tersebar di 36 daerah
di Jawa Barat berhasil didirikan. Uniknya, arsitektur gedung-gedung
sekolahnya diusahakan mengikuti gaya kebudayaan Sunda, seperti bentuk
atap julang ngapak.

Hasil perjuangan Oto dengan Pagoejoeban Pasoendan di bidang pendidikan
masih eksis hingga hari ini. Selain puluhan sekolah dasar dan
menengah, ada Universitas Pasoendan, universitas terkemuka di Bandung.

Di bidang sosial juga ada Sociaalfonds Pasoendan. Tugasnya, membantu
penduduk yang terkena musibah kebakaran, banjir, atau kelaparan.
Pendirian lembaga sosial ini tak lepas dari pribadi Oto yang sering
memberi bantuan cuma-cuma pada siapa saja yang membutuhkan. Bahkan,
ada beberapa orang yang setiap bulan datang mengambil jatah sembako
gratis. Sikap murah hatinya terkadang membuat Soekirah harus pandai
mengelola keuangan rumah tangga.

Toh di tengah kesibukannya memimpin Pagoejoeban Pasundan dan anggota
Volksraad (Dewan Rakyat), ia tetap memperhatikan putra-putrinya. Saat
ada anaknya berulang tahun, misalnya, Oto akan menjemputnya di
sekolah, lalu mengajaknya ke toko untuk membeli kado.

Selama 20 tahun berumah tangga, Oto dikaruniai 12 anak. Banyaknya
anak, membuat keluarga Oto menempati rumah yang lebih besar dengan
banyak kamar. Namun, rumah itu hanya memiliki satu kamar mandi.
Kondisi ini rupanya digunakan Oto untuk membangkitkan jiwa kebangsaan
anak-anaknya. Biasanya, pagi-pagi sebelum mandi, anak-anak duduk di
bangku besar dekat kamar mandi. Mereka menunggu ayahnya hingga selesai
mandi.
Ketika keluar kamar mandi, Oto akan berteriak, "Indonesia Merdeka!"
Anak-anak diajari menjawab dengan teriakan yang sama. Bila mereka diam
saja, Oto akan berteriak lagi. Semua terjadi pada zaman Jepang,
menjelang Proklamasi Kemerdekaan.

Diakui, Oto-lah orang pertama yang mempopulerkan pekik "Indonesia
Merdeka" yang kemudian disingkat menjadi "Merdeka!" saja.

Kepada anak-anaknya Oto juga menanamkan rasa pengabdian kepada
keluarga maupun Tanah Air. Oto selalu berpesan kepada anak-anak
lelakinya untuk mencintai tiga ibu. Yaitu ibu kandung, ibu
anak-anaknya (istri), dan ibu pertiwi. Ibu yang pertama suatu saat
harus rela ditinggalkan demi kepentingan ibu kedua. Ibu kedua pun
bilamana perlu ditinggalkan demi kepentingan ibu ketiga.

Pesan patriotis itu sungguh ia laksanakan. Pada zaman Jepang, ketika
anak sulungnya, Sentot, ingin melanjutkan pendidikan ke Technische
Hoge School (THS, kini ITB), Oto memintanya menunda keinginan itu. Ia
meminta Sentot menjadi anggota PETA. Sentot pun tak menolaknya.

Di Volksraad ia duduk sebagai wakil Pagoejoeban Pasundan selama tiga
periode, yakni 1931 - 1934, 1935 - 1938, dan 1939 - 1942. Ia tergabung
dalam Fraksi Nasional yang didirikan M.H. Thamrin, Ketua Perkumpulan
Kaum Betawi.

Dalam sidang ia tidak segan-segan mengritik sangat keras Pemerintah
Hindia Belanda. Tentu saja kritik itu membuat merah telinga Ketua
Sidang. Ia pun ber usaha menangkis kritik Oto. Terjadilah perdebatan
seru. Oto pun dengan tangkas pula menjawab semua tangkisan itu.

Keberanian Oto berbicara keras dalam sidang membuat ia dijuluki Si
Jalak Harupat. Julukan ini bermakna seperti ayam jago yang keras dan
tajam kalau menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu menang
kalau diadu.

Menjadi mediator

Di masa-masa berikutnya, banyak peran penting dilakoni Oto. Di
antaranya, ikut serta dalam pembentukan PETA, Panitia Kecil BPUPKI,
dan anggota PPKI. Ketika Indonesia baru saja meraih kemerdekaan, dalam
sidang pertama PPKI - Sabtu 19 Agustus 1945 - di Gedung Chuo-Sangi-in,
tanpa dinyana-nyana Oto secara spontan mencalonkan Bung Karno sebagai
presiden, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Usulan itu mendapat
sambutan baik.

Berikutnya, Oto tergabung dalam Panitia Kecil yang bertugas membuat
rancangan tentang urusan rakyat, pemerintahan daerah, kepolisian, dan
tentara kebangsaan. Amanat berat berikutnya harus ia pikul, yakni
sebagai Menteri Negara yang mengurus masalah keamanan - masalah
krusial di awal kemerdekaan.
Dalam rapat PPKI tanggal 20 Agustus 1945 diputuskan tiga hal penting,
di antaranya dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR). Sebagian besar
pemuda, mantan anggota PETA, KNIL, dan Heiho membentuk BKR di daerah
masing-masing.

Namun, sebagian pemuda, yang pada zaman Jepang telah membentuk
kelompok-kelompok politik dan berperan besar dalam mencetuskan
proklamasi kemerdekaan, tidak puas dengan BKR. Yang tidak bergabung
dalam BKR akhirnya membentuk badan-badan perjuangan, yang dikenal
sebagai laskar rakyat.

Para pemuda, baik yang tergabung dalam BKR maupun laskar rakyat, yang
ingin menegakkan kedaulatan berusaha merebut senjata dari Jepang dan
merebut gedung-gedung penting. Usaha itu ada yang gagal, ada pula yang
berhasil.

Komandan pasukan Jepang di Bandung mendatangi Oto dan membicarakan hal
itu. Tindakan para pemuda menyulitkan pihak Jepang, karena Jepang
tidak diizinkan untuk menyerahkan senjata ke pihak Indonesia. Mereka
harus menjaga status quo di Indonesia, hingga Sekutu datang. Namun,
usulan solusi komandan pasukan Jepang itu sulit dilaksanakan.

Malah kemudian, para pemuda meminta Oto untuk menghubungi pihak
Jepang, agar mau menyerahkan senjata kepada para pemuda. Bersama Ir.
Oekar dan Poeradireja, Oto mendatangi Mayjen Mabuchi, mengutarakan
keinginan para pemuda.

Diplomasi ini menghasilkan persetujuan, bahwa penyerahan senjata akan
dilakukan berangsur-angsur kepada yang berwenang di pihak Republik.
Itu menunjukkan, para pejabat lebih mengutamakan diplomasi daripada
perjuangan bersenjata, sesuai dengan kebijakan di pusat dan mematuhi
yang sudah diputuskan secara internasional. Itu sebabnya beberapa
pemimpin sering dicap sebagai "kolaborator" Jepang.

Tidak ada bukti jelas bahwa pihak Jepang melaksanakan persetujuan itu.
Para pemuda yang tidak menyukai diplomasi yang berjalan lambat menjadi
tidak sabar lagi. Perampasan senjata pun terus dilakukan.

Maka, terjadilah peristiwa tragis 10 Oktober 1945. Jepang, yang
berusaha menghentikan serangan massa, tidak hanya mengatasi secara
musyawarah tetapi juga dengan menyerbu markas-markas BKR. Bencana itu
membuat para pemuda marah.

Oto "hilang"

Seorang pejuang dan politisi sering tak lepas dari ancaman yang
membahayakan keselamatan jiwa. Itu pula yang dialami Oto. Soekirah
mencatat dalam sebuah buku kecil, pada 26 Oktober, Bapa (maksudnya
Oto) berangkat ke Jakarta. Oto berangkat karena ada telepon ke rumah
yang mengharuskannya ke Jakarta. Keluarga Oto memang tinggal di
Bandung.

Bila sedang di Jakarta, Oto terbiasa setiap pagi menelepon istrinya di
Bandung. Namun, kali itu Oto tidak menelepon selama dua hari. Soekirah
yang gelisah lalu menelepon ke Jakarta untuk mencari informasi.

Ny. Oto menuliskan, "31/10 ontvoerd rebo djam 11 siang" (diculik, Rabu
pukul 11 siang). Ia tahu hal itu dari Kiwan, pembantu keluarga yang
menemani Oto tinggal di Jakarta.

Selanjutnya, Soekirah menulis, "5/11 nlepon ka Djk. Nembe terang Bapa
teu aja. nlangsa. Sedih."(artinya, menelepon ke Jakarta, baru tahu
bahwa Bapa tidak ada. Nelangsa. Sedih.) Jelas, tanggal 5 November ia
diberi tahu seseorang bahwa suaminya tidak ada. Tidak jelas, apakah
suaminya "tidak ada" dalam arti meninggal atau tidak ada di Jakarta.

Baru beberapa waktu kemudian ia menerima surat dari Oto tertanggal 31
Oktober 1945. Isinya, Oto sedang prihatin, men-dapat cobaan berupa
fitnah. Dalam fotokopi surat itu ada catatan dari Soekirah, yang
ditulis tangan dari atas ke bawah di bagian sisi surat: "laatste brief
van Bapa" (surat terakhir dari Bapa).

Hari-hari penuh kegalauan dirasakan Soekirah. Berita dari suami
tercinta tak kunjung datang, ditambah pula ia sedang mengandung anak
bungsunya.

Di manakah Oto Iskandar di Nata?

Akhirnya, datang juga kabar yang ditunggu. Berita resmi diterima
menjelang akhir Desember 1945. Isinya, R. Oto Iskandar di Nata telah
menjadi korban "Laskar Hitam" di Pantai Mauk, Tangerang. Dalam berita
resmi disebutkan, Menteri Negara "Pertahanan" itu tewas tanggal 20
Desember 1945.

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat membangun sebuah taman makam
pahlawan untuk R. Oto Iskandar di Nata. Taman Pasir Pahlawan yang
terletak di Lembang memang hanya menyimpan sejumput pasir dibungkus
kain putih yang diambil dari Pantai Mauk, Tangerang. Jenazah Oto tidak
pernah ditemukan.

Shinta Teviningrum

Kirim email ke