Rustono, "King of Tempe" Jepang dari Grobogan
Minggu, 21 Februari 2010 | 20:09 WIB

GM Sudarta

Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di
Katsuragawa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah
perjalanan yang menyajikan keindahan alam Jepang.

Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai
memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung
dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah
tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini
dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal
perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana
teman-teman Jepang menyebutnya.

Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe,
seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah
tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan
seberat 200 gram dengan label Rusto’s Tempeh bergambar ilustrasi
suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan
di Jepang.

Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua
abad, adalah tempat perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika
kaki mulai melangkah memasuki gerbang kayu di halaman berpagar bambu,
terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan lagu ”Going Home”
dari Kenny G.

Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang
menghanyutkan itu dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di
bawah rindangnya pohon momiji, ditingkah suara gemercik sungai jernih
yang membelah desa, ditemani sang istri di sampingnya.

Semangat dari kerinduan

”Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu,”
Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. ”Dan
berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling
dalam,” tambahnya.

Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh
di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya
masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di
Jepang.

Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987),
kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan
pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.

Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta,
perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup
wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri
Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit
kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk
sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang
dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.

Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti
sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan
etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga
berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas
produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik
memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan
kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.

Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok
kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan
diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam
pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum
ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa
makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.

Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang
pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat
tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu
gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di
kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.

Perjalanan panjang

Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah
panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe,
dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air
asli dari mata air langsung.

Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan
izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk
belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.

Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia
pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman
para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih
terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun
bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa
menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.

Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di
Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga
harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan
kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa
kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging,
termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.

Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi
iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca
kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah
di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai
kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi,
lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia
bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.

Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci
kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia
dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia
datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.

The King of Tempe

Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya
memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima
hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk
mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani
kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.

Dari peta penyebaran Rusto’s Tempeh yang tertera di ruang kerjanya,
terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang.
Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri,
konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan
vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.

Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu
ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan
tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip
intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai
taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata
air, di atas lahan 1.000 meter persegi.

Penghargaan

Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang
terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan
Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi
menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang
budaya Indonesia, terutama Jawa.

Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para
profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap
tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah
kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.

Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe
dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan
tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.

Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan ”Makanan enak belum tentu
menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak
dan menyehatkan adalah tempe!” Terberitakan pula sebuah perusahaan
kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi
tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.

Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa
tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, ”Ah, itu kesalahpahaman.
Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun
tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan
mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan
burgernya, bukan tempenya.”

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2010/02/21/20093063/Rustono..King.of.Tempe.Jepang.dari.Grobogan.

Kirim email ke