Politik Bahasa untuk Integrasi Bangsa
Oleh E. AMINUDIN AZIZ

PADA usia kemerdekaan negeri ini memasuki 60 tahun, persatuan dan
kesatuan bangsa memperoleh ujian yang teramat berat. Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) tengah diuji dengan beragam persoalan
kebangsaan yang di antaranya menyudut ke arah disintegrasi bangsa.

Sepertinya Sumpah Pemuda yang 77 tahun lalu diikrarkan oleh para
pemuda Indonesia untuk menggapai cita-cita unifikasi menuju Indonesia
yang satu, sudah tak ampuh lagi menyatukan dan mengatasi berbagai
perbedaan yang ada. Tak pelak lagi, komitmen agung dalam butir-butir
Sumpah Pemuda telah ternodai.

Ancaman disintegrasi para separatis di sejumlah wilayah bangsa dewasa
ini menimbulkan konsekuensi melonggarnya ikatan fusi tersebut,
terutama komitmen untuk berbangsa dan bertanah air satu, walaupun
tampaknya komitmen pada kesatuan bahasa masih tersimpan sejumput harapan.

Politik bahasa nasional

Politik bahasa merupakan masalah yang pelik. Selain bisa mengatasi
permasalahan yang nantinya berujung pada kesatuan suatu bangsa,
politik bahasa bisa juga memicu konflik antar negara atau antardaerah.
Sungguh beruntung bangsa Indonesia ini karena masalah bahasa sudah
dapat tertangani dengan baik, bahkan jauh sebelum proklamasi
kemerdekaan, yakni melalui ikrar besar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928,
yang berisi tekad kuat untuk menjunjung dan bahkan menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Di dalam sejarahnya, bahasa Melayu (yang merupakan cikal bakal bahasa
Indonesia) bukanlah bahasa etnis besar di tanah air ini. Penuturnya
sangat jauh dibanding penutur bahasa etnis lainnya seperti bahasa Jawa
dan Sunda. Anton Moeliono menyatakan, pada 1928 populasi orang
Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu sebanyak
4,9%, sedangkan bahasa Jawa dan Sunda berturut-turut 47,8% dan 14,5%.
Dalam perkembangannya, bahasa Melayu menggeser bahasa etnis yang kecil
dan menggoyangkan bahasa etnis yang besar. Melalui vernakularisasi,
bahasa Indonesia menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama
masyarakat Indonesia. Benar adanya bahwa bahasa Melayu pada mulanya
merupakan lingua franca ketika orang Eropa pada abad ke-15 mendarat di
Selat Malaka, tersebar mulai dari daerah timur yaitu Maluku, Filipina
di utara dan barat Samudra Hindia.

Sesudah merdeka, peranan bahasa Indonesia semakin jelas dan nyata.
Dalam pergaulannya dengan bahasa-bahasa yang sudah terlebih dahulu ada
di tanah air, identitas bahasa Indonesia semakin mengemuka. Namun
bukan berarti bahasa Indonesia aman dari masalah. Justru masalah
kebahasaan di Indonesia cukup rumit, tidak hanya mencakup aspek bahasa
saja, tetapi juga melibatkan aspek pemakai dan pemakaiannya. Dari
aspek bahasa, bahasa Indonesia berhadapan dengan bahasa asing, dan
bahasa daerah. Pemakaian bahasa mengacu pada ranah pemakaian bahasa.

Secara politik bahasa, bahasa Indonesia menggunakan model kebijakan
"formula tiga-bahasa" (bahasa nasional, bahasa asing, dan bahasa
daerah) yang menurut Kedreogo cocok bagi negara yang multilingual.
Kebijakan serupa diterapkan di India. Tentunya kebijakan bahasa ini
dalam realisasinya tetap berlandaskan pada Pasal 36 UUD 1945.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tumbuh ke arah bahasa tinggi
dan bahasa rendah, terutama pada komunikasi lisan. Hal ini terlihat
pada ungkapan tertentu yang dipakai oleh para pemakainya (khususnya
ketika terkait dengan kekuasaan) yang semakin meluas, terutama ketika
rezim Orde Baru berkuasa.

Pada era Orde Baru, bahasa Indonesia diajarkan kepada siswa kelas 3
sekolah dasar. Sekarang ini, anak taman kanak-kanak pun sudah
mendapatkannya. Hal ini tentunya sangat menguntungkan karena bahasa
Indonesia bisa lebih mengindonesia sejak dini. Sisi lainnya, kebijakan
ini seperti mengebiri potensi bahasa daerah terutama, meskipun
sebenarnya dalam praktik pengajarannya bisa diberikan secara paralel.
Gebrakan baru pemerintah pada masa Orde Baru ini adalah
diberlakukannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. Sebelum
adanya EYD, Bahasa Indonesia yang digunakan masih diwarnai oleh bahasa
etnis masing-masing atau unsur lain dari bahasa asing. Pemberlakuan
EYD ditujukan untuk mengakomodasi keragaman bahasa yang ditemukan di
tanah air ini.

Disinyalir di beberapa negara di dunia ini, isu penggunaan bahasa
menjadi sumber konflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Filipina.
Menurut laporan dari hasil studi McFarland, Filipina memiliki sekitar
120 bahasa etnis. Bahasa Inggris dan bahasa Filipino merupakan bahasa
resmi negara bekas jajahan Spanyol dan Amerika ini, sedangkan bahasa
nasionalnya adalah bahasa Filipino. Bahasa Inggris ditetapkan sebagai
bahasa resmi negara karena dominannya penggunaan bahasa ini di
berbagai bidang sejak berakhirnya penjajahan Amerika. Sementara itu
bahasa Filipino sangat berdasarkan pada Tagalog yang merupakan bahasa
dari tiga etnis besar di Filipina. Dalam kenyataannya, fungsi dan
kegunaan bahasa Filipino baik dalam bidang pemerintahan, pengadilan
dan pendidikan banyak terkalahkan oleh bahasa Inggris.

Pemerintah Filipina mengeluarkan kebijakan dwibahasa. Bahasa Filipino
hanya digunakan dalam pengajaran bahasa Filipino dan studi Sosial.
Sedangkan bahasa Inggris digunakan dalam mata ajar bahasa Inggris,
matematika, dan Sains. Bahasa Filipino hanya digunakan di awal-awal
masa pengajaran, dan selebihnya bahasa Inggris. Walhasil, bahasa
Filipino sulit berkembang. Ketidakmampuan bahasa Filipino memenuhi
tuntutan globalisasi mengakibatkan penguasaan bahasa Inggris semakin
meningkat. Identitas kebangsaan negara ini semakin pudar dan terancam
krisis.

India yang juga bekas jajahan Inggris, mendapatkan pengalaman yang
kurang lebih sama hanya berbeda musababnya. Terjadi resistensi politik
dari para pendukung bahasa etnis besar di bagian selatan India (bahasa
Dravida dan Bengali) terhadap penggunaan bahasa Hindi sebagai bahasa
nasional selain bahasa Inggris. Konstitusi 1950 yang memproklamasikan
Hindi sebagai bahasa nasional terpaksa diamendemen untuk menghindari
konflik antar etnis. Kebijakan baru menetapkan 12 bahasa sebagai
bahasa resmi regional. Sedangkan bahasa Hindi dipilih sebagai bahasa
nasional karena meskipun usianya baru 100 tahun, menurut Ghose dan
Bhog bahasa ini memuat elemen-elemen dari bahasa yang usianya jauh
lebih tua seperti Sansekerta, juga dari bahasa-bahasa regional dan lokal.

Kedua kasus di atas menggambarkan politik bahasa. Pertama, masalah
dapat muncul karena adanya ketidakpuasan dari pihak pemakai bahasa
atas ketidakmampuan bahasanya mengikuti tantangan zaman (kasus
Filipino). Yang kedua adalah karena adanya kecemburuan sosial dari
penutur bahasa etnis kecil terhadap etnis besar (kasus India). Lebih
jauhnya apabila etnis kecil tidak "berdaya" terhadap etnis besar, hal
itu bisa mengakibatkan kematian bahasa.

Tampaknya, menyadari kemungkinan terburuk tersebut terjadi, pemerintah
Indonesia cepat tanggap mengantisipasi potensi munculnya konflik
karena bahasa ini. Menyikapi tantangan zaman atas kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi berupa persoalan tata istilah dan ungkapan
ilmiah, pemerintah melalui Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar
dalam disiplin ilmu tertentu menerbitkan berbagai kamus. Bahasa di
kalangan etnis-etnis kecil maupun etnis-etnis besar diupayakan untuk
dipertahankan. Dalam pelaksanaannya kebijakan yang diterapkan
pemerintah Indonesia berbeda dari negara-negara lain di dunia.

Untuk menangani masalah kecemburuan etnis ini, negara seperti India,
Tanzania, atau Spanyol menerapkan kebijakan bahasa resmi regional.
Sementara itu, Indonesia melakukannya melalui penerapan kebijakan
muatan lokal dalam dunia pendidikan, yaitu program pendidikan yang isi
dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan
sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari
murid. Selain hal-hal tersebut, tentunya media massa, guru bahasa
Indonesia, penyuluhan bahasa Indonesia, pelibatan organisasi
kepemudaan, kepedulian para petinggi negara maupun daerah sangat
berperan dalam upaya pengindonesiaan bangsa.

Namun, dalam pengejawantahannya ada kendala. Dalam hal pengajaran,
terlihat bahwa bahasa Indonesia tidak kontekstual dengan budaya lokal.
Materi yang diajarkan di Pulau Jawa (sebutlah di pusat pemerintahan
ibu kota Jakarta) sama dengan materi yang akan harus disampaikan di
Papua. Perhatikan misalnya contoh-contoh latar budaya buku teks bahasa
Indonesia di sekolah dasar yang sangat Pulau Jawa sentris dengan tokoh
bernama Budi dan keluarganya. Kecerobohan lainnya kebanyakan terkait
dengan sikap mental para pemakai bahasa yang terkadang kurang lihai
menempatkan diri atau kurang bisa berperilaku bijak. Masih ditemui
para oknum petinggi di negara kita yang kurang memedulikan seruan
Pusat Bahasa akan norma bahasa, seperti penggunaan kata-kata:
daripada, yang mana, di mana, dan saudara-saudara sekalian. Atau,
masih ada di antaranya yang secara disengaja beralih menggunakan
bahasa daerahnya dalam acara-acara resmi keindonesiaan.

Sering sekali ditemui, ketika oknum tersebut bertemu dengan sesama
etnisnya, mereka langsung beralih menggunakan bahasanya sendiri,
walaupun perlu diketahui bahwa hal itu tidaklah salah. Akan tetapi,
secara norma pergaulan, cara seperti itu menunjukkan lemahnya
sensitivitas budaya penuturnya di tengah-tengah keberagaman yang
sedang ia hadapi. Apabila hal ini terjadi pada level elite, maka bisa
memicu terjadinya konflik kepentingan yang eksesnya dapat terlihat
dalam power sharing, pendayagunaan aspek ekonomi, dan kedekatan
personal. Ekses negatif lainnya terutama, bila etnis minoritas
memiliki semangat primordialisme tinggi terhadap etnis mayoritas, yang
bisa menimbulkan stereotip terhadap etnis mayoritas dan yang lebih
parahnya hal itu bisa mengantarkan pada munculnya resistansi terhadap
etnis ini. Secara kasarnya, hal ini menimbulkan kesan imperialisme
bahasa dalam bingkai keindonesiaan yang lebih modern.

Politik bahasa ke depan

Seiring dengan otonomi daerah, seharusnya kebijakan bahasa pun tidak
lagi sentralistik karena dalam penyelenggaraan pemerintahan atau yang
terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan baik secara langsung
ataupun tidak, kebijakan ini secara politik telah dipergunakan oleh
para elite untuk mengakomodasi kepentingannya memperkokoh dan
memperpanjang waktu kekuasaan mereka. Di sisi lain, kenyataan di
beberapa tempat malah memperlihatkan rendahnya dukungan politis dari
lembaga politik daerah yaitu eksekutif dan legislatif terhadap
pengembangan bahasa daerah.

Bagaimanapun, Indonesia termasuk salah satu negara yang sukses dalam
politik bahasa. Bukti-bukti sejarah dan kenyataan mempersaksikannya.
Walaupun demikian, masih ada celah yang harus ditutup agar bahasa
Indonesia pada masa ke depan bisa lebih baik, di antaranya memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang sudah lewat terutama yang terkait dengan
imperialisme bahasa; politik bahasa Indonesia tetap mempertimbangkan
aspek keragaman bahasa (tidak represif); politik bahasa Indonesia
hendaknya tidak terlalu berkiblat pada bahasa-bahasa di daerah Jawa
terutama dalam hal peminjaman kata dan istilah yang selama ini
disinyalir lebih mengakomodasi bahasa-bahasa di daerah Jawa. Adapun
adanya sikap kurang bijak para pengguna bahasa, yang dari segi potensi
bisa memunculkan konflik bahasa, sepertinya masih bisa tertangani. Ini
hanyalah letupan-letupan kecil agar bangsa ini semakin dewasa
menghadapi permasalahannya.

Penulis, Dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/28/0802.htm





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now.
http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke