Semoga artikel ini bermanfaat.


----- Original Message ----- 
  7. Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
  Posted by: "seismic_yuni" seismic_y...@yahoo.com   seismic_yuni
  Tue Nov 24, 2009 5:24 pm (PST)


  Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga

  Penulis: Ummu Ayyub
  Muroja'ah: Ust Abu Ahmad

  Hebat rasanya ketika mendengar ada seorang wanita lulusan sebuah 
universitas ternama telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji 
jutaan rupiah per bulan. Belum lagi perusahaan sering menugaskan wanita 
tersebut terbang ke luar negri untuk menyelesaikan urusan perusahaan. 
Tergambar seolah kesuksesan telah dia raih. Benar seperti itukah?

  Kebanyakan orang akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih 
dinilai dari segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai 
materi akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari 
wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang sudah 
saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi sekarang 
saatnya wanita `menunjukkan eksistensi diri' di luar. Menggambarkan 
seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah hal yang rendah.

  Kita bisa dapati ketika seorang ibu rumah tangga ditanya teman lama 
"Sekarang kerja dimana?" rasanya terasa berat untuk menjawab, berusaha 
mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk 
"Saya adalah ibu rumah tangga". Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang 
menanyakan itu "sukses" berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa 
dapati ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan 
prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah 
menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan dengan 
"nasehat" dari bapak tercintanya: "Putriku! Kamu kan sudah sarjana, cumlaude 
lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan anak." Padahal, putri 
tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang 
memang menjadi tanggung jawabnya. Disana ia ingin mencari surga.

  Ibu Sebagai Seorang Pendidik

  Syaikh Muhammad bin Shalih al `Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa 
perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan 
secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan 
berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, 
karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan 
masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. 
Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan 
pengurus rumah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wa ta'ala 
yang artinya:

  "Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias 
dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah 
sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya 
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai Ahlul Bait dan 
membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Ahzab: 33)

  Pertumbuhan generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian 
para ibu. Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam 
pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar! Mengajari 
mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke dada-dada mereka, 
menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah sebagai pedoman hidup, 
kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq, mengajari mereka bagaimana 
beribadah pada Allah yang telah menciptakan mereka, mengajari mereka 
akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana menjadi pemberani tapi tidak 
sombong, mengajari mereka untuk bersyukur, mengajari bersabar, mengajari 
mereka arti disiplin, tanggung jawab, mengajari mereka rasa empati, 
menghargai orang lain, memaafkan, dan masih banyak lagi. Termasuk di 
dalamnya hal yang menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil 
dan remeh, seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya 
sekedar supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi 
bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat padanya. 
Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.

  Sebuah Tanggung Jawab

  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

  "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api 
neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat 
yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang 
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang 
diperintahkan." (QS. At Tahrim: 6)

  Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: "Peliharalah dirimu dan 
keluargamu!" di atas menggunakan Fi'il Amr (kata kerja perintah) yang 
menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Oleh karena itu semua kaum muslimin yang 
mempunyai keluarga wajib menyelamatkan diri dan keluarga dari bahaya api 
neraka.

  Tentang Surat At Tahrim ayat ke-6 ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 
`anhu berkata, "Ajarkan kebaikan kepada dirimu dan keluargamu." 
(Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya (IV/494), dan ia mengatakan 
hadist ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, sekalipun keduanya 
tidak mengeluarkannya)

  Muqatil mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, setiap muslim harus 
mendidik diri dan keluarganya dengan cara memerintahkan mereka untuk 
mengerjakan kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan maksiat.

  Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa beberapa ulama mengatakan bahwa Allah 
subhanahu wa ta'ala akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang 
anaknya pada hari kiamat sebelum si anak sendiri meminta pertanggungjawaban 
orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah itu mempunyai hak atas anaknya, maka 
anak pun mempunyai hak atas ayahnya. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala 
berfirman, "Kami wajibkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua 
orang tuanya." (QS. Al Ankabut: 7), maka disamping itu Allah juga berfirman, 
"Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar 
manusia dan batu." (QS. At Tahrim: 6)

  Ibnu Qoyyim selanjutnya menjelaskan bahwa barang siapa yang mengabaikan 
pendidikan anaknya dalam hal-hal yang bermanfaat baginya, lalu ia membiarkan 
begitu saja, berarti telah melakukan kesalahan besar. Mayoritas penyebab 
kerusakan anak adalah akibat orang tua yang acuh tak acuh terhadap anak 
mereka, tidak mau mengajarkan kewajiban dan sunnah agama. Mereka 
menyia-nyiakan anak ketika masih kecil sehingga mereka tidak bisa mengambil 
keuntungan dari anak mereka ketika dewasa, sang anak pun tidak bisa menjadi 
anak yang bermanfaat bagi ayahnya.

  Adapun dalil yang lain diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala 
yang artinya:

  "dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat." (QS asy Syu'ara': 
214)

  Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhuma mengatakan bahwa Rasulullah 
shalallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Kaum lelaki adalah 
pemimpin bagi keluarganya di rumah, dia bertanggung jawab atas keluarganya. 
Wanita pun pemimpin yang mengurusi rumah suami dan anak-anaknya. Dia pun 
bertanggung jawab atas diri mereka. Budak seorang pria pun jadi pemimpin 
mengurusi harta tuannya, dia pun bertanggung jawab atas kepengurusannya. 
Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya." 
(HR. Bukhari 2/91)

  Dari keterangan di atas, nampak jelas bahwa setiap insan yang ada hubungan 
keluarga dan kerabat hendaknya saling bekerja sama, saling menasehati dan 
turut mendidik keluarga. Utamanya orang tua kepada anak, karena mereka 
sangat membutuhkan bimbingannya. Orang tua hendaknya memelihara fitrah anak 
agar tidak kena noda syirik dan dosa-dosa lainnya. Ini adalah tanggung jawab 
yang besar yang kita akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.

  Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih

  Bagaimana hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan 
anak kita yang usia 5 tahun mulai menumpuk, "Mau untuk apa nak, 
tabungannya?" Mata rasanya haru ketika seketika anak menjawab "Mau buat beli 
CD murotal, Mi!" padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab "Mau buat 
beli PS!" Atau ketika ditanya tentang cita-cita, "Adek pengen jadi ulama!" 
Haru! mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya 
bermimpi "pengen jadi Superman!"

  Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet 
dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar 
untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan 
tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lalu. jika seperti 
ini, bisakah kita begitu saja menitipkannya pada pembantu atau membiarkan 
anak tumbuh begitu saja?? Kita sama-sama tau lingkungan kita bagaimana (TV, 
media, masyarakat,.) Siapa lagi kalau bukan kita, wahai para ibu -atau calon 
ibu-?

  Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu 
sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang sepertinya 
keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang 
mereka sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak 
mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan 
syirik atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar 
atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya. Bagaimana mungkin 
pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan 
dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! sangat jauh 
perbandingannya.

  Anehnya lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak 
juga mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak 
mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian 
besar ibu-ibu nya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan 
anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan. 
Sedih!

  Padahal anak adalah investasi bagi orang tua di dunia dan akhirat! Setiap 
upaya yang kita lakukan demi mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu 
kebajikan. Setiap kebajikan akan mendapat balasan pahala dari Allah 
Subhanahu wa Ta'ala. Tidak inginkah hari kita terisi dengannya? Atau memang 
yang kita inginkan adalah kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang 
berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil 
mentereng, cukup untuk membayar 10 pembantu, mempunyai keluarga yang 
bahagia, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan bagaimana aqidah, 
bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa senyum dan tertawa ria di 
rumah, disebutlah itu dengan bahagia.

  Ketika usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh 
ini hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar 
berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik 
anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu 
pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan anak-anak 
mereka?

  Ketika malaikat maut telah datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, 
ketika diri sangat membutuhkan doa padahal pada hari itu diri ini sudah 
tidak mampu berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang 
mendoakan kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak kita?

  Lalu.

  Masihkah kita mengatakan jabatan ibu rumah tangga dengan kata `cuma'? 
dengan tertunduk dan suara lirih karena malu?

  Wallahu a'lam

  Maroji':

  1. Dapatkan Hak-Hakmu, Wahai Muslimah oleh Ummu Salamah as Salafiyyah. 
Judul asli: Al-Intishaar li Huquuqil Mu'minaat
  2. Mendidik Anak bersama Nabi oleh Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Judul 
Asli: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl
  3. Majalah Al Furqon Edisi: 8 Tahun V/Rabi'ul Awwal 1427/April 2006

  ps : Idealisme normatif atau realistiskah ditengah kejamnya fitnah dunia 
ini, bagai buah simalakama



Kirim email ke