RIAU POS

      Negeri CPO Langka Minyak        


      30 Juni 2007 Pukul 09:35  
      Beberapa bulan  ini kita diramaikan dengan berita langkanya minyak goreng 
sawit. Akibat kelangkaan minyak goreng yang terbuat dari sawit ini, membuat 
harga minyak goreng bertengger sebesar Rp8.000 per liter yang semula Rp6.000. 
Bahkan di Mataram NTB harga minyak goreng Rp10.000 per kg. Ironisnya, Indonesia 
merupakan produksi minyak sawit mentah terbesar kedua setelah malaysia yaitu 
sebanyak 16 juta ton per tahun, dengan areal perkebunan sawit sebesar 6,07 juta 
hektar. 

      Banyak pihak yang menyesalkan terjadinya kenaikan harga yang mendadak 
ini. Mentan menyesalkan, dengan kondisi produksi Crude Palm Oil (CPO) dalam 
negeri yang cukup besar, seharusnya tidak akan terjadi kenaikan harga minyak 
goreng yang sangat tinggi. Namun Mentan mengakui, peningkatan permintaan CPO 
untuk biodisel di beberapa negara -Termasuk eropa- ikut berdampak terhadap 
kenaikan harga CPO di dalam negeri. Akibatnya harga minyak goreng juga 
terangkat naik.

      Kemudian Menteri Perindustrian Fahmi Idris juga angkat bicara. Dia 
menduga ada aksi spekulan besar dan kecil sehingga mendorong gejolak harga di 
dalam negeri. Untuk Spekulan besar, Fahmi mensinyalir praktik mencari 
keuntungan dilakukan antara lain dengan membeli minyak goreng dalam jumlah 
besar, misalnya 1.000 ton. Komoditas  itu kemudian tidak segera disalurkan, 
tetapi didiamkan dulu di pabrik dan setelah harga naik baru diambil. Sedangkan 
spekulan kecil, dilakukan pedagang intrainsuler. Mereka membeli minyak goreng 
dari Pulau Jawa dengan delivery order (DO) dalam negeri. 

      Kurangkah Produksi?
      Dirjen Perkebunan, Depertemen Pertanian, Achmad Mangga Barani sendiri 
membantah kenaikan harga minyak goreng disebabkan Indonesia kekurangan CPO. 
Berdasarkan data produksi CPO dalam negeri yang mencapai 16 juta ton per tahun, 
sulit rasanya alasan pabrik kekurangan bahan baku. Namun karena harga di luar 
negeri lebih baik, maka industri lebih suka mengekspor CPO daripada memenuhi 
untuk industri dalam negeri. Imbasnya jelas, pasokan untuk pabrik dalam negeri 
menjadi berkurang.

      Produksi CPO sebanyak 16 juta ton itu dihasilkan dari areal tanaman 
kelapa sawit 6,07 juta hektare, terdiri dari perkebunan rakyat seluas 2,63 juta 
hektare, perkebunan besar milik negara 679.000 hektare dan perkebunan besar 
swasta 2,742 juta hektare. Dirjen Pengolahan dan dan Pemasaran Hasil Pertanian 
Departemen Pertanian, Djoko Said Damardjati mengatakan, dengan produksi CPO 
sebanyak 16 juta ton, sekitar 12 juta ton dieskpor dan untuk konsumsi dalam 
negeri hanya 3,8 juta ton. Dari 3,8 juta ton, sebanyak 3,3 juta ton dikonsumsi 
langsung, sedangkan 0,5 juta ton untuk industri. Dengan demikian, rata-rata 
kebutuhan untuk dalam negeri hanya 250.000 ton/bulan, dimana 100.000 ton untuk 
industri minyak goreng.

      Harga Ekspor dan Subsidi
      Berdasarkan informasi, harga pasar CPO di tingkat dunia yang tinggi 
hingga 700 dolar AS per ton dan harga lelang CPO di Jakarta mencapai Rp6.900 
per kg. Djoko menganggap produsen seperti mendapat durian runtuh dengan ekspor 
CPO. Padahal, rata-rata harga CPO di pasar Internasional sampai Maret lalu 
hanya 420 dolar AS/ton dan harga tandan buah segar hanya Rp600/kg. Sebenarnya 
dengan memberikan subsidi terhadap harga minyak goreng, mereka tidak akan rugi, 
karena yang diekspor jauh lebih banyak.

      Dengan harga subsidi, produsen bisa menjual CPO ke pabrik refinery 
Rp5100/kg untuk diolah sebagai bahan baku minyak goreng yang dijual ke industri 
minyak goreng Rp5.700/kg. Mereka masih mendapatkan selisih kos pengolahan Rp600 
per kg. Harga minyak goreng selanjutnya bisa dijual ke pengecer sebesar Rp6.100 
per kg, sehingga sampai di tingkat konsumen nantinya hanya Rp6.500 per kg.

      Operasi Pasar
      Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, mengatakan kebijakan yang kita 
ambil bukan mengendalikan ekspor atau pajak eskpor, melainkan diusahakan dalam 
bentuk operasi pasar. Padahal sebenarnya kebijakan Operasi Pasar (OP) kerap 
kali diterapkan pada kebutuhan pokok lainnya seperti beras, namun hasilnya 
tidak mampu meredam harga pasar. 

      Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Derom 
Bangun mengaku pengusaha telah sepakat menambah volume CPO untuk operasi pasar 
menjadi 150.000 ton. Ketua Asosiasi Industri Minyak Makan (AIMMI) Adiwisoko 
Kasman juga mengambil langkah-langkah stabilisasi harga, yaitu memperbanyak 
jumlah penyalur. Sayangnya pada saat tulisan ini dibuat harga minyak goreng 
masih tinggi. Ini membuktikan bahwa dengan langkah-langkah yang telah dilakukan 
baik oleh pemerintah maupun oleh swasta ternyata tidak berhasil.

      Untuk menurunkan harga minyak goreng pemerintah menerapkan tiga langkah. 
Langkah pertama program stabilisasi harga (PSH) dengan meminta produsen 
melakukan operasi pasar. Caranya, pengusaha wajib memasok CPO dengan harga yang 
murah minimal 100 ribu ton. Langkah kedua adalah dengan menerapkan kuota bagi 
produksi CPO atau DMO per tahun menjadi 4,5-5 juta ton dari sebelumnya 16 juta 
ton. Kalau itu juga tidak berhasil menurunkan harga minyak goreng baru 
diterapkan pengenaan pajak ekspor.

      Pelarangan Penimbunan Barang
      Apabila terjadi lonjakan harga dengan tiba-tiba, perlu diwaspadai adanya 
aksi penimbunan. Syariah Islam telah melarang umatnya untuk melakukan 
penimbunan. 

      Dalam sistem ekonomi kapitalis yang terjadi kini, aksi timbun-menimbun 
bukan hanya terhadap keperluan pokok tetapi juga di luar keperluan pokok. 
Apalagi saat ini pemerintah juga tidak mempunyai instrumen untuk mengontrol 
pergerakan, termasuk harga minyak goreng kecuali membuat ancaman menaikkan 
pajak ekspor. 

      Pemerintah juga sangat menggantungkan operasi pasar dari swasta. Semua 
ini menunjukkan pemerintah tidak mempunyai kemampuan menambah pasokan minyak 
goreng.

      Indonesia yang merupakan produsen CPO terbesar setelah Malaysia, tidak 
seharusnya mengalami kelangkaan minyak goreng. Ini membuktikan bahwa penerapan 
sistem ekonomi kapitalis selama ini telah membuat rakyat sengsara. Masihkah 
negeri CPO ini terpeleset?


      Zulhelmy, 
      dosen Tetap UIR Pekanbaru  dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia 
      (HTI) Riau 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke