Refleksi: Syukurlah bagi mereka yang diberkati segala kemanisan dan madu Pak Harto, tetapi puluhan juta mayoritas yang dimarginalisasikan tak ada manisan hanya angin yang membucikan perut dan yang dibuang dari perut buncit kekurang gizi ialah kentut. Pepatah melayu kuno mengatakan: " raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah".
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0706/08/sh04.html Ulang Tahun Ke-86 Soeharto, Habis Manis Sepah Dibuang? Oleh Tutut Herlina Jakarta - Ratusan anak yatim piatu duduk rapi beralaskan tikar di tempat yang rindang, Taman Suropati, Jakarta, Kamis (7/6) pagi. Mereka mengenakan kaos lengan panjang dan celana panjang warna putih. Di bagian depan kaos tertulis "beribu alasan rakyat mencintai Soeharto". Di bagian belakang kaos tertulis, "data dan fakta, zaman Soeharto lebih sejahtera". Dari mulut mereka mengalun ayat-ayat suci Al-Quran. Mereka tidak sedang mengaji. Alunan ayat suci Al-Quran tersebut untuk mendoakan mantan Presiden Haji Muhammad Soeharto. Jumat (8/6), mantan penguasa Orde Baru (Orba) tersebut berusia 86 tahun. "Ayo sama-sama baca Shalawat-nya. Yang keras. Yang keras," kata seorang pemandu melalui pengeras suara. Setelah membaca shalawat, anak-anak tersebut dibagikan lembaran kertas, buku, dan amplop. Lembaran kertas tersebut belakangan dikembalikan lagi kepada panitia tetapi tidak untuk amplopnya. "Ayo dikumpulin, tapi amplopnya jangan ya. Amplopnya tetap dipegang masing-masing," ujar seorang perempuan dengan menggunakan pengeras suara. Buku yang dibagikan kepada anak-anak tersebut berjudul "Pak Harto Habis Manis Sepah Dibuang: Percik Pengkhianatan dan Hujatan." Penulisnya adalah Dewi Ambar Sari-Lazuardi Adi Sage. Ini merupakan buku kedua yang ditulis oleh mereka. Sebelumnya, mereka juga menulis buku berjudul "Beribu Alasan Mencintai Soeharto". "Seperti sebuah tebu, setelah diperas sari gulanya terus dibuang ampasnya," ujar Ambar. Menurut para penulis, buku ini sengaja diterbitkan untuk mengingatkan masyarakat mengenai jasa-jasa mantan Presiden Soeharto. Pada masa kekuasaannya, Indonesia pernah mengalami swasembada di bidang pangan dan tingkat keamanan yang kondusif. Selain itu, harga berbagai kebutuhan juga tidak seperti sekarang ini, yang semuanya serbamahal. Namun, semua jasa-jasa Soeharto tersebut saat ini seolah-olah tidak pernah diperhatikan. Dari hari ke hari, Soeharto bahkan tidak terlepas dari hujatan. Soeharto pun dituding melakukan korupsi di tujuh yayasan yang dipimpinnya oleh pemerintah. Nilai korupsi yang dituduhkan mencapai triliunan rupiah. "Kami melihat Pak Harto adalah orang yang sangat mencintai bangsa. Kita maju ketika dipimpin oleh Pak Harto," kata Ambar. Ditanya dari mana modal untuk menulis buku ini, baik Ambar maupun Lazuardi mengaku bahwa buku itu diterbitkan berdasarkan modal patungan. Semuanya dana pribadi. Mereka berharap dengan penjualan yang laris, royalti yang didapatkan juga akan besar. "Kami tidak didanai Cendana. Acara ini sekaligus untuk promosi," ujar Ambar. Dia juga menampik acara peluncuran buku dan doa bersama tersebut didanai oleh Keluarga Cendana (sebutan untuk keluarga Soeharto - red). Namun, hanya terpaut beberapa meter dari Ambar dan Lazuardi memberi keterangan, seorang perempuan berkulit kuning berdiri tegak, sambil tersenyum mengawasi jalannya acara. Perempuan yang tidak bersedia disebutkan namanya itu menyebutkan dirinya diminta oleh salah satu Keluarga Cendana untuk mengawasi jalannya acara tersebut. "Saya diminta untuk mengawasi," katanya. "Siapa yang meminta mengawasi?" tanya seseorang lagi disampingnya. "Ya...adiknya. Tapi tahu sendiri lah," jawab perempuan itu sambil tertawa dan tak mau menjelaskan lebih lanjut. Banyak Pelanggaran Sembilan tahun yang lalu atau tepatnya 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. Lengsernya Soeharto disambut gegap gempita oleh rakyat di berbagai penjuru negeri karena Indonesia seolah terlepas dari kediktatoran yang telah membelenggu bangsa ini selama 32 tahun. Setidaknya itulah yang dilaporkan oleh beberapa media massa. Setelah Soeharto lengser, banyak tuntutan dari rakyat yang dimotori mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang meminta supaya korupsi mantan penguasa rezim Orba itu diadili di pengadilan. Tuntutan itu dilatarbelakangi adanya dugaan korupsi oleh Soeharto dan kroninya, sehingga Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi. Dugaan ini diperkuat analisis George Soros, orang yang pernah dituding membuat krisis ekonomi di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Open Society, Reforming Global Capitalism, Soros menggambarkan dengan jelas peran Soeharto dalam ambruknya perekonomian Indonesia. Soros menyebutkan, krisis ekonomi yang begitu dahsyat di Indonesia terjadi justru karena Soeharto mengembangkan sistem kapitalis nepotisme. Sistem ini hanya menguntungkan orang-orang dekat Soeharto saja. Tuntutan rakyat itu memang dijawab oleh Presiden BJ Habibie dengan memeriksa Soeharto. Namun, pada saat kepemimpinan Habibie pula, Wakil Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kasus tersebut kembali dibuka. Kejaksaan Agung (Kejagung) di bawah kepemimpinan Marzuki Darusman bahkan sempat melimpahkan perkara dugaan korupsi di tujuh yayasan ke pengadilan. Sayang, karena Soeharto tidak pernah hadir dalam persidangan karena sakit, perkara tersebut tidak dapat ditindaklanjuti. Perkara itu pun akhirnya terbengkalai dari tahun-ke tahun. Para pejabat negara pun seolah permisif atas terkatung-katungnya penanganan perkara itu. Malahan, mereka meminta kepada rakyat Indonesia supaya memaafkan Soeharto. Akhirnya, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden, perkara itu ditutup. Alasannya pun masih sama, yakni Soeharto tidak bisa diadili karena sakit. Soeharto sebenarnya tidak hanya dituding melakukan korupsi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyatakan ada lima pelanggaran HAM yang terjadi ketika Soeharto berkuasa, yakni peristiwa G 30 September, penahanan di Pulau Buru, Petrus, Tanjung Priok, dan Tragedi 27 Juli 1996. Dalam peristiwa G 30 September 1965, lebih dari satu juta rakyat diperkirakan tewas. Sementara itu, dalam peristiwa penahanan di Pulau Buru, ribuan orang kehilangan hak kehilangan akses keadilan dan mendapatkan penyiksaan. Begitu pula dalam peristiwa Petrus, dimana banyak orang dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan. Di antara para saksi korban itu saat ini sudah banyak yang mati, tetapi penanganan kasus-kasus Soeharto tetap tidak jelas ujungnya, bahkan terlihat madek total. Jadi apakah Soeharto habis manis sepah dibuang? Bangsa ini tentu bisa menjawabnya tanpa melalui survei ataupun membaca sebuah buku! [Non-text portions of this message have been removed]