http://www.pos-kupang.com/index.php?speak=i&content=file_detail&jenis=14&idnya=21557&detailnya=1


Golput, Memilih dan Pilih Siapa 
Oleh Drs. Ben D. Hadjon, S.H
Staf khusus pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum 
Pieter Hadjon, S.H., M.H., dan Rekan di Surabaya


SURVAI Lingkaran Madani untuk Indonesia (Lima) yang menemukan 75 % respondennya 
belum tahu tanggal pelaksanaan pemilu merupakan suatu kenyataan yang harus 
diwaspadai karena di sana tersimpan potensi golput alias golongan yang tidak 
memilih. Ada dua aspek yang paling mungkin menjadi penyebab ketidaktahuan para 
responden dalam survai tersebut tentang tanggal penyelenggaraan pemilu yakni 
kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara atau adanya 
sikap apatis dari para responden atau masyarakat umumnya yang telah menempatkan 
pemilu sebagai perhelatan yang tidak bermakna.

Pada dasarnya fenomena golput lahir dari suatu sikap 'kecewa' yang melekat pada 
masyarakat. Kecewa pada rezim yang pernah berkuasa dan sedang berkuasa karena 
dari waktu ke waktu khususnya pada era reformasi ini setelah beberapa kali 
pemilu tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan 
kesejahteraan masyarakat, padahal melalui pemilu masyarakat menginginkan 
lahirnya rezim baru yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Kecewa pada 
sikap dan perilaku sebagian anggota legislatif yang harus mendekam di balik 
jeruji besi karena menggerogoti uang negara yang seharusnya mereka lindungi 
dengan memanfaatkan fungsi kontrolnya. Sungguh sesuatu yang sangat tragis dan 
ironis karena dengan demikian mereka gagal menjalankan amanat yang telah 
dianugerahkan rakyat yang telah memilih mereka. Kecewa pada prioritas 
perjuangan para anggota legislatif yang lebih mengedepankan upaya untuk 
membesarkan partainya dari pada memperjuangkan aspirasi masyarakat karena ingin 
bercokol lebih lama di kursi empuk legislatif yang menjanjikan banyak harapan. 
Harap maklum, karena parpol adalah kendaraan politik untuk membuka peluang agar 
dapat bertahan lebih lama di kursi legislatif walaupun hal tersebut 
bertentangan dengan 'teori penyegaran' yang membutuhkan inovasi untuk lahirnya 
gagasan baru.

Ada beberapa upaya untuk meminimalisir fenomena golput yang dalam era reformasi 
merupakan istilah yang sangat populer dan secara kuantitatif meningkat dari 
waktu ke waktu, baik dalam pemilu legislatif maupun dalam pilpres. Meminjam 
'tangan negara' dengan menerapkan cara-cara yang represif atau melalui 
upaya-upaya lain yang bermaknakan 'pemaksaan' untuk meminimalisir golput adalah 
merupakan cara-cara yang tidak tepat karena menjadi pemilih dalam pemilu adalah 
merupakan hak, bukan kewajiban, apalagi pemilu adalah pesta demokrasi yang 
beresensikan kebebasan termasuk di dalamnya kebebasan untuk memilih atau tidak 
memilih. Peningkatan kesadaran politik masyarakat harus ditumbuhkembangkan agar 
masyarakat dapat memandang arti pentingnya pemilu sebagai pesta demokrasi yang 
harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk turut menentukan arah kebijakan 
negara dalam lima tahun ke depan. 

Sikap mawas diri yang didasari pola hidup sederhana harus melekat pada diri 
anggota legislatif kita karena dengan pola hidup sederhana akan dapat menekan 
keinginan besar untuk menjadi orang kaya baru (OKB) yang mungkin dicita-citakan 
oleh sebagian caleg kita saat ini. Dengan demikian image yang terlanjur merasuk 
di dalam masyarakat kita bahwa ada hubungan yang sangat erat antara anggota 
legislatif dengan faktor duit atau kekayaan secara perlahan dapat dieliminir 
dan anggota legislatif dapat memainkan perannya sebagai penyelaras antara 
keinginan/aspirasi masyarakat dan arah kebijakan pemerintah. Pola pendekatan 
terhadap masyarakat pemilih yang hanya dilakukan di saat-saat menjelang pemilu 
harus dikesampingkan karena hanya akan melahirkan anggapan masyarakat bahwa 
keberadaannya hanya mempunyai arti di saat-saat seperti ini dan setelah itu 
'bablas angine' (meminjam istilah dalam iklan sebuah produk jamu).

Saat ini menjadi caleg yang dapat dipilih masyarakat dalam pemilu setelah 
Mahkamah Konstitusi menganulir ketentuan nomor urut yang membuat mereka yang 
telah berjuang atau telah 'berinvestasi' untuk berada pada 'nomor jadi' 
kelimpungan dan gigit jari, bukanlah merupakan sesuatu yang mudah kecuali 
mereka yang termasuk kategori spekulan politik atau yang menjadi caleg tanpa 
sasaran/target yang jelas. Ada dua pilihan yang harus dilakukan masyarakat 
sebelum sampai kepada keputusan untuk menentukan siapa caleg yang akan 
dipilihnya, yakni keputusan untuk tidak memilih (golput) dan keputusan untuk 
memilih atau mempergunakan hak pilihnya. 

Banyak upaya yang dilakukan para caleg untuk mengiklankan' dirinya baik melalui 
gambar maupun tulisan/slogan yang pada umumnya berisikan kesediaan untuk 
menjadi pelayan masyarakat alias 'pelayan dadakan'. Bahkan ada yang saya anggap 
sangat berlebihan di mana seorang caleg digambarkan sebagai abang becak yang 
sedang mengayu becak ditumpangi seseorang yang sudah usur (lanjut usia). 
Kondisi ini tidak pernah terjadi dalam realitas kehidupan sehari-hari dan 
terdapat kekaburan terhadap pesan yang disampaikan karena jika demikian, yang 
hendak dicapai adalah menjadi penarik/tukang becak, bukan menjadi anggota 
legislatif. Mungkin pesan yang hendak disampaikan adalah kerelaan untuk 
mengabdi bagi masyarakat termasuk menjadi tukang becak sekalipun (bukan 
bermaksud merendahkan), namun karena terlalu berlebihan akhirnya bias dari sisi 
makna dan cenderung tidak realistis. Apakah inilah yang dinamakan menjual 
tampang demi sebuah kehormatan? Apakah pepatah lama 'tak kenal maka tak sayang' 
masih dianggap efektif dalam 'promosi politik'?
Sebagai orang yang pernah berkecimpung di bidang perancangan strategi 
pemasaran, saya ingin menawarkan konsep pemasaran multilevel sebagai salah satu 
strategi kampanye para caleg. Memang konsep ini membutuhkan sejumlah kader 
tangguh, bahkan termasuk klasifikasi 'militan' yang akan merekrut kader baru 
yang kemampuannya setingkat di bawah mereka dan seterusnya sampai tercipta 
struktur pemilih berdasarkan levelnya. Cara ini saya anggap lebih efektif 
ketimbang memasang poster di seluruh penjuru kota. Semua orang boleh menyatakan 
bahwa kecap yang dijualnya adalah kecap nomor 1 (satu), tetapi masalah selera 
tetap merupakan otoritas konsumen (pemilih) yang tidak dapat dengan mudah 
dibelokkan begitu saja. 

Semuanya membutuhkan keuletan dan ketelatenan dalam melakukan pendekatan serta 
yang tidak kalah penting adalah kwalitas dari 'produk' yang ditawarkan untuk 
menumbuhkan kepercayaan konsumen yang pada gilirannya akan menciptakan 'pembeli 
fanatik' yang tidak akan dengan mudah berpaling ke produk lain. 
Dewasa ini masyarakat pemilih sudah sangat memahami untuk menentukan siapakah 
yang akan dipilihnya. Apakah pilihan tersebut didasarkan pada fanatisme 
ideologis (nasionalis, religius dll), faktor kedekatan tertentu (keluarga, 
rekan kerja, tetangga dll) atau menjadi pemilih yang rasional yakni memilih 
seorang caleg karena kualitas yang didasarkan pada track recordnya? Semuanya 
tergantung pada cara pandang masyarakat pemilih untuk mengklasifikasikan 
dirinya menjadi pemilih pada kategori yang mana. Saya sendiri tidak dapat 
memastikan atau memberi jawaban yang pasti kecenderungan masyarakat kita 
menempatkan dirinya pada aspek yang mana dari ketiga aspek tersebut karena 
politik bermaknakan 'kemungkinan' dan bukannya kepastian sebagaimana logika 
matematik. 

Dalam sebuah kesempatan saat santai saya mencoba menelepon seorang sahabat 
ketika masih duduk di bangku SMA yang saat ini berdomisili di Jakarta. Dari 
pembicaraan tersebut saya mengetahui bahwa dia adalah seorang caleg dari suatu 
partai untuk kursi DPR pada salah satu daerah pemilihan di NTT. Sambil bergurau 
saya menawarkan diri untuk menjadi jurkamnya sekalian bernostalgia dengan 
suasana sewaktu masih kuliah. Secara bergurau pula tawaran saya yang tidak 
serius tersebut diterima, namun disertai catatan untuk akomodasi harus saya 
bayar sendiri karena dia tidak memiliki modal yang cukup untuk menyertakan saya 
dalam tim kampanyenya. Saya memberi apresiasi terhadap ungkapan polosnya 
tentang kondisi finansialnya yang sangat terbatas karena dengan demikian 
berarti dia belum terkooptasi oleh politik investasi. Apabila seorang caleg 
mengandalkan kemampuan finansial dengan model pendekatan investasi, maka 
setelah yang bersangkutan terpilih dan duduk di kursi legislatif, yang menjadi 
prioritas pertama adalah berupaya untuk balik modal atau mencapai titik impas, 
setelah itu berusaha untuk meraih 'keuntungan'. Memperjuangkan kepentingan 
masyarakat hanya berada pada skala prioritas yang ketiga. 

Kita tentu mengharapkan agar dari waktu ke waktu penyelenggaraan pemilu di 
negeri ini sebagai pesta demokrasi akan semakin berkualitas, baik dari segi 
sistem maupun dari segi SDM para caleg sehingga dapat membangkitkan masyarakat, 
khususnya yang telah terlanjur 'mendeklarasikan' dirinya sebagai golput karena 
adanya sikap apatis dalam memandang pemilu sebagai perhelatan lima tahunan yang 
tidak bermakna. 

Kirim email ke