Refleksi: Isteri terima, tetapi pak menteri tidak terima berarti haram menjadi halal dan tidak dapat dituntut?
RIAU POS Istri Menteri Mengaku Terima "Uang Haram" 07 Juni 2007 Pukul 08:49 Laporan JPNN, Jakarta Senyum tersungging di bibir Pigoselpi Anas ketika memasuki ruang persidangan, Rabu (6/6). Istri Rokhmin Dahuri itu tampak siap menjadi saksi atas kasus dugaan korupsi "uang haram" Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menjerat suaminya. Padahal ketika masih berada di ruang terdakwa, ibu empat anak itu nampak tegang sambil membolak-balik majalah di tangannya. Meski Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memintanya hadir sebagai saksi dan dia berhak untuk menolaknya, perempuan kelahiran Payakumbuh itu tetap bersedia diminta keterangannya dalam persidangan. ''Saya bersedia menjadi saksi. Saya minta disumpah agar keterangan saya lebih bermakna,'' ujarnya kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Menurut JPU Tumpak Panggabean, pemanggilan istri Rokhmin sebagai saksi relevan. ''Saksi akan dimintai keterangan soal dua hal yakni kepemilikan sertifikat tambak di Lampung dan uang sebesar Rp200 juta yang masuk ke rekening saksi,'' ujar Tumpak. Pigoselpi mengakui ada transfer uang Rp200 juta dari staf Rokhmin, Didi Sadili. Namun, tambahnya, itu adalah uangnya yang dipinjam untuk keperluan DKP. ''Beliau (Rokhmin, red) minta saya menalangi dana untuk keperluan menteri sampai terakumulasi sampai Rp 200 juta,'' ujar Pigoselpi dalam sidang yang dimulai pukul 13.00 WIB itu, terlihat emosi. Pigoselpi mengungkapkan alasan meminjamkan uang karena saat itu dana untuk keperluan menteri belum tersedia dalam APBN, sedangkan sebagai menteri yang baru menjabat, banyak kegiatan yang harus dijalankan Rokhmin. Ditambahkannya, hal itu memang tak diungkapkannya pada saat diperiksa, dia sendiri baru ingat soal peminjaman itu setelah pulang dari pemeriksaan di Gedung KPK Veteran. Transfer uang itu, tambahnya, adalah bentuk pengembalian dari uang yang dipinjamkannya kepada Rokhmin. Meski demikian, tambahnya, baik peminjaman maupun pengembalian uang tak disertai tanda terima selain bukti transfer ke rekeningnya. ''Setelah sampai Rp200 juta, saya tidak mau minjami lagi,'' ujarnya. Tak hanya meminjamkan uang sebesar Rp200 juta ke Rokhmin, Pigoselpi diketahui mengeluarkan uang sebesar Rp500 juta untuk membeli tanah untuk tambak. Darimana uang sebesar itu? Menurut perempuan yang saat itu memakai stelan baju muslim serba ungu, sebelum menjadi menteri Rokhmin bekerja sebagai Guru Besar IPB dan konsultan beberapa perusahaan termasuk Freeport. ''Itu uang simpanan. Beliau dibayar dengan dolar. Saya selalu bertanya pada suami saya, kapan selesai jadi menteri,'' ujarnya lantas menjelaskan dia lebih senang suaminya tak jadi menteri, salah satu alasannya adalah masalah pemasukan yang tak sebanyak ketika jadi konsultan. Namun, jawaban yakin Pigoselpi tak bertahan lama. Anggota majelis hakim, I Made Hendra Kusuma menyerangnya dengan pertanyaan tajam dan menjebak. ''Talangan Rp200 juta itu Saudara berikan ketika terdakwa jadi menteri atau jadi Dirjen,'' tanya hakim ad hoc itu. Dengan tak yakin, Pigoselpi mengaku lupa. Dia bahkan tak ingat kapan suaminya menjadi Dirjen Pelayaran Tangkap dan Pesisir DKP. Ketika ditanya soal penyerahan uang Rp500 juta untuk pembelian tanah tambak, Pigoselpi mengaku itu bukan pinjaman kepada DKP melainkan murni untuk membeli tanah. Ditambahkannya, Rokhmin yang menyuruhnya menyerahkan uang tersebut ke Didi Sadili. Pembelian tanah itu, ujarnya, juga atas perintah Rokhmin dengan alasan akan dijadikan tambak percontohan mahasiswa IPB. Namun, ketika ditanya apakah dia menerima tanda terima dan menandatangani surat tanda jual beli tanah, Pigoselpi tampak gugup sebelum mengiyakan jawaban itu. ''Saya kesal. Padahal saya sudah minjemin (ke DKP, red) saya malah dijadikan saksi,'' ujarnya dengan nada tinggi, lalu ditenangkan Rokhmin dengan cara menepuk bahunya. Pigoselpi mengaku yakin suaminya bukan koruptor karena sejauh pengetahuannya, pengeluaran dana non bujeter DKP selalu ditujukan untuk kepentingan nelayan. ''Kalau suami saya korupsi, saya yang akan menjebloskannya ke penjara,'' ujarnya. Fakta Baru Fakta baru juga terungkap di persidangan kasus dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri di pengadilan, Rabu (6/6). Akademisi IPB, Enang Haris, saat menjadi saksi membeberkan fakta-fakta baru itu. Kesaksiannya, khusus soal tambak IPB yang diduga dibiayai oleh Dana DKP. Disebutkan, keberadaan tambak yang diklaim untuk percontohan mahasiswa IPB itu, ternyata mengaitkan mantan Menteri Koperasi dan UKM Alimarwan Hanan dan Mensesneg Hatta Rajasa dalam kasus yang menjerat Rokhmin. Keduanya diduga ikut 'kecipratan' dana non bujeter DKP yang bermasalah itu. Menurut Enang, tambak di Lampung itu memang dimiliki oleh istri Hatta Rajasa, istri Rokhmin dan istri Alimarwan. Riciannya, tanah seluas 46.315 ribu hektar dimiliki Albaniawati Ali Marwan, tanah seluas 45.955 dimiliki istri Hatta Oktiniwati Ulfa Dariah, dan tanah seluas 45.775 atas nama Pigoselpi. ''Menurut Pak Rokhmin kalau bisa pembagian tanah dengan luas sama untuk ketiga orang itu,'' ujarnya. Meski berdalih bahwa tambak itu adalah tambak percontohan yang punya misi membuktikan bahwa bertani udang menguntungkan, Rokhmin tetap saja menuai keuntungan dari itu. Menurut Enang yang berkacamata, Rokhmin pernah minta uang dari hasil tambak itu. ''Empat kali meminta transfer yang jumlah keseluruhannya mencapai Rp205 juta,'' tambah pria paro baya itu. Menanggapi kesaksian Enang, Rokhmin mengaku ide dibuatnya tambak berasal dari Hatta Rajasa ketika mereka bertemu dalam sebuah rapat kabinet. Ide itu akhirnya dibicarakan lebih lanjut ketika mereka sama-sama menunaikan ibadah haji pada tahun 2003 lalu dan akhirnya diwujudkan.(ein/jpnn) [Non-text portions of this message have been removed]