SUARA MERDEKA
Rabu, 06 Juni 2007

Tren Pasar dan Lingkungan 
  a.. Oleh Fransisca Emilia 

EKOLOGI versus tren pasar memang menimbulkan gejolak, dan hingga kini belum 
terselesaikan. Kepentingan yang lebih mendesak seperti air, udara sehat, dan 
kehidupan sehat, sering terabaikan. Sebab secara riil, meski penting dan harus 
didapatkan setiap hari, barang-barang itu merupakan benda bebas nilai yang bisa 
serta berhak dimiliki oleh siapa pun.

Berbeda dari hutan penghasil kayu -meski tidak setiap saat orang 
membutuhkannya- nilai ekonomis melekat bersamanya. Konstalasi rasa dalam 
pemanfaatan barang tersebut, berdasarkan penelitian Green Peace Asia Tenggara, 
membuat 2,8 juta hektare hutan kita raib setiap tahun demi pemenuhan kebutuhan 
pasar.

Kini, saat tren pasar mulai beralih kepada kebutuhan dasar seperti udara sehat 
dan air bersih, dunia pun beramai-ramai menetapkan dan memopulerkan berbagai 
aturan berkait dengan pola pemanfaatan dan faktor pelestari barang-barang 
tersebut.

Tentu, dunia akan berbicara tentang hutan sebagai sumber daya yang bisa 
mempertahankan kelangsungan suplai air dan udara bersih. Inti permasalahannya, 
bagaimana hutan bisa selamat agar air dan udara yang ternyata memiliki nilai 
ekonomis jauh lebih tinggi dari hutan juga terselamatkan.

Namun sayang, belum ada kesepakatan yang jelas mengenai status dari 
barang-barang tersebut. Hingga sekarang, keduanya -terutama air- sangat terikat 
erat dengan agraria. Akibatnya, saat ini air dan udara yang seharusnya bebas 
nilai, kembali dipertanyakan oleh berbagai pihak.

Sebab, bebas nilai barang-barang tersebut sekarang bisa terpasung oleh 
rekayasa, baik berupa penguasaan lahan, pembuatan jaringan atau alat, maupun 
perundang-undangan. Meski demikian, untuk bisa memanfaatan air serta udara, 
dibutuhkan modal yang tidak sedikit.

Itu pun baru sebatas "kemasannya". Padahal untuk mengembalikan atau menjaga 
keberlangsungan sumber daya, biaya besar harus dikeluarkan untuk menyelamatkan 
hutan.

Tren pasar yang kini menuntut kestabilan ekologi baik berupa kepastian suplai 
air bagi pemenuhan hidup maupun udara bersih demi hidup sehat seluruh umat 
manusia, membuat Indonesia menjadi sorotan dunia, terutama berkait dengan 
pengelolaan hutan.

Tuntutan atas keberlangsungan ekosistem hutan tropis -yang akhirnya berbuntut 
pada pemenuhan kebutuhan pasar akan air dan udara- mendorong beberapa negara di 
dunia membuat berbagai aturan agar hutan tropis Indonesia tetap terjaga. Salah 
satunya, dengan label produk lestari atas segala bentuk hasil hutan. Mereka 
adalah negara-negara yang secara ekonomi menguasai pasar dunia.

Namun sayang, sering terjadi pemberlakuan kebijakan ganda atas aturan-aturan 
itu. Banyak negara yang lolos dan bisa bermain bebas atas hasil hutan tanpa 
terbendung oleh aturan sertifikasi hutan lestari -China misalnya- karena 
negara-negara pemain pasar dunia itu memiliki kepentingan perdagangan yang 
lebih besar dengan negara yang dimaksud. 

Di sisi lain, negara kita juga belum mendapatkan manfaat langsung dari upaya 
mempertahankan keutuhan ekosistem hutan. Misalnya masalah udara bersih sebagai 
salah satu hasil hutan. Produk itu bebas dan tak terikat oleh ruang/batas 
geografis negara, sehingga bisa dimanfaatkan oleh negara mana saja dan oleh 
siapa saja. Akan tetapi, hanya negara pemilik hutan yang harus mati-matian 
mempertahankan kondisi ekosistemnya. Bahkan mereka harus rela -dengan skema 
label produk lestari- membatasi eksploitasi atas hutan.

Memang, ada skema yang bisa menguntungkan negara pemilik hutan sebagai 
penghasil udara bersih lewat kemampuan alam mengurangi emisi karbon dunia. 
Yakni lewat penjualan jasa lingkungan.

Akan tetapi, sudahkah hal itu dirasakan oleh Indonesia. Kembali lagi, kelemahan 
dalam memasarkan dan memanajemen data, membuat negara kita belum mendapatkan 
manfaat maksimal atas penjualan jasa lingkungan. Terlebih, negara kita masih 
dicap sebagai negara yang lemah dalam mengelola hutan. Sebagai bukti, perusakan 
hutan yang tidak kunjung berhenti. Melihat kondisi tersebut, mau tidak mau kita 
harus mulai memperbaiki manajemen pengelolaan hutan, sehingga bisa mendapat 
manfaat maksimal dari penjualan jasa lingkungan dan mendapat keuntungan dari 
sumber daya air yang saat ini menjadi kebutuhan mendesak bagi seluruh umat 
manusia di dunia.(68)

--- Fransisca Emilia, Aktivis Lingkungan di Semarang 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke