[Bag.3] Pemalsu Bukti Evolusi Jepang Ternyata Tidaklah Sendirian!
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Pemalsuan Heboh Bukti Evolusi Jepang [Bagian 3]    

Written by usamah     

Monday, 13 April 2009 11:20  

Bagaimana mungkin selama 20 tahun pemalsuan sejarah evolusi Jepang tidak 
terungkap? Menurut pakar ia tidaklah sendirian!  


Hidayatullah.com — Pemalsuan menggemparkan oleh Shinichi Fujimura sebenarnya 
bisa saja dicegah atau setidaknya dapat diungkap sedari awal, jika saja para 
arkeolog yang berwenang di Jepang tidak bersikap dogmatis dan berpikiran lebih 
terbuka. Kekakuan mereka dalam menolak pandangan lain yang berseberangan atas 
temuan purbakala yang dianggap bukti sejarah evolusi nenek moyang bangsa Jepang 
itu akhirnya justru merugikan Jepang sendiri.

 Sebut saja profesor Charles T. Keally, yang bersama rekannya Oda Shizuo pernah 
mempertanyakan keabsahan ilmiah temuan-temuan Paleolitikum Jepang itu. Keally 
telah menghabiskan banyak kegiatan akademisnya di Jepang. Ia adalah ilmuwan di 
bidang Zaman Batu Jepang dan budaya Jomon, yakni masa prasejarah Jepang.

 Pada tahun 1986 keduanya menerbitkan tulisan di jurnal ilmiah terkemuka yang 
mengritik temuan di situs Paleolitikum Muda dan Madya, propinsi Miyagi. Namun 
yang mereka dapatkan malah cercaan dari arkeolog terkemuka yang mengatakan 
bahwa pemikiran Keally dan rekannya itu salah dan bahwa kritik itu seharusnya 
tidak diterbitkan di jurnal ilmiah. Kritik kedua pakar ini pun lantas dilupakan 
begitu saja.

 Namun kebenaran berpihak pada Keally dan rekannya. Empat belas tahun kemudian, 
pemalsuan Fujimura pun dibongkar media massa ketika ia kepergok sedang mengubur 
sengaja benda-benda purbakala palsu di dua situs Paleolitikum Muda. Sejak itu, 
bangunan sejarah Paleolitikum Muda Jepang yang telah disusun sejak 1980 pun 
hancur berantakan.

Kerugian dunia ilmiah

Menurut jurnal ilmiah Anthropological Science (Vol. 113, no. 2, 131–139, tahun 
2005), setidaknya sejak tahun 1976, atau mungkin lebih awal, Shinichi Fujimura 
telah memalsukan temuan di kurang lebih 186 tempat galian purbakala di Jepang 
timur. Fujimura yang dijuluki "Si Tangan Tuhan" itu tidak segan melakukan 
pemalsuan, meskipun penggalian ilmiah tersebut didukung oleh pemerintah daerah 
setempat dan dua lembaga nirlaba Sekki Bunka Danwakai (Kelompok Penelitian 
Zaman Batu) dan Tohoku Kyusekki Bunka Kenkyujo (Lembaga Penelitian Paleolitikum 
Tohoku).

Pemalsuan bukti sejarah evolusi masyarakat Jepang ini mendorong Japanese 
Archaeological Association (Ikatan Arkeologi Jepang, JAA) menerbitkan laporan 
akhir hasil penyidikannya setebal 625 halaman. Laporan tersebut membeberkan 
bahwa tak satu pun benda-benda purbakala temuan Fujimura memiliki nilai ilmiah. 
Demikian ungkap jurnal Anthropological Science itu dengan judul "For the 
people, by the people: postwar Japanese archaeology and the Early Paleolithic 
hoax" (Untuk rakyat, dari rakyat: arkeologi Jepang pasca perang dan pemalsuan 
zaman batu mula). 

Berdasarkan informasi yang diperoleh redaksi hidayatullah.com dari jurnal 
Archaeology (Vol. 54 No. 1, Jan./Feb. 2001) terbitan Archaeological Institute 
of America, Museum Nasional Tokyo telah menyingkirkan lebih dari 20 buah 
pajangan purbakala hasil temuan Fujimura. Museum-museum lain di Jepang pun 
melakukan hal serupa. 

Akibat tindakan tidak terpujinya, Fujimura dipecat dari Institut Tohoku dan 
Ikatan Arkeologi Jepang (JAA). Wibawa lembaga Institut Tohoku ambruk. "Tidak 
ada lagi yang dapat Anda katakan... Dengan pembeberan media massa ini, seluruh 
hasil kerja kami selama bertahun-tahun hancur lebur", ujar mantan kepala 
lembaga itu, Toshiaki Kamata, yang mengundurkan diri paska terkuaknya skandal 
buruk tersebut. 

Tersingkapnya pemalsuan ini memaksa perombakan buku-buku pelajaran sejarah 
Jepang. Institut Paleolitikum Tohoku, tempat sebelumnya Fujimura menjabat 
sebagai deputi direktur, juga dibubarkan. 

Terbuang sia-sia

Perbuatan Fujimura memalsukan bukti sejarah evolusi manusia Jepang itu tidak 
hanya merugikan dunia ilmu pengetahuan. Pemalsuan ini juga telah 
menghambur-hamburkan uang jutaan dolar dalam pembiayaan kegiatan penggalian 
situs purbakala, penerbitan ilmiah, pertemuan ilmiah, pameran dan museum, serta 
kucuran dana penelitian dari pemerintah yang diperuntukkan bagi berbagai 
ilmuwan dan organisasi. 

Berdasarkan temuan Fujimura mengenai situs-situs purbakala yang dianggap 
penting, para pengusaha dan pemerintah daerah tempat digalinya situs purbakala 
tersebut juga telah terlanjur menanamkan modal untuk membangun sarana 
pariwisata dan memproduksi cendera mata. Dunia pariwisata yang telah susah 
payah dikembangkan pun terkena getah pahit perbuatan Fujimura itu setelah 
terbukti bahwa benda-benda purbakala yang ditemukan di situs-situs tersebut 
terbukti palsu.

 Selain itu para pakar purbakala dan kalangan arkeolog profesional yang telah 
bekerja bersama Fujimura telah membuang-buang waktu lebih dari 20 tahun secara 
sia-sia. Bahkan karir dan wibawa mereka ini berkemungkinan tercoreng akibat 
tingkah laku memalukan Fujimura. 

Bukan seorang diri

 Sejumlah kalangan mempertanyakan, bagaimana mungkin pemalsuan ini bisa 
berlangsung selama puluhan tahun tanpa diketahui pihak berwenang. Apakah yang 
menyebabkan Fujimura berani melakukan perbuatan memalukan itu? 

 Sebuah dugaan muncul bahwa yang mendorong Fujimura melakukan perbuatan 
buruknya adalah gangguan kejiwaan yang dialaminya. Jurnal ilmiah kondang, 
Nature (Vol 445, 18 Jan. 2007, hal. 244-245) menuturkan, paska terungkapnya 
pemalsuan itu, Fujimura dirawat di rumah sakit karena gangguan jiwa. Ia 
dilaporkan menikah lagi, mengubah namanya, dan kini hidup tenang di kota kecil 
dekat pantai Pasifik. 

Namun dugaan kelainan jiwa ini ditepis oleh profesor Charles T. Keally. 
Kesaksian dan pengalamannya sebagai pakar arkeologi di Jepang membantah hal 
itu. Ia menuliskan:
Skandal-skandal yang melibatkan kalangan kelas atas di segitiga-besi Jepang 
yang terdiri dari para politikus, pejabat pemerintah, dan pengusaha, berakar 
dari sistem tertutup di sana juga, dan dari ketaatan yang dipaksakan dalam 
kelompok, tatanan hirarkis, dan kerahasiaan. Ini hanyalah sebuah sisi dari 
penyebab, atau penyebab-penyebab utama yang mendasari skandal teranyar di 
bidang arkeologi ini.

Banyak perbincangan media massa memusatkan perhatian pada hal-hal tentang 
Fujimura dan kehidupannya yang mendorongnya menguburkan barang-barang tiruan di 
situs galian. Ia di bawah tekanan untuk mendapatkan hasil –karena berbagai 
alasan.

Ia menari telanjang di pesta-pesta untuk menghidupkan suasana (Aera Nov. 20, 
2000, p. 19). Hal ini untuk mengalihkan perhatian. Saya telah menyaksikan 
banyak arkeolog memalsukan laporan demi mendapatkan anggaran dana. Dalam video 
yang saya punya, Fujimura bukanlah satu-satunya yang menari telanjang, dan 
banyak (namun bukan berarti semua) penontonnya terlihat menikmati pertunjukkan 
tersebut.

Dan banyak sekali peserta konferensi menghabiskan keseluruhan malam dengan 
mabuk-mabukan –untuk menghidupkan suasana– dan datang di keesokan harinya dalam 
keadaan teler berat atau masih mabuk. Sebagian bahkan tidak mampu membaca 
makalah (ilmiah) mereka sendiri. Jika perbuatan Fujimura diartikan ia memiliki 
semacam gangguan jiwa, maka sejumlah besar arkeolog lain juga demikian.

Permasalahan utamanya adalah mengapa dibutuhkan (waktu) sedemikian lama untuk 
mengenali adanya masalah dalam "tangan tuhannya" dan seluruh masalah lain di 
situs-situs (purbakala) Paleolitikum Mula dan Madya yang ia kerjakan. Mengapa 
sedemikian banyak arkeolog terkemuka menerima sama sekali keabsahan 
barang-barang (temuan) yang memiliki sisi-sisi yang patut dipertanyakan itu?

Apa pun penjelasan terhadap perbuatan Fujimura pada akhirnya nanti, ini 
hanyalah penjelasan perkiraan. Penyebab utamanya lebih jauh dari sekedar satu 
orang ini. Fujimura layak mendapatkan celaan atas perbuatannya. Tapi ia juga 
patut mendapatkan simpati kita, karena ia pada akhirnya adalah hasil dari 
sebuah sistem yang telah menghasilkan banyak skandal, stres dan bunuh diri.

 Dan setiap hari, tampaknya, media massa melaporkan bahwa apa yang kita 
saksikan sebagai skandal, stres dan bunuh diri hanyalah "sebuah ujung puncak 
dari gunung es"." (Japan's Early Palaeolithic Fabrication Scandal, Japanese 
Scandals -- This Time It's Archaeology, --A Preliminary Report --, by Charles 
T. Keally, November 17, 2000)

Apa yang dituturkan Keally ini mirip dengan yang diakui oleh pakar Jepang, Ken 
Amaksu, sebagaimana dikutip jurnal Archaeology:
Many archaeologists privately questioned Fujimura's discoveries, but he was 
rarely publicly challenged. Chairman of the Japanese Archaeological Association 
Ken Amaksu conceded that Japan's academic environment may have played a role in 
the ongoing ruse. ("God's Hands" Did the Devil's Work, Archaeology, vol. 54 no. 
1, Jan./Feb. 2001)

Banyak arkeolog diam-diam mempertanyakan temuan-temuan Fujimura, tapi ia jarang 
ditantang secara terbuka. Ketua Ikatan Arkeologi Jepang Ken Amaksu mengaku 
bahwa lingkungan akademis Jepang mungkin telah turut berperan dalam penipuan 
yang terus-menerus itu. 

Di bagian ke-4 (habis) insya Allah akan dapat dipahami secara lebih rinci, 
mendalam, dan jelas betapa pemalsuan akbar ini bukan disebabkan oleh satu orang 
saja. Rekayasa yang mendorong didapatkannya bukti sejarah evolusi manusia 
Jepang ternyata melibatkan banyak kalangan. 
[bersambung/ah/anthropological-science/archaeology/nature/www.hidayatullah.com] 

 


Kirim email ke