Kepemimpinan Masa Kini

Membahas masalah kepemimpinan dari masa ke masa, ibarat membuka 
kalender kehidupan, sambung menyambung tiada henti. Sebab usia 
kepemimpinan itu sendiri seiring dan sejalan dengan peradaban 
manusia. Apa yang telah diuraikan di bagian depan, hanyalah sekelumit 
dari timbunan yang bak gunung dalam gudang sejarah nan luas, tak 
bertepi dan tak beratap. Buat kita yang penting adalah sejauh mana 
bisa memetik hikmah dan pelajaran darinya. 

Penulis yang cukup menggemparkan dunia menjelang akhir abad ke-20, 
Sammuel P. Huntington, dalam akhir tulisan di buku The Third Wave: 
Democratization in The Late Twentieth Century 

1) menyatakan, bahwa gelombang demokrasi telah terus menerus tanpa 
henti menghantam pantai kedik­tatoran. Dan untuk mewujudkan demokrasi, 
para elit politik di masa depan harus percaya bahwa demokrasi adalah 
bentuk peme­rintahan yang paling sedikit keburukannya. Oleh karena itu 
mereka harus memi­liki ketrampilan untuk mewujudkannya, terutama dalam 
menghadapi golongan konservatif yang pasti akan terus mencoba 
bertahan. Demokrasi itu sendiri mempunyai dua dimensi kema­syarakatan 
dan dimensi kekuasaan/peme­rintahan. 

2) Pada ting­kat kemasyarakatan prinsipnya adalah masyarakat demokrasi 
itu memiliki kebe­basan, dan hanya dibatasi oleh konstitusi, hukum dan 
etika. Sebaliknya pada tingkat pemerintahan, pada dasarnya terbatas, 
sehingga pemerintahan dalam demokrasi disebut "Governing" dan 
bukan "rulling". Governing adalah satu proses pengelolaan kekuasaan 
di mana keputusan-keputusan diambil berdasarkan konsensus. Tidak ada 
peme­rintahan atau pengambilan keputusan secara sepihak, tetapi 
dirundingkan melalui proses tawar-menawar yang demokratis dan 
transparan.

Perubahan dalam sistem ketatanegaraan tersebut mem­bawa dampak besar 
dalam aturan main dan gaya kepemimpinan atau pemerintahan. Namun 
demikian berbagai literatur klasik maupun modern menunjuk­kan bahwa 
syarat, etika dan moral kepemim­pinannya tidaklah berubah. Syarat, 
etika dan moral itu merupa­kan benang merah kepemimpinan dari suatu 
negara yang bermoral yang mengutamakan keadilan, keten­teraman, kese­
jahteraan dan kemak­muran masyara­katnya —suatu kebutuhan universal.

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dan juga 
telah mengalami masa transisi dengan berbagai kerajaan Islam sebelum 
Proklamasi Kemerdekaan, termasuk Keraton Kasunanan Surakarta, secara 
teoritis masalah ke­pemimpinan yang Islami bukanlah hal yang baru 
lagi. Sedangkan pemerintahan dan kepemimpinan yang Islami sebagaimana 
dicontohkan Nabi Mu­hammad Saw, dalam kehidupannya di Madinah, adalah 
justru banyak dicita-citakan. 

Sayang sekali, sejarah juga menunjukkan tidak banyak pemimpin maupun 
pemerintahan Islam yang berhasil melaksanakan ajaran Rasulullah Saw, 
tersebut. Baru dalam hal keikhlasan dan proses menjadi pemimpin saja, 
sesungguhnya telah banyak pemimpin-pemimpin Islam yang gagal di 
tengah jalan. Betapa banyak tokoh kita yang secara ambisius dan 
terang-terangan meminta jabatan, bahkan jika perlu merebutnya dengan 
segala cara. Padahal Rasulullah Saw. tidak menyukai hal tersebut.

Pernah, sahabat Abu Dzar Ra, berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa 
paduka tidak mengangkatku sebagai pejabat?" Mendengar itu Rasulullah 
menepuk punggungnya seraya bersabda, "Wahai Abu Dzar, sesungguhnya 
engkau orang yang lemah, padahal sesungguhnya jabatan itu adalah 
amanah, yang pada hari kiamat nanti akan memunculkan cela dan 
penyesalan, kecuali bagi orang yang dapat melak­sanakan hak amanat itu 
dan kewajibannya sebagai pejabat, sebagaimana seharusnya." (HR. 
Muslim dan Abu Daud)

Petunjuk Rasulullah tadi bukan hanya dikemukakan kepada Abu Dzar 
saja, tetapi juga kepada Abdurrahman bin Samurah, "Wahai Abdurrahman! 
Janganlah kamu meminta pangkat kepemimpinan. Apabila kamu sampai 
diberi, maka hal itu akan menjadi suatu beban yang berat bagi dirimu. 
Lain halnya kalau kamu diberi tanpa meminta, maka hal itu tidak 
menjadi masalah bagimu". Bahkan kepada Abu Musa dan dua orang 
keponakannya, Rasulullah kembali menegaskan, "Demi Allah, aku tidak 
akan memberikan pekerjaan tersebut ke­pada seorang yang memintanya, 
apalagi kepada seseorang yang amat loba kepadanya." (HR. Muslim)

Kini, Republik kita sedang mengalami krisis kepemim­pinan. Imam Al 
Ghazali dalam risalahnya "Nasihat Bagi Penguasa" mengulas sebab-sebab 
seorang penguasa yang kehilangan kekuasaanya dengan menyatakan antara 
lain bahwa penguasa tersebut tertipu oleh kekuasaan, kekuatan dan 
kese­nangannya akan pendapat dan pengetahuannya. 

Ia melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasa­an kepada para 
petugas yang tak berpengalaman, melupakan petugas senior dan 
berpengalaman. Ia telah menyia-nyiakan kesempatan dan peluang yang 
tepat, tidak banyak berpikir tentang peluang itu, dan tiada pula 
melaksanakan pada saat yang diperlukan. Ia kurang tanggap pada tempat 
yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan kesempatan dan 
kesibukan untuk meme­nuhi segala keperluan. Para utusan dan pembantu 
yang tidak jujur serta berkhianat dalam menyampaikan risalah, hanya 
karena kepentingan perut mereka, menurut Al Ghazali, juga sangat 
menimbulkan keburukan. Betapa banyak kerajaan menjadi hancur karena 
ulah mereka.

Islam mengajarkan sabda Rasulullah, "Apabila Allah berkenan untuk 
munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperun­
tukkan baginya menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka ia 
(menteri) akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka menteri pun 
akan mem­bantunya. Dan apabila Allah berkehendak selain itu, maka 
Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila ia 
(pemimpin) lupa, maka sang menteri tidak mengingatkannya, dan bila 
ingat maka sang menteri tidak mem­bantunya". (HR. Abu Daud)

Kalaulah kerajaan di masa lalu kita analogkan dengan Republik dan 
Raja kita analogkan dengan para pemimpin bangsa, maka tergolong 
pemimpin yang manakah kita sekarang ini? Melihat keamanan yang 
semakin tidak terjamin, keadilan yang semakin jauh dan kian 
memudarnya kepastian masa depan, rasanya sudah seharusnya jika kita 
semua sekarang ini mau secara jujur bercermin diri, memohon ampun 
kehadirat Ilahi dan kembali bersama-sama berjuang mewujud­kan Negara 
Idaman, Negara Utama yang Bermoral. Insya Allah.

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com



Kirim email ke