BAHAGIAKAN PASANGAN

  Salah satu kebahagiaan adalah ketika melihat orang yang kita cintai bahagia. 
Kebahagiaan jenis ini levelnya lebih tinggi dari kebahagiaan yang bersifat 
individual. Boleh jadi, ini masuk dalam kategori kebahagiaan sosial.


  Tidak gampang untuk memperoleh kebahagiaan jenis ini. Apalagi bagi mereka 
yang bersifat egois. Semua kebahagiaannya diukur dari kebahagiaan diri sendiri. 
Orang yang demikian adalah tipikal 'pemburu kebahagiaan', yang justru tidak 
pernah menemukan kebahagiaan...


  Berumah tangga adalah sebuah cara untuk memperoleh kebahagiaan, dengan cara 
membahagiakan pasangan kita. Partner kita. Istri atau suami. Bisakah itu 
terjadi? Bisa, ketika berumah tangga dengan berbekal cinta. Bukan sekadar 
berburu cinta. Lho, memang apa bedanya?


  Berbekal cinta, berarti kita mencintai pasangan kita. Ingin memberikan 
sesuatu kepada pasangan agar ia merasa bahagia. Sedangkan berburu cinta, 
berarti kita menginginkan untuk dicintai. Menginginkan sesuatu dari pasangan 
kita, sehingga kita merasa bahagia.


  Menurut anda, manakah yang lebih baik? Mengejar cinta atau memberikan cinta? 
Mengejar kebahagiaan ataukah memberikan kebahagiaan? Mengejar kepuasan ataukah 
justru memberikan kepuasan? Mana yang bakal membahagiakan, yang pertama ataukah 
yang ke dua?
  Ternyata, yang ke dua. Mengejar cinta hanya akan mendorong anda untuk berburu 
sesuatu yang semu belaka. Yang tidak pernah anda raih. Karena, keinginan adalah 
sesuatu yang tidak pernah ada habisnya. Apalagi keserakahan.


  Hari ini Anda merasa memperoleh cinta dari pasangan Anda, maka berikutnya 
anda akan merasa tidak puas. Dan ingin memperoleh yang lebih dari itu. Sudah 
memperoleh lagi, berikutnya anda akan ingin lebih lagi.


  Ini hampir tak ada bedanya dengan ingin mengejar kesenangan dengan cara 
memiliki mobil atau rumah. Ketika kita masih miskin, kita mengira akan senang 
memiliki mobil berharga puluhan juta rupiah. Kita berusaha mengejarnya. Lantas 
memperolehnya. Dan kita memang senang.


  Tapi, tak berapa lama kemudian, kita menginginkan untuk memiliki mobil yang 
berharga ratusan juta rupiah. Mobil yang telah kita miliki itu tidak lagi 
menyenangkan, atau apalagi membahagiakan.


  Benak kita terus menerus terisi oleh bayangan betapa senangnya memiliki mobil 
berharga ratusan juta rupiah. Jika kemudian kita bisa memenuhi keinginan itu, 
kita pun merasa senang. Tetapi, ternyata itu tidak lama. Benak kita bakal 
segera terisi oleh bayangan-bayangan, betapa senangnya memiliki mobil yang 
berharga miliaran rupiah. Begitulah seterusnya. Coba rasakan hal ini dalam 
kehidupan anda, maka anda akan merasakan dan membenarkannya.


  Kesenangan dan kebahagiaan itu bukan anda peroleh dengan cara mengejarnya, 
melainkan dengan cara merasakan apa yang sudah anda miliki. Dan jika anda 
mensyukurinya, maka kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya pada 
perubahan yang datang berikutnya.


  Anda tak perlu mengejar kebahagiaan, karena anda sudah menggenggamnya. Yang 
perlu anda lakukan sebenarnya adalah memberikan perhatian kepada apa yang sudah 
anda miliki. Bukan melihat dan mengejar sesuatu yang belum anda punyai. Semakin 
anda memberikan perhatian kepada apa yang telah anda miliki, maka semakin 
terasa nikmatnya memiliki. Jadi, kuncinya bukan mengejar, melainkan memberi.


  Demikian pula dalam berumah tangga. Jika kita ingin memperoleh kebahagiaan, 
caranya bukan dengan mengejar kebahagiaan itu. Melainkan dengan memberikan 
kebahagiaan kepada pasangan kita. Bukan mengejar cinta, melainkan memberikan 
cinta. Bukan mengejar kepuasan, melainkan memberikan kepuasan.


  Maka anda bakal memperoleh kebahagiaan itu dari dua arah. Yang pertama, anda 
akan memperolehnya dari pasangan anda. Karena merasa dibahagiakan, ia akan 
membalas memberikan kebahagiaan.


  Yang ke dua, kebahagiaan itu bakal muncul dari dalam diri anda sendiri. 
Ketika kita berhasil memberikan kepuasan kepada pasangan kita, maka kita bakal 
merasa puas. Ketika berhasil memberikan kesenangan kepada partner kita, maka 
kita pun merasa senang. Dan ketika kita berhasil memberikan kebahagiaan kepada 
istri atau suami kita, maka kita pun merasa bahagia.


  Ini, nikmatnya bukan main. Jumlah dan kualitasnya terserah anda. Ingin lebih 
bahagia, maka bahagiakanlah pasangan anda. Ingin lebih senang, maka 
senangkanlah pasangan anda lebih banyak lagi. Dan, anda ingin lebih puas? Maka 
puaskanlah pasangan anda dengan kepuasan yang lebih banyak. Anda pun bakal 
merasa semakin puas. Terserah anda, minta kesenangan, kepuasan, atau pun 
kebahagiaan sebesar apa. Karena kuncinya ada di tangan anda sendiri. Semakin 
banyak memberi semakin nikmat rasanya.


  Anda yang terbiasa egois dan mengukur kebahagiaan dari kesenangan pribadi, 
akan perlu waktu untuk menyelami dan merenungkan kalimat-kalimat di atas.


  Contoh yang lebih konkret adalah perkawinan dengan cinta yang bertepuk 
sebelah tangan. Perkawinan semacam ini sungguh membuat menderita pihak yang 
tidak mencintai. Padahal ia dicintai. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh 
pasangannya. Katakanlah ia pihak wanita.


  Segala kebutuhan sang wanita selalu dipenuhi oleh suaminya. Rumah ada. Mobil 
tersedia. Pakaian, perhiasan, dan segala kebutuhan semuanya tercukupi. Tetapi 
ia tidak pernah merasa bahagia. Kenapa? Karena tidak ada cinta di hatinya.


  Sebaliknya, sang suami merasa bahagia, karena ia mencintai istrinya. Ia 
merasa senang dan puas ketika bisa membelikan rumah. Ia juga merasa senang dan 
puas ketika bisa membelikan mobil.


  Dan ia senang serta puas ketika bisa memenuhi segala kebutuhan istri yang 
dicintainya itu. Semakin cinta ia, dan semakin banyak ia memberikan kepada 
istrinya, maka semakin bahagialah sang suami. Kalau ia benar-benar cinta kepada 
istrinya, maka ukuran kebahagiaannya berada pada kebahagiaan si istri. Jika 
istrinya bahagia, ia pun merasa bahagia. Jika istrinya menderita, maka ia pun 
merasa menderita.


  Akan berbeda halnya, jika si suami tidak mencintai istri. Ia sekadar menuntut 
istrinya agar mencintainya. Memberikan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan 
kepadanya. Ketika semua itu tidak sesuai dengan keinginannya, maka ia bakal 
selalu merasa tidak bahagia. Tidak terpuaskan.


  Sebaliknya, jika istri tersebut kemudian bisa mencintai suaminya - karena 
kebaikan yang diberikan terus menerus kepadanya - maka si istri itu justru 
bakal bisa memperoleh kebahagiaan karenanya.


  Pelayanan yang tadinya dilakukan dengan terpaksa terhadap suaminya, kini 
berganti dengan rasa ikhlas dan cinta. Tiba-tiba saja dia merasakan kenikmatan 
dan kebahagiaan yang tiada terkira.


  Kalau dulu ia memasakkan suami dengan rasa enggan dan terpaksa, misalnya, 
kini ia melakukan dengan senang hati dan berbunga-bunga. Kalau dulu ia merasa 
tersiksa ketika melayani suami di tempat tidur, kini ia merasakan cinta yang 
membara.


  Ya, tiba-tiba saja semuanya jadi terasa berbeda. Penuh nikmat dan bahagia. 
Padahal seluruh aktivitas yang dia lakukan sama saja. Apakah yang 
membedakannya? Rasa cinta!


  Ketika ‘berbekal cinta’, semakin banyak ia memberi, semakin banyak pula rasa 
bahagia yang diperolehnya. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa yang 
bahagia itu sebenarnya bukanlah orang yang dicintai, melainkan orang yang 
mencintai. Orang yang sedang jatuh cinta...


  Karena itu keliru kalau kita ingin dicintai. Yang harus kita lakukan adalah 
mencintai pasangan. Semakin besar cinta kita kepadanya, semakin bahagia pula 
kita karenanya. Dan yang ke dua, semakin banyak kita memberi untuk kebahagiaan 
dia, maka semakin bahagialah kita...


  Begitulah mestinya rumah tangga kita. Bukan saling menuntut untuk 
dibahagiakan, melainkan saling memberi untuk membahagiakan. Karena di situlah 
kunci kebahagiaan yang sebenar-benarnya memberikan kebahagiaan...


  ==========================================================


  Penyumbat Rezeki


  Oleh Bayu Gawtama


  Hardi, seorang pedagang kelontong yang cukup berhasil di kotanya. Namun 
jangan lihat keberhasilannya sekarang sebelum tahu faktor apa yang menjadi 
penyebab usahanya maju dan lancar.


  Setahun yang lalu, Hardi mengadukan nasibnya kepada guru ngajinya. Ia mengaku 
sudah lebih sebelas tahun mencoba berbagai usaha namun selalu kandas di tengah 
jalan. Usaha pertamanya sudah dimulai saat ia baru memasuki kuliah tingkat dua, 
sekitar tahun 1994. Saat itu, ia mendapat pembagian warisan dari orangtuanya 
yang belum lama meninggal dunia. Jiwa bisnisnya memang sudah terlihat semenjak 
kecil, jadi wajar jika kemudian ia mendapatkan uang warisan dalam jumlah yang 
cukup banyak, maka yang terbersit di kepalanya adalah bisnis.


  Maka, beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah warung makan. Mulanya, warung 
makannya berjalan normal, bahkan bisa dibilang sangat laku keras. Mungkin 
karena ia melakukan promosi sangat gencar, selain karena ia termasuk anak muda 
yang memiliki cukup banyak relasi meski pun usianya masih sangat muda. Jadi 
sangat mudah baginya untuk mengundang sahabat, kerabat dan relasinya untuk 
sekadar mencicipi warung makan miliknya.


  Entah kenapa, selang tiga bulan kemudian satu persatu pelanggan 
meninggalkannya. Tak banyak lagi yang makan di warungnya, sehingga dalam waktu 
tak berapa lama ia terpaksa menutup usahanya dan gulung tikar. Ia pun berganti 
usaha yang lain dengan sisa modal yang ada.


  Usaha barunya, tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih seputar makanan. 
Kali ini ia membuka usaha catering yang melayani makan untuk kantor-kantor di 
kota tinggalnya. Alhamdulillah ia dipercaya seorang rekannya yang bekerja di 
sebuah perusahaan untuk memasukkan catering untuk makan siang beberapa 
karyawan. Untuk sebuah awalan, catering untuk sekitar 20 karyawan dianggapnya 
bagus. “Mulanya 20, insya Allah menjadi 200, 2000 dan seterusnya…” semangat 
Hardi berapi-api.


  Alih-alih bertambah pelanggan, rupanya Allah berkehendak lain. Yang 20 pun 
menyetop langganan catering kepada Hardi, sementara selama satu bulan penuh itu 
ia belum mendapatkan pelanggan baru. Akhirnya, ia pun kembali mengalami 
kebangkrutan. Demikian seterusnya hingga lebih sepuluh tahun kemudian ia 
berganti jenis usaha selalu menemui kegagalan.


  Pada satu kesempatan ia mengadukan perihal kegagalan demi kegagalan usahanya 
kepaada guru mengajinya. Ia menceritakan secara detil semua jenis usaha yang 
pernah dicobanya dan bagaimana sampai akhirnya semua usahanya gagal. “Saya 
harus usaha apalagi guru, saya sudah kehabisan modal. Bahkan saat ini saya 
memiliki hutang yang tidak sedikit…” keluhnya.


  Guru tersebut tak lantas memberikan jawaban dengan menyebut satu bentuk usaha 
baru yang patut dicoba Hardi, melainkan meminta Hardi mengingat-ingat sesuatu 
di masa lalu. “Coba ingat, pernah punya hutang atau tidak di masa lalu? Atau 
pernah punya sangkutan berkenaan dengan rezeki orang lain atau tidak di masa 
lalu…?” tanya sang guru.


  Dahi Hardi mengerenyit, mencoba mengingat-ingat masa lampaunya. Rasa-rasanya 
ia tak pernah punya hutang kepada siapa pun, justru sebaliknya ia malah 
mengingat kembali daftar nama-nama yang pernah berhutang kepadanya. “Coba lebih 
keras mengingat, mungkin nilainya kecil, tapi boleh jadi itu yang menjadi 
penyumbat rezekimu…”


  “Astaghfirullah…. “ Hardi teringat sesuatu. Ia pun segera menyalami sang guru 
dan mohon pamit seraya berucap terima kasih. Pria itu segera memacu kencang 
kendaraannya menuju suatu tempat. Dalam hati ia berharap cemas, “Semoga masih 
ada warung itu…”


  Tidak kurang dari tiga belas jam waktu yang ditempuh Hardi menuju Semarang, 
mencari satu tempat yang pernah ia singgahi hampir dua belas tahun yang lalu. 
Tiba di tempat yang dituju, ia tidak menemukan lagi warung mie ayam tempatnya 
makan dahulu. Kemudian ia mencoba bertanya kepada orang-orang di sekitar 
perihal tukang mie yang pernah berjualan di situ.


  “Ya, tukang mie itu bapak saya. Sekarang sudah tidak berjualan lagi. Sekarang 
bapak sedang sakit parah…” seorang anak menceritakan ciri-ciri fisik penjual 
mie ayam itu, dan Hardi yakin sekali itu orang yang dicarinya. Tanpa pikir 
panjang, ia minta diantarkan ke rumah penjual mie untuk bertemu langsung.


  Ketika melihat kondisi penjual mie, Hardi menitikkan air mata. Ia langsung 
meminta beberapa anggota keluara membopong penjual mie itu ke mobilnya dan 
segera membawanya ke rumah sakit. Alhamdulillah, jika tidak segera dibawa ke 
rumah sakit, mungkin penjual mie itu tidak akan tertolong. Seluruh biaya rumah 
sakit tercatat mencapai lima belas juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh 
Hardi.


  Beberapa hari kemudian, setelah kembali ke rumah, bapak penjual mie itu 
mengucapkan terima kasih kepada Hardi. “Bapak tidak tahu harus bagaimana 
mengembalikan uang biaya berobat itu kepada nak Hardi. Usaha dagang bapak 
sedang susah…” Hardi berkali-kali mencium tangan Pak Atmo, penjual mie itu. 
Matanya tak henti menitikkan air mata, ia sedang berusaha menyatakan sesuatu, 
namun bibirnya terasa sangat berat.


  Akhirnya, “… semua sudah terbayar lunas pak. Saya hanya minta bapak 
mengikhlaskan semangkuk mie ayam yang pernah saya makan tanpa membayar dua 
belas tahun silam”, Hardi terus menangis berharap keikhlasan itu didapatnya. 
Saat itu, sehabis makan ia langsung kabur memacu sepeda motornya dan tak 
membayar semangkuk mie seharga 1.500 rupiah.


  Pak Atmo memeluk erat tubuh Hardi dan mengusap-usap kepala pria muda itu 
seraya berucap, “Allah Maha Pemaaf, begitu pun semestinya kita…”.


  ***


  Perlancar dulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita. Wallaahu 
‘a’lam bishshowaab (Gaw)



Kirim email ke