JAUH, DEKAT, ATAU TAK BERJARAK?
   
  Saya Ingin mendekatkan diri kepada Allah. Demikian kata kawan saya. Kawan 
yang lain lantas bertanya: lho, apakah memang Allah itu jauh, sehingga masih 
perlu mendekatkan diri kepadaNya?
   
  Kawan yang pertama, bingung juga menjawabnya. Kalau dijawab: Allah itu dekat, 
menjadi kontradiksi dengan statementnya sendiri, bahwa ia ingin mendekatkan 
diri kepada Allah. Tapi kalau dijawab: Allah itu jauh, salah juga karena Allah 
dengan jelas telah mengatakan bahwa Dia dekat kepada kita, lebih dekat daripada 
urat leher kita sendiri.
   
  Maka, saya bilang kepadanya: coba rasakan saja dalam kehidupan Anda. Apakah 
Allah itu jauh atau dekat.
   
  Dia berdiam sejenak. Lantas menjawab dengan sejujurnya, bahwa kadang ia 
'merasa' dekat dengan Allah, tapi di kali lain 'merasa' jauh. 'Ya, kadang Allah 
terasa dekat, kadang terasa jauh / tegasnya. Ia tertawa kecil, dalam 
ketidakpastian. Ia belum memperoleh jawaban yang tuntas atas pertanyaan 
kawannya...
   
  Maka, mungkin Anda pun ikut bertanya-tanya dalam hati. Kalau gitu, Allah itu 
jauh apa dekat ya? Kenapa kita juga merasakan kadang jauh kadang dekat dengan 
Nya. Ketika sedang merasa jauh, hati kita rasanya kosong dan gelisah. Tapi, 
sewaktu dekat, kita merasakan ketenangan, kententraman dan kedamaian yang sulit 
digambarkan.
   
  Ketika merasa jauh, persoalan silih berganti datang dalam kehidupan. Ketika 
dekat, semua persoalan seolah lenyap ditelan terang benderangnya cahaya 
kehidupan. Ketika merasa jauh, pikiran kita bete dan sumpek, tidak jernih dalam 
memandang berbagai persoalan. Tapi ketika merasa dekat, segalanya menjadi 
demikian gamblang dan mudah untuk membuat keputusan keputusan.
   
  Ketika jauh, kita merasa serba sulit dan jadi pemarah. Namun ketika merasa 
dekat, kita jadi sabar dan penuh keikhlasan. Kenapa ada perasaan dan kondisi 
demikian? Dan kenapa ini terkait dengan ÁÓasa dekat¡¦dan 'rasa jauh' terhadap 
Allah?
  Ini ada kaitannya dengan fungsi Jiwa dan Ruh, sebagaimana telah kita bahas 
dalam diskusi sebelumnya. Bahwa diri manusia terdiri dari 3 lapisan: yaitu 
badan wadag, Jiwa dan Ruh.
   
  Perasaan dekat dan jauh terhadap Allah itu dialami oleh Jiwa kita. Bukan oleh 
badan wadag atau Ruh. Sebab badan wadag adalah benda mati, yang tidak memiliki 
'rasa'. Ia hanya merupakan 'media' bagi jiwa untuk memperoleh berbagai rasa 
itu. Ketika badan wadag harus berdiri sendiri terpisah dari jiwa maka ia tidak 
bisa merasakan apa pun. Mati, koma, pingsan ataupun tidur.
   
  Sementara itu, Ruh adalah potensi Sifat-Sifat Ketuhanan yang ditularkan Allah 
kepada badan wadag. Karena kemasukan Ruh itulah maka badan wadag menjadi hidup 
dengan segala derivative Sifat-Sifat Allah. Dan, dengan kemasukan Ruh, badan 
wadag itu memiliki sisi batiniah yang bersifat energial yang disebut jiwa, yang 
bisa merasakan kedekatan atau kejauhannya dengan Allah Tuhannya.
   
  Jiwa adalah sosok yang ditulari Sifat-Sifat Allah lewat keberadaan Ruh di 
dalam wadag. Termasuk di dalamnya adalah ÁÔifat¡¦Berkehendak. Jiwa memiliki 
kehendak yang bebas, dalam pengaruh potensi Ruh. Dia bisa memilih 'keburukan' 
yang berorientasi hanya pada kebutuhan badaniah duniawiyah, atau 'kebaikan' 
yang berorientasi pada nilai-nilai luhur Ruhiyah ukhrawiyah. Seluruhnya 
dibebaskan sebagai pilihan jiwa.
   
  Jadi, jauh dekatnya seseorang dengan Tuhannya lebih bermakna batiniah. Bukan 
wadag, tapi jiwa. Bukan kuantitaif, melainkan kualitatif.
   
  Secara kuantitatif, manusia tidak bisa jauh dari Allah. Karena, Dia memang 
lebih dekat daripada urat leher. Dia meliputi kita. Karena itu, penggambaran 
dekat itu lebih disimbolkan secara fisikal: urat leher. Karena memang Allah 
hadir di dalam setiap sel-sel tubuh kita. Termasuk, sel-sel urat leher itu 
sendiri. Bahkan lebih halus lagi, karena Allah juga hadir di dalam 
molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-partikel penyusunnya. Tidak ada 
penggambaran yang lebih dekat daripada itu.
  Tapi secara kualitatif, kedekatan dengan Allah itu bisa agak 'renggang' atau 
sebaliknya. Kedekatan itu lebih menggambarkan betapa kualitas kita sebagai 
manusia mengalami pasang surut. Itu adalah gambaran Jiwa: semakin bersih atau 
semakin kotor.
   
  Jiwa yang bersih bakal memancarkan Sifat-Sifat Ketuhanan dalam diri kita, 
menjadi semakin benderang. Sedangkan Jiwa yang kotor bakal meredupkan 
pancarannya. Kuncinya hanyalah membersihkan jiwa atau mengotorinya.
   
  Sebenarnya, dalam diri kita ada sifat-sifat Ketuhanan. Sifat-sifat itu akan 
memancar dengan kualitas yang semakin tinggi, ketika jiwa kita bersih. 
Sebaliknya akan meredup, kalau jiwa kita kotor.
   
  Orang-orang yang membersihkan jiwanya pasti akan memancarkan sifat-sifat 
penyayang, pemurah, adil, jujur, pemaaf, sabar, ikhlas, dan seterusnya, yang 
menggambarkan sifat-sifat Asmaa'ul husna.
   
  Semakin bersih jiwanya, semakin terpancarlah sifat-sifat itu dari dalam 
dirinya. Nah, orang yang demikian itu yang dikatakan 'dekat' kepada Allah. 
kenapa? Karena kualitas sifat-sifatnya 'mendekati Sifat-Sifat Allah'. 
Sifat-sifat kemanusiaannya yang egoistik memudar. Yang berpendar adalah 
Sifat-Sifat ketuhanan yang universal. Menebarkan kasih sayang untuk seluruh 
alam sekitarnya. Itulah sifat-sifat seorang Islam yang sesungguhnya : rahmatan 
lil 'alamin...
   
   
  MASIH PERLUKAH KITA MENDEKAT
   
  Kalau benar, kita sudah demikian dekatnya kepada Allah, apakah masih perlu 
mendekatkan diri kepada Nya? Untuk apa? Bukankah Dia sudah          menegaskan 
bahwa Dia begitu dekat     dengan hamba-hambaNya. Dan akan mengabulkan setiap 
permohonan yang disampaikan kepadaNya?
   
  QS. Al Baqarah (2) : 186
  Dan apabila hamba-hamba Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), 
bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia 
memohon kepada Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan 
hendaklah mereka beriman kepada Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
   
              Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus terlebih dahulu 
sepakat tentang makna kata 'dekat' Bahwa dekat yang dimaksud di sini adalah 
kedekatan kualitas, sebagaimana telah kita bahas di bagian depan. Bukan sekadar 
kedekatan fisik, karena sesungguhnya Dia telah begitu dekatNya dengan 
hamba-hambaNya.
   
  Maka, kalau kita baca ayat-ayat Qur'an, Allah menggunakan beberapa istilah 
yang hampir sama maknanya untuk menggambarkan kedekatan makhluk kepada 
Tuhannya. Setidak-tidaknya ada 5 tingkat kedekatan.
   
  1. Meliputi
  Dalam banyak ayat Allah mengatakan bahwa Dzat, Ilmu, Rahmat dan KekuasaanNya 
meliputi segala sesuatu. Kita sudah membahas di depan, bahwa karena Allah tidak 
terbagi-bagi dalam penyusun yang lebih kecil, maka Dzat, Ilmu, Rahmat dan 
KekuasaanNya itu sebenarnya menunjuk kepada Eksistensi Tunggal.
  Ketika Allah mengatakan salah satu sifatNya meliputi makhlukNya, maka 
sebenarnya seluruh sifat-sifat yang lain juga meliputi makhlukNya. Dengan kata 
lain, Dzat TunggalNya meliputi segala yang ada.
   
  QS. An Nisaa' (4) : 126
  Kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah 
Maha Meliputi segala sesuatu.
   
  QS. Al Baqarah (2) : 19
  Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai 
gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, 
karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi 
orang-orang yang kafir
   
  Dan sejumlah ayat-ayat lagi yang menceritakan bahwa Allah meliputi segala 
makhlukNya. Setidak-tidaknya ada 2 kata yang digunakan. Kadang menggunakan kata 
mukhith, kadang wasiÃÂ. Tapi intinya, Allah sedang memberikan gambaran betapa 
Allah itu sedang meliputi makhlukNya, dan sangat dekat dengan mereka.
   
  Kata meliputi ini juga memberi makna 'luas' atau 'besar'. Artinya, ketika 
dikatakan bahwa Allah meliputi segala sesuatu, maka Dia itu sebenarnya adalah 
Dzat Yang Amat Sangat Besar Sekali. Sehingga bisa meliputi segala sesuatu, 
termasuk alam semesta keseluruhannya.
   
  Namun, disamping itu, kata-kata kulli syai in (tiap-tiap sesuatu) di ayat 
tersebut menggambarkan betapa Allah begitu dekat, karena meliputi tiap-tiap 
makhlukNya, termasuk setiap diri manusia. Bahkan setiap bagian terkecil tubuh 
manusia.
  Jadi, makna kata 'meliputi' memberikan persepsi sebagai kedekatan makhluk 
dengan Tuhannya atau sebaliknya. Tapi kedekatan yang bersifat universal.
   
  Materi, energi, ruang, waktu, dan informasi, semuanya terangkum dalam kata 
ÁÎeliputi¡¦ Bahkan termasuk orang-orang yang kafir pun diliputi oleh Allah. 
DzatNya dekat dengan apa saja dan siapa saja!
   
  2. Bersama
  Kata 'dekat' yang memiliki makna lebih khusus adalah 'bersama'. Kata yang 
digunakan adalah ma'ash shabirin (bersama orang-orang yang sabar), ma'akum, 
maÃÂna, maÃÂhum (bersamamu, bersama-Ku, bersama mereka). Dan sebagainya.
   
  Kata 'bersama' menunjukkan kedekatan secara khusus. Lebih khusus dibandingkan 
dengan 'meliputi'. Karena itu, penggunaan kata 'bersama' ini langsung dikaitkan 
dengan objeknya: bersamamu, bersama-nya, bersamaku.
   
  Ada semacam perhatian khusus, ketika Allah mengatakan: Á¢ku bersama dengan 
orang-orang yang sabar¡¦Seakan-akan Dia ingin menegaskan bahwa Allah akan 
memberikan pembelaan dan melindungi orang-orang yang sabar.
   
  QS. Al Baqarah (2) : 153
  Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan 
sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang 
sabar.
   
  QS. Al Hadiid (57) : 4
  Dialah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia 
bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa 
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa, yang naik 
kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada, Dan Allah Maha 
Melihat apa yang kamu kerjakan.
   
  QS. Al Anfal (8) : 46
  Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul Nya dan janganlah kamu 
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu 
dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar
   
  Dan banyak lagi ayat lainnya tentang makna 'kebersamaan' itu. Tapi sangat 
jelas, bahwa ketika Allah menggunakan kata ÁÃersama¡¦ maka Dia sedang 
menunjukkan kedekatan yang lebih dekat dibandingkan dengan 'meliputi'.
   
  3. Dekat.
              Tingkat yang berikutnya lagi adalah ÁÅekat¡¦alias Qarib. Ini 
adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan kedekatan secara lebih 
emosional. Di banyak ayat Allah menggambarkan kedekatanNya dengan kata qarib. 
Di antaranya adalah berikut ini.
   
  QS. Al Baqarah (2) : 186
  Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), 
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa 
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala 
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada 
dalam kebenaran
   
  QS. Al A'raaf (7) : 56
  Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) 
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) 
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada 
orang-orang yang berbuat baik
   
  QS. Qaaf (50) : 16
  Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang 
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya
   
  QS. Huud (11) : 61
  Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai 
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia 
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, 
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya 
Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
   
  Ayat-ayat di atas memberikan penegasan kepada kita bahwa Allah menggunakan 
kata 'qariib' untuk menggambarkan kedekatan secara emosional (ingat istilah 
'sahabat karib'). Misalnya: bertobatlah kepada Nya. Sesungguhya tuhanku amat 
dekat, lagi memperkenankan do'a.
   
  Demikian pula pada ayat-ayat sebelumnya. Dia menggunakan kata qariib untuk 
memancing kita lebih dekat lagi secara emosional. Bahwa Allah sangat menyayangi 
kita. Bahwa Allah sangat pemurah dan pemaaf. Bahwa Allah pasti memperkenankan 
do'a kita. Sehingga, ketika seseorang telah dikatakan dekat dengan Allah, dia 
adalah orang yang beruntung, karena rahmat dan kasih sayangNya selalu 
menaunginya di dunia dan akhirat..
   
  QS. Ali Imran (3) : 45
  Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah 
menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan 
kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang 
terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan 
(kepada Allah),
   
  QS. Al WaqiÃÂh (56) : 11
  Mereka itulah orang yang didekatkan kepada Allah
   
  QS. Al Muthaffifin (83) : 21
  Yang disaksikan, oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah).
   
  QS. Al Muthaffiffin (83): 28
  (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada 
Allah.
   
  4. Di sisiNya
  Istilah lain untuk menggambarkan kedekatan makhluk dengan Allah adalah 
'indallah' alias di sisi Allah. Kata indallah yang dikaitkan dengan kedekatan 
seorang hamba kepada Tuhannya, biasanya menggambarkan posisi yang tinggi. 
Diantaranya adalah ayat-ayat berikut ini.
   
  QS. Ali Imran (3) : 169
  Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati 
bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki
   
  Di antara hamba-hamba yang didekatkan di sisi Allah itu adalah para pejuang 
yang mati syahid. Yang mengorbankan hidupnya untuk mengabdi di jalan Allah. 
Melakukan syi'ar agama untuk kemajuan umat.
   
  Ada beberapa tingkat kualitas seiring dengan kualitas pengabdian dan 
amalannya. Sehingga Allah mengatakan bahwa kedudukan mereka itu 
bertingkat-tingkat di sisi Allah. Allah mengampuni dosa dan kesalahan mereka. 
Dan mereka memperoleh balasan yang baik di sisiNya. Bahkan di bagian terakhir 
dari urutan ayat di bawah ini, saya kutipkan firman Allah yang menegaskan bahwa 
itulah orang-orang yang imannya benar. Karena itu, mereka memperoleh ampunan 
dan rezeki dari Allah. Mereka diberi derajat yang tinggi di sisiNya.
   
  QS. Ali Imran (3) : 163
  (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha 
Melihat apa yang mereka kerjakan.
   
  QS. Shaad (38) : 25
  Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai 
kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.
   
  QS. Shaad (38) : 40
  Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat 
kembali yang baik.
   
  QS. Al Anfal (8) : 4
  Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan 
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki 
(ni'mat) yang mulia.
   
  5. Berserah Diri
  Dan, tingkat kedekatan yang paling tinggi adalah 'berserah diri' kepada 
Allah. Muslimuun. Inilah suatu tingkatan, dimana ego soseorang sudah sedemikian 
rendahnya. Dan, yang muncul hanya Ego Allah saja.
   
  Dirinya telah lebur ke dalam Diri Allah. Sifat-sifatnya juga lebur ke dalam 
Sifat-Sifat Allah. Kehendaknya telah luluh ke dalam Kehendak Allah. Itulah yang 
di dalam hadits Qudsi dikatakan bahwa orang-orang demikian itu 'melihat dengan 
penglihatan Allah, mendengar dengan pendengaran Allah, dan seluruh langkah 
perbuatannya dilambari oleh ilmu-ilmu Allah.'
   
  Di dalam Al QurÃÂn salah satu hamba yang diceritakan memiliki tingkat 
kedekatan seperti itu adalah nabi Khidir. Sehingga ia digambarkan sebagai nabi 
yang misterius, dan sulit dipahami jalan pikiran dan perbuatannya. Jangankan 
oleh manusia pada umumnya, setingkat nabi Musa pun sulit mengikuti jalan 
pikiran nabi Khidir. Hal itu diceritakan Allah dalam QS. Al Kahfi ayat 60 - 82.
   
  QS. Al Kahfi (18) : 65
   
  Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang 
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan 
kepadanya ilmu dari sisi Kami
   
  Cerita itu sangat panjang, silakan dibaca sendiri dari Al QurÃÂn. Tapi 
sebagai gambaran umum, Allah menyuruh nabi Musa untuk berguru kepada nabi 
Khidir, seorang nabi yang tidak terkenal dan misterius di pinggiran pantai, 
pertemuan dua lautan. 
   
  Ketika mengikuti perjalanan nabi Khidir itulah, nabi Musa sempat beberapa 
kali dibuat heran dan marah, karena nabi Khidir melakukan hal-hal yang tidak 
masuk akalnya.
   
  Yang pertama, Khidir merusak perahu nelayan miskin. Yang kedua, dia membunuh 
seorang anak kecil. Dan yang ketiga, dia mengajak Musa untuk membangun sebuah 
rumah tua yang sudah roboh, tanpa upah.
   
  Maka, kata Khidhr, Inilah saat kita berpisah, karena engkau tidak sabar 
mengikutiku, sekarang aku tunjukkan alasan seluruh perbuatanku itu. Kemudian, 
Khidir membeberkan semuanya. Bahwa, semua perbuatannya itu bukan karena hawa 
nafsunya, melainkan untuk kepentingan yang lebih besar, yang tidak diketahui 
oleh Musa.
   
  Bahwa merusakkan perahu itu, justru untuk menyelamatkan perahu milik nelayan 
tersebut agar tidak dirampas oleh seorang raja lalim. Membunuh anak kecil, 
dimaksudkan untuk menyelamatkan anak itu sendiri dari dosa dan juga orang 
tuanya yang saleh. Karena anak itu akan menjadi anak yang jahat.
   
  Sedangkan, membangun rumah yang roboh dimaksudkan untuk menyiapkan harta 
peninggalan bagi anak-anak yatim yang tinggal di rumah tersebut. Hartanya 
ditinggalkan di bawah rumah oleh orang tuanya yang telah meninggal dunia.
   
  Dan yang menarik, di akhir cerita itu, Khidir mengungkapkan bahwa semua itu 
bukanlah atas kehendaknya, melainkan Kehendak Allah. Sebagaimana diinformasikan 
Allah dalam potongan ayat-ayat berikut ini.
   
  QS. Al Kahfi (18) : 82
  Åådan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri¡¦
   
  Ini sungguh merupakan tingkat kedekatan yang tiada taranya. Bahwa nabi Khidir 
telah bisa menyatukan kehendaknya dengan Kehendak yang Maha Tinggi, Kehendak 
Allah, Sang Maha Tahu..
   
  Namun, kedekatan semacam ini tidak bisa ditiru begitu saja oleh orang lain. 
Tidak bisa, kita melakukan kesewenang-wenangan, kemudian mengatakan bahwa semua 
itu atas kehendak Allah, seperti nabi Khidir! Bisa sangat berbahaya. Seperti 
sebagian murid-murid Siti Jenar yang dikabarkan berbuat semaunya, dengan alasan 
telah bersatu dengan Allah. Manunggaling kawula kelawan Gusti. 
   
  Untuk mencapai tataran itu ada suatu proses panjang yang mesti dijalani. 
Menghilangkan ego diri sendiri dan memunculkan Ego Allah. 
   
   
  BAGAIMANA CARA MENDEKATINYA
   
  Jadi bagaimanakah kita harus mendekatkan diri kepada Allah?
  Ternyata, kuncinya sederhana saja: luruskan 'wajah' kita hanya kepada Allah. 
Jangan 'tolah-toleh' kemana-mana.
   
  Bagaimana riilnya?Juga sederhana: ikuti dan pahami tatacara ibadah yang 
diajarkan Rasulullah saw. Jangan terjebak hanya pada kulitnya saja. Jangan 
terjebak pada 'upacara kosong' belaka. Karena proses kedekatan itu bakal muncul 
dalam Jiwa kita, seiring dengan 'kedalaman makna' ibadah yang sedang kita 
jalani.
   
  Semakin paham kita tentang apa yang kita jalani, semakin nyambung hati kita 
dengan Allah. Dan kemudian tertulari oleh Sifat-Sifat UniversalNya. Maka 
semakin dekatlah kita kepada Allah. Sifat-Sifat itu, lantas akan terpancar 
dalam keseharian kita.
   
  Sebaliknya, ketika kita tidak paham makna ibadah, kita bakal menjauh dariNya, 
karena hati tidak pernah nyambung denganNya. Dan karenanya, Sifat-Sifat Allah 
juga tidak muncul dalam keseharian kita. Yang muncul egoisme. 
  Maka dalam praktek kehidupan kita, makna jauh' dan 'dekat' kepada Allah 
tergambar dari pancaran Sifat-Sifat ketuhanan dalam diri kita. 
   
  Kalau Allah Maha Adil, dan kemudian kita bergerak ke arah ketidakadilan, maka 
jelas-jelas kita sedang menjauhi Allah. Kalau Allah tidak pernah berbohong, dan 
kemudian kita suka berbohong, itu pun sangat jelas kita sedang bergerak 
menjauhi Allah.
   
  Kalau Allah menebarkan rahmat kepada seluruh alam, dan lantas kita melakukan 
berbagai perusakan terhadap alam sekitar kita, maka itu pun sangatlah gamblang, 
kita sedang menjauhi arah.
   
  Pokoknya, ketika Allah menunjukkan Kasih SayangNya yang bersifat universal, 
tapi kita menunjukkan ego yang bersifat individual, maka kita sedang bergerak 
menjauhi Allah.
   
  Kalau ingin mendekatkan diri kepada Allah, kuncinya cuma satu: terapkanlah 
Sifat-Sifat Universal Allah dalam kehidupan kita sebagai refleksi ibadah kita. 
Maka bisa dipastikan, kita sedang bergerak menuju kepada Allah. Jiwa kita 
sedang berproses menuju Sifat-Sifat Allah yang universal.
   
  Keadilan, kejujuran, kebijaksanaan, pemaaf, dermawan, lemah lembut, sopan 
santun, rasa belas kasihan, semangat keilmuan, kecerdasan, dan berbargai sifat 
positif berkualitas tinggi lainnya, adalah sebagian dari Sifat-Sifat Universal 
ketuhanan.
   
  Maka, orang yang memiliki sifat-sifat demikian itu pada hakekatnya telah 
menyatukan sifat-sifatnya dengan Sifat-Sifat Ketuhanan. Semakin universal 
perilakunya, semakin menyatulah dia dengan Perilaku-Nya.
   
  Jadi, pemahamannya menjadi sangat sederhana. Bahwa orang-orang yang 
menjalankan perilaku egoistik dalam hidupnya, sebenarnya dia sedang bergerak 
menjauh dari 'kualitas Ketuhanan'. Sebaliknya, orang yang menjalani perilaku 
universal, dia sedang mendekatkan diri kepada 'kualitas ketuhanan'. Dan ketika 
sudah demikian universalnya, maka dia telah 'menyatu' dengan 'Kualitas 
Ketuhanan' itu sendiri.
   
  Al QurÃÂn mengajarkan tiga kualitas kepribadian seorang manusia. Yang paling 
rendah adalah bersifat egois  individualis. Yang lebih tinggi, bersifat 
sosialis. Dan yang paling tinggi adalah spiritualis.
   
  Ketiga sifat itu bertingkat-tingkat kualitasnya menjadi semakin universal. 
Kenapa sifat-sifat sombong, serakah, menang sendiri, pemarah, pembohong, 
menipu, pendendam dan sebagainya dilarang oleh Allah? Karena semua sifat itu 
bertumpu kepada sifat egois. Mementingkan diri sendiri.
   
  Oleh Allah, kita diperintahkan untuk menggesernya menjadi sifat-sifat yang 
lebih sosial. Kita disuruh banyak berbuat kebajikan kepada orang lain. Menolong 
dengan harta benda kita, dengan ilmu, dengan kekuasaan, dan dengan apa pun yang 
kita miliki sebagai kelebihan. Inilah hakikat dari konsep hablum minannas.
   
  Jika semua itu kita jalankan dengan penuh keikhlasan, barulah kita beranjak 
menuju tingkatan paling tinggi, yaitu spiritualis. Tingkatan yang mengamalkan 
Sifat-Sifat Ketuhanan tanpa pamrih. Kecuali hanya karena Allah semata. 
Lillahita'ala!
   
  Inilah hakekat hablum minallah. Hubungan dengan Allah itu baru bisa berjalan 
sempurna kalau kita sudah melatih dan melewati interaksi kemanusiaan secara 
baik pula. Hablum minannas menjadi landasan bagi hablum minallah!
   
  Semua itu bisa kita lakukan, hanya kalau kita berserah diri kepada Allah. 
Tidak ada tujuan lain dalam kehidupan kita. Laa ilaaha illallah...
   
  Dirinya lenyap. Yang ada hanya Allah. Inilah yang dikatakan oleh Allah dalam 
Al QurÃÂn ketika menolong orang-orang mukmin dalam sebuah peperangan yang 
sangat menentukan.
   
  QS. Al Anfaal (8) : 17
  Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah 
yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi 
Allah-lah yang melempar. Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang 
mukmin, dengan kemenangan yang baik sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha 
Mengetahui.
   
  Atau, dalam sebuah hadits Qudsi sebagaimana kita bahas sebelumnya:
  ÅÅia melihat dengan penglihatan Allah, dia mendengar dengan pendengaran 
Allah, dan dia berbuat dengan bimbingan ilmu-ilmu Allah.¡¦   
  Memang, badannya masih ada. Karena ia adalah seorang manusia dengan segala 
keterbatasannya. Tapi, egonya telah lenyap, melebur ke dalam Ego Allah. Dia 
itulah orang yang paling pantas disebut sebagai khalifatu fil Ardhi - wakil 
Allah di muka bumi. Keberadaannya selalu mencerminkan keberadaan Allah. Ia 
menjadi pantulan Sifat-Sifat ketuhanan bagi kemaslahatan makhlukNya tanpa 
pandang bulu.
   
  Rahmatan lil 'alamin...
   
  Kalau dia hadir, siapa saja yang berada di dekatnya akan merasakan 
ketentraman dan kedamaian. Bukan malah memperoleh berbagai macam masalah. 
Begitulah memang Sifat Allah, barangsiapa 'ingat' dan 'dekat' denganNya, maka 
ia akan merasakan ketentraman dan kedamaian.
   
  QS. Ar Ra'd (13) : 28
  (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan 
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi 
tenteram.
   
  Kita jadi teringat kepada rasulullah saw. Seorang teladan yang luar biasa. 
Keberadaannya selalu memberikan rahmat pada sekitarnya. Kecuali, orang-orang 
yang memang tidak mau menerimanya. Hati yang tertutup terhadap rahmat.
   
  Sejak kecil sampai wafatnya, beliau mengalami proses penyempurnaan menuju 
Sifat-Sifat Universal Ketuhanan. Dikenal sebagai orang yang jujur, adil, 
amanah, sulit marah, penuh belas kasihan dan sangat pemaaf.
   
  Bahkan sampai kepada 'musuh-musuhnya' pun beliau tidak pernah menganggap 
musuh. Melainkan sebagai orang-orang yang patut dikasihani, karena tidak 
mengikuti ajaran islam yang dibawanya. Mereka pasti akan mendapat bencana 
karenanya.
   
  Tidak ada dendam dan kebencian yang beliau tebarkan. Yang ada hanya kasih 
sayang, Rahmat. Karena itu, ketika beliau ditodong pedang mau dibunuh oleh 
orang kafir, beliau hanya tersenyum.
   
  Á´iapa yang bakal menolongmu dari pedangku ini Muhammad? Kata orang kafir 
itu. Rasulullah hanya mengatakan: Allah! Dan pedang itu pun terjatuh.
   
  Beliau memungut pedang, dan ganti menodongkan kepada orang kafir tersebut, 
sambil berkata: ÁÔiapa yang bisa menolong kamu dari Pedang ini?¡¦Sambil gemetar 
orang itu menjawab: ÁÕidak ada, ya Muhammad¡¦ Kecuali engkau mau memaafkanku
  Maka, rasulullah mengembalikan pedang itu kepadanya, dan menyuruhnya kembali 
kepada kaumnya. Diceritakan kemudian, akhirnya orang itu masuk Islam. Bukan 
karena takut kepada Rasulullah, melainkan terkagum-kagum pada keagungan sifat 
beliau. Rasulullah bukan menebar dendam, melainkan menebar kasih sayang dan 
kedamaian.
   
  Beliau orang yang sangat sulit marah. Bahkan di kali yang lain, beliau 
dilempari batu sampai mukanya berdarah-darah. Bukannya marah dan sakit hati, 
tapi malah doa tulus yang keluar dari mulut beliau.
  'Ya, Allah jangan Engkau azab mereka, karena sesungguhnya mereka belum 
mengerti tentang Risalah yang aku bawa ini Bukalah hati mereka untuk menerima 
agama ini...'
   
  Begitu agungnya! Karena itu, digambarkan bahwa akhlak beliau adalah akhlak 
Qur'an. Sedangkan Qur'an adalah Firman Allah. Jadi, akhlak dan amal perbuatan 
rasulullah itu sebenarnya adalah manifestasi dari FirmanNya. Seorang manusia 
biasa, tapi mencerminkan dan memantul-mantulkan Sifat-Sifat Allah bagi 
sekitarnya. Rahmatan lil 'alamln...
   
  Di akhir hayatnya, yang meluncur dari mulut beliau adalah: ummati... 
ummati... ! Sebuah kegelisahan kalau umatnya tersesat. Tidak mengikuti jalan 
Allah, terjebak pada kehidupan duniawi yang semu. Ego beliau telah lenyap, 
lebur ke dalam Sifat-Sifat Allah yang Universal. Maha Mengasihi dan Maha 
Menyayangi...
   
  Secara teknis operasional, sifat-sifat yang demikian itu bisa diperoleh dan 
dilatih dengan teknik-teknik peribadatan yang diajarkan beliau. Mulai dari 
Dzikir, shalat puasa, berzakat, sampai pada ibadah haji. Seluruh ibadah yang 
beliau ajarkan itu adalah mekanisme untuk memperoleh kualitas jiwa tersebut. 
Tapi tentu saja bukan sekadar tatacaranya, karena beliau juga mengajarkan: 
innamal aÃÎalu binniyat. Semua peribadatan itu akan menghasilkan kualitas 
pribadi yang maksimal jika dilakukan dengan niat yang benar. Bukan sekadar 
seremonial belaka. Nabi memperingatkan, betapa banyak orang beribadah tetapi 
tidak memahami maknanya. Sehingga mereka tidak mencapai tujuan yang dimaksud, 
kecuali Cuma 'upacara kosong' belaka.
   
  Shalat dan Dzikir memiliki makna untuk selalu ingat dan mendekatkan diri 
kepada Allah Setiap saat, Shalat 5 waktu itu lebih bersifat mendisiplinkan 
saja. Intinya kita diajari untuk selalu ingat bahwa Allah besama kita terus, 
sehingga kita diajari untuk terus berdzikir di luar shalat 5 waktu.
   
  Karena itu, orang yang mampu selalu berdzikir kepada Allah, dia akan 
terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Itulah yang dijanjikan Allah kepada 
orang-orang yang menegakkan makna shalat di dalam hidupnya.
   
  Puasa juga adalah tatacara untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada 
Allah. Dengan puasa kita dilatih untuk mengontrol ego kita. Bahkan merendahkan 
ego, untuk mengakui Ego Allah saja.
   
  Sayangnya, banyak orang mengira bahwa dengan tidak makan dan tidak minum, 
serta yang membatalkan puasa saja, mereka akan bisa mendekatkan diri kepadaNya. 
Tidak, kata Rasulullah. Banyak orang berpuasa, ternyata tidak memperoleh makna 
puasa, kecuali cuma lapar dan dahaga.
   
  Begitu pula zakat dan haji. Zakat adalah latihan untuk tidak bersifat 
posessive secara berlebihan kepada harta benda. Ini adalah bagian dari latihan 
untuk menjauhkan kita dari dunia dan mendekatkan diri kepada Allah.
   
  Bukan berarti kita tidak boleh menikmati dunia, melainkan menghilangkan rasa 
'memiliki'. Sebab semua ini adalah milik Allah. Dialah yang memberi dan 
mencabut rezeki dari hamba-hambaNya, kapan pun Dia menghendaki.
   
  Sedangkan haji, adalah sebuah prosesi unik, dimana kita diperintahkan Allah 
untuk meneladani dan napak tilas perjalanan hidup nabi Ibrahim. Seorang nabi 
yang berderajat sangat tinggi, sehingga memperoleh gelar Kholilullah: nabi 
Kesayangan Allah.
   
  Jadi, ringkas kata, cara pendekatan kita kepada Allah sebenarnya sangatlah 
sederhana. Ikutilah cara Rasulullah saw dengan berbagai teknik ibadah yang 
beliau ajarkan. Dijamin ego kita akan semakin rendah dan semakin rendah. 
Akhirnya bisa berserah diri hanya kepada Allah. Asalkan  ini yang penting 
niatnya benar. Kepahamannya benar, Lurus hanya karena Allah semata : lillahi 
ta'ala...
   





===================================================================
        Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
=================================================================== 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke