Kompas, Selasa, 15 Maret 2005

Di Berbagai Negara
Kampanye Kredit Mikro Terus Menggelinding

MASALAH ketimpangan dan kemiskinan adalah isu klasik yang ada sepanjang zaman. Namun, isu itu tampaknya hanya menarik untuk dijadikan sebagai bahan kampanye menjelang pemilu presiden, pemilu calon anggota parlemen, atau saat terjadi pertarungan untuk menduduki jabatan gubernur, bupati, atau jabatan di pemerintahan. Habis itu, masalah ketimpangan dan kemiskinan lenyap ditelan sang bayu.

PADAHAL, jika disadari betul, banyak pertikaian yang bersumber dari kemiskinan, karena kemiskinan telah berperan menyulut berbagai aksi kriminal. Ekonom Inggris, Paul Ormerod, berdasarkan penelitiannya di kota London memperlihatkan dengan jelas bahwa tindak kriminal berakar dari, salah satunya, kemiskinan.

Di tingkat dunia, kini muncul militansi, ekstremis, gerakan antiglobalisasi, perasaan terabaikan, yang juga dipicu oleh ketimpangan dan kemiskinan. Karena itu, berulang kali Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan menekankan agar masalah terorisme harus diatasi lewat sebuah pendekatan jangka panjang, yakni dengan mengatasi kemiskinan.

Alasannya, kemiskinan merupakan sebuah faktor yang menyebabkan suburnya atau mudahnya perekrutan calon teroris. Karena itu Sekjen PBB mencoba mengampanyekan Millennium Development Goals (MDGs), atau Tujuan-tujuan Pembangunan Abad Milenium. Berdasarkan data PBB, sekarang ini, lebih dari 1 miliar penduduk dunia kini hidup dengan biaya kurang dari 1 dollar AS per hari.

Benua Asia juga harus tertarik dengan isu itu. Bukan apa-apa, sekarang aksi penggalangan dana semakin mendapatkan dukungan di dunia, yang hasilnya akan dialokasikan pada pembiayaan proyek-proyek yang bertujuan mengurangi kemiskinan. Indonesia juga seharusnya bersemangat dengan isu tersebut karena negara ini juga menjadi salah satu wilayah yang dihuni kaum papa.

WALAU masih kalah dengan isu terorisme yang sangat gencar dikampanyekan oleh Presiden AS George Walker Bush, isu kemiskinan semakin mendapatkan tempat. Inggris, yang pada tahun ini berperan sebagai ketua G8 (kelompok negara-negara maju ditambah Rusia), menjanjikan pertemuan G8 akan menjadi ajang bagi kampanye pemberantasan kemiskinan.

Pada pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) Januari 2005 di Davos, Swiss, topiknya bukan lagi semata-mata soal perluasan pasar perdagangan global. Isu yang paling menonjol pada forum itu adalah memberantas akar-akar kemiskinan di dunia.

Kehadiran Bill Clinton, Bono dari kelompok rock Inggris, dan Bill Gates dari Microsoft semakin membuat topik pemberantasan kemiskinan menjadi bergengsi di forum itu, yang selama ini dituduh menjadi ajang perkumpulan bagi para kapitalis pengisap darah manusia.

Yang juga menarik dari kampanye itu adalah keinginan untuk melahirkan program yang mengena di lapangan, yakni bagaimana mengatasi kemiskinan. Salah satu programnya adalah dengan memberi kaum miskin akses yang lebih luas kepada kredit. Program itu diajukan karena selama ini kelompok masyarakat miskin mendapatkan halangan untuk mengakses sistem perbankan atau lembaga keuangan lainnya.

Padahal, di sisi lain setumpuk bahan menunjukkan bahwa kemudahan akses bagi kaum miskin untuk mendapatkan kredit telah berperan secara signifikan untuk memberdayakan warga yang dulunya miskin. Badan-badan PBB, seperti Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Program Pembangunan PBB (UNDP), dan Bank Dunia, banyak sekali menampilkan hasil riset tentang itu.

Akses terhadap kredit bagi masyarakat yang tak mampu, kemudian disimpulkan sebagai salah satu sarana pemberantas kemiskinan. Hal itu ditekankan setelah contoh-contoh di India dan Banglades menunjukkan bahwa kredit mikro sangat berperan mengatasi salah satu akar kemiskinan. Tidak banyak perdebatan tentang hasil-hasil riset itu.

Apa definisi kredit mikro? Menurut Microcredit Summit 1997, kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri untuk menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan terhadap keluarganya (programmes extend small loans to very poor people for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families).

LALU yang muncul kemudian adalah bagaimana memperbesar akses ke perkreditan mikro itu. Bicara soal yang satu ini, PBB juga memperlihatkan bahwa masih sedikit lembaga formal dan modern yang bersedia terjun ke kredit mikro itu. Padahal berbagai penelitian, yang juga didukung PBB dan lembaga swasta lainnya, memperlihatkan bahwa tingkat kemacetan kredit mikro jauh lebih sedikit ketimbang kredit komersial berskala menengah dan besar.

Namun persoalannya, bagaimana membuat lembaga-lembaga keuangan menjadi lebih bersemangat dan mau pro-aktif menekuni bidang-bidang kredit mikro itu. Untuk itu, lagi-lagi Sekjen PBB paling bersemangat untuk merealisasikan hal itu. Karena itu, sejak tahun 1997 kampanye kredit mikro terus menerus dilakukan. Isunya kurang mendapatkan perhatian besar dari media di dunia ketimbang isu perang, krisis ekonomi, atau terorisme global. Akan tetapi, kampanye soal kredit mikro terus berlangsung seakan tanpa henti-hentinya.

Sebagai wujud nyata dari kampanye itu, tahun 2005 telah dicanangkan sebagai tahun kredit mikro. Tidak tanggung-tanggung, figur-figur yang turut berperan melakukan kampanye kredit mikro juga banyak, seperti Stanley Fischer, yang pernah bekerja di Dana Moneter Internasional (IMF) dan kini bekerja di Citigroup, Ratu Noor dari Jordania, dan banyak lagi yang lainnya.

Program nyata dari tahun kredit mikro itu adalah bagaimana membuat setidaknya 100 juta penduduk dunia bisa memiliki akses besar ke sektor kredit.

Lalu pada tahun 2005 juga akan diselenggarakan pertemuan puncak soal kredit mikro itu di Santiago, Chile, 19-22 April 2005. Dan seperti gayung bersambut, dalam beberapa tahun terakhir ini, muncul gerakan atau trend yang semakin memperbesar akses kredit ke sektor mikro.

Bahkan bank-bank besar juga membentuk unit-unit yang mengkhususkan diri untuk kredit mikro. Hal itu, misalnya, telah dilakukan Deutsche Bank, Standard Shartered Bank, dan Citibank. Itu adalah keadaan yang menggembirakan.

SELAMA ini, mendapatkan kredit dari bank-bank yang mengkhususkan diri pada korporasi besar seperti si cebol merindukan bulan rasanya. Namun, kini bank-bank besar sekalipun menaruh perhatian pada kredit mikro.

Dipo Alam, yang kini banyak bergelut pada masalah kredit mikro, juga termasuk figur yang lebih mendukung pemberantasan kemiskinan lewat program kredit mikro. Dipo, dengan pengalamannya pernah belajar di Amerika Serikat, pada sebuah seminar di Hotel Sahid Jakarta, mengatakan sebuah contoh bahwa memberi begitu saja dana bagi kaum papa, justru bukan obat mujarab untuk mengatasi kemiskinan. Dia memberi contoh, betapa bantuan sosial pada kaum papa Amerika Serikat, justru dipakai membeli narkoba (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).

Dipo Alam mengatakan, pembiayaan lewat program kredit mikro lebih menjamin kesinambungan. Selain mengandung aspek pendidikan, hal itu juga lebih bisa memberi efek pada kesinambungan program kredit mikro, yang disebut sebagai pola kredit bergulir.

Lalu siapa yang harus melakukan pembiayaan mikro itu. Dari berbagai negara, tidak pernah ada pembatasan tentang siapa yang harus terjun di bidang itu. Itu adalah sebuah bisnis yang layak saja dimasuki oleh siapa pun.

Sayangnya, di Indonesia muncul masalah yang ditiupkan oleh sekelompok, yang menentang peran bank-bank komersial untuk terjun ke kredit mikro. Ini isu apa?

Jangan lupa, di Indonesia ini masih banyak warga miskin yang belum terjangkau. Data pemerintah menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin sekitar 30 juta jiwa. Adakah yang percaya dengan data itu. Jika itu benar, maka 190 juta jiwa penduduk miskin Indonesia tidak miskin. Percayakah kita akan hal itu.

Tampaknya yang paling tepat adalah kekayaan ekonomi Indonesia hanya dinikmati segelintir orang. Jika memang ada 170 juta jiwa penduduk yang tidak miskin, tentunya yang berkembang bukan hanya Jakarta, melainkan juga daerah-daerah lain. Beranikah kita mengatakan bahwa pembangunan sudah merata di seluruh Tanah Air. Sebaiknya kita tidak berilusi soal itu.

Karena itu, upaya yang lebih bagus untuk difokuskan adalah mempertegas dan memperbesar akses ke kredit mikro. Sebaiknya kita juga mengabaikan isu tentang siapa seharusnya yang berhak menyalurkan kredit mikro.

Persoalannya adalah bagaimana memberi akses lebih besar ke kredit mikro, yang tidak mungkin bisa dilayani oleh lembaga keuangan tertentu atau bank-bank komersial.

PERHATIAN pada kelompok miskin diberikan agar bisa mengalahkan ego sektoral dari kelompok tertentu yang menentang peran bank-bank besar untuk terjun ke kredit mikro. Jangan jadikan isu itu menjadi satu faktor yang harus ditakuti.

Untuk mempertajam program kredit mikro, tampaknya Pemerintah RI mulai memberi semangat pada kredit mikro. Di dalam forum-forum internasional, Indonesia juga sebaiknya berperan besar, setidaknya untuk mendapatkan pengetahuan karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk miskin.

SEBANYAK 2.000 delegasi lebih dari 100 negara berkumpul pada Microcredit Summit ke-5 di New York City pada 10-13 November 2002. Di sana dimunculkan makalah berjudul Policies, Regulations and Systems that Promote Sustainable Financial Services to the Poor and Poorest yang ditulis oleh Women’s World Banking.

Dikatakan, warga miskin, terutama wanita, telah mendemonstrasikan bahwa mereka adalah kreditor yang bagus, ketika diberi hak untuk mendapatkan pinjaman yang efisien dan pinjaman komersial yang menuntut tanggung jawab. Ternyata jika warga miskin diberi pinjaman komersial, mereka bisa menyesuaikan diri dan tampil sebagai orang bertanggung jawab.

Spektrum dari lembaga keuangan yang beroperasi di sektor kredit mikro juga meningkat dan semakin meluas jenisnya. Hal itu terjadi karena makin banyaknya minat bank komersial swasta, asuransi, dan lembaga keuangan untuk menggeluti bisnis kredit mikro.

Agar tetapi tetap dengan mengutamakan asas kehati-hatian. Hal itu bertujuan untuk membuat kelangsungan kelembagaan yang menggeluti kredit mikro bisa terus berlanjut. Di sisi lain, hal itu penting untuk melindungi penabung, yang dananya dialokasikan oleh bank ke kredit mikro. kelangsungan pembiayaan kredit mikro terus menggelinding, disarankan beberapa hal. Di antaranya adalah menyemangati lembaga keuangan dari berbagai jenis untuk memasuki dan mengembangkan atau menggeluti kredit mikro.

Bahkan juga disarankan agar peraturan perbankan bagi lembaga yang menggeluti kredit mikro dibuat lebih fleksibel

JUGA disarankan agar tidak ada batas-batasan tertinggi soal suku bunga pinjaman yang dialokasikan kepada warga miskin. Juga dikatakan bahwa sumber pendanaan yang dialokasikan ke kredit mikro berasal dari simpanan nasabah, bukan berasal dari dana konsesi (dana yang dialokasikan khusus oleh lembaga tertentu).

Pada Microcredit Summit ke-5, para pemimpin dunia didatangkan untuk mengadopsi kredit mikro sebagai kunci untuk memberantas kemiskinan. Mereka yang hadir saat itu, antara lain Presiden Meksiko Vicente Fox, Presiden Gambia Dr Alhaji Yahya AJJ Jammeh, Ibu Negara Pakistan Begum Sehba Musharraf, Ibu Negara Meksiko Marta Sahagun de Fox, Menteri Keuangan AS (saat itu) Paul O’Neill, Senator AS dari New York Hillary Rodham Clinton, dan ribuan pelaku kredit mikro dan pendukungnya. (Simon Saragih dari berbagai sumber)

 


Do you Yahoo!?
Yahoo! Small Business - Try our new resources site!
Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
Children International
Would you give Hope to a Child in need?
 
· Click Here to meet a Girl
And Give Her Hope
· Click Here to meet a Boy
And Change His Life
Learn More


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke