Sumber : BMI Dharma Mangala edisi 9 Maret
2005, tahun II, no 19
Petunjuk berlangganan : Kirim email kosong
ke :
[EMAIL PROTECTED] ============
Menjadi tuhan sendiri?
Saat
aku sedang berjalan-jalan, dari jauh nampak Cuplis sedang
bersepeda dan kebut-kebutan dengan teman-temannya. Karena ngebut dan bercanda, akhirnya Cuplis menabrak anak kecil yang sedang berjalan kaki di pinggir jalan. Kasihan tuh anak, ia menangis. Maklum selain kaget, dia juga merasa sakit ditubuhnya. Lecet-lecet ditubuhnya membuat anak itu menangis semakin keras. Memang, sejak dulu si Cuplis ini memang tak bisa dinasehati. Nah, mumpung sekarang ia berbuat kesalahan, bikin karma buruk, kupikir inilah saat yang tepat untuk menjalankan dan menegakkan keadilan! Maka dengan berlari kudatangi Cuplis. “Tak! Tak! Tak!” Kujitak kepalanya. Cuplis kaget dan terpana melihatku menjitak kepalanya. Dengan santai aku berkata dengan senang,”Hukuman ini sesuai dengan karmamu menabrak orang yang nggak bersalah! Jadi terimalah dengan ikhlas. He… he… he…”. Yah, aku hanya menegakkan keadilan dan menjalankan kebenaran aja….. oo000oo
Menegakkan keadilan dan menjalankan kebenaran memang
patut dipuji. Tapi menjadi Hakim atau Tuhan untuk menghukum –orang yg jelas-jelas bersalah sekalipun— bukanlah hak semua orang. Kalau ‘Tuhan’ atau Hukum karma bekerja, itu sudah kodratnya, haknya. Kalau Hakim di pengadilan negara menghakimi atau menghukum terdakwa bila sudah terbukti bersalah, itu sudah kesepakatan bersama di masyarakat. Banyak orang sekarang yang merasa dirinya berhak menghakimi orang lain. Merasa dirinya superior, apalagi kalau orang itu merupakan seorang pemimpin yang disegani atau orang yang lebih kuat, lebih dewasa atau memiliki kekuasaan tertentu. Ada aturan yang mengingatkan kita akan hal tersebut, yaitu: No. 1 : Atasan tidak pernah salah No 2 : TANPA SADAR merasa diri adalah wakil 'Tuhan' (bagi yang Teis) atau Penegak Hukum Karma (bagi yang Non Teis.) Jadi terkadang seseorang yang dirinya lebih berkuasa (superior), merasa dirinya berhak menghakimi orang lain dengan semena-mena tanpa merasa bersalah. Untuk kasus-kasus seperti di atas, ada baiknya kita mengingatkan orang yang salah, tapi untuk menghakimi dan menghukumnya, itu bukanlah hak kita. Apalagi menghakimi orang lain dengan alasan hukum karma, itu hanya wewenang ‘Tuhan’ atau hukum karma sendiri. Tidak ada yang mengangkat atau melantik siapapun untuk menjadi wakilNya. Adil dan benar menurut pandangan kita, belum tentu adil dan benar bagi orang lain atau ‘Tuhan’ serta Hukum Karma. Kita mesti lebih berhati-hati dan bisa memilah-milah antara tujuan menegakkan keadilan dengan tujuan melampiaskan emosi dan kebencian kita. Menegakkan keadilan bisa digunakan sebagai pembenaran diri untuk melampiaskan kebencian, dendam ataupun mengambil keuntungan diri atau kelompok sendiri. Kalau ini alasan yg sesungguhnya, maka kita bukan sedang menjadi ‘Tuhan’ atau Hakim, tapi justru sedang menjadi pembuat karma buruk. Menjadi Hakim yang baik itu sangat susah. Mesti menyelidiki dan mengecek dari berbagai sudut. Tapi menjadi Hakim yang jelek itu gampang. Bagi Hakim yang jelek, asal menguntungkan diri atau kelompok sendiri, memuaskan emosi sendiri, maka itulah yang baginya adil dan benar. Siapa yang mau menjadi tuhan? Gunavijayo_260198 ==============
ANCIENT WORDS
Rubrik ini memuat kutipan teks-teks Dhamma, baik yang
bersumber dari Buddha Shakyamuni sendiri, maupun dari para Guru Besar Buddhisme lainnya, khususnya dari India, China, dan Tibet Bayangkan sebuah kolam air yang keruh, teraduk, dan berlumpur. Kemudian, seorang yang mempunyai penglihatan baik berdiri di tepinya. Ia tidak dapat melihat tiram, kerang, batu dan kerikil di dasar kolam ataupun ikan-ikan yang berenang di dalam air tersebut. Dan mengapa? Karena keadaan air yang keruh. Demikian pula, adalah tidak mungkin bagi seseorang yang batinnya kotor untuk menyadari kelebihan diri sendiri ataupun kelebihan orang lain, atau untuk menwujudkan keadaan yang lebih tinggi. Dan mengapa? Karena keadaan batin yang kotor. Sekarang bayangkan sebuah kolam air yang jernih, tenang dan tidak teraduk. Seseorang yang mempunyai penglihatan baik berdiri di tepinya. Ia akan dapat melihat tiram, kerang, batu dan kerikil di dasar kolam dan ikan-ikan yang berenang. Dan mengapa? Karena keadaan air yang tenang. Demikian pula, adalah mungkin bagi seseorang yang batinnya tenang untuk menyadari kelebihan diri sendiri dan kelebihan orang lain, serta mewujudkan keadaan yang lebih tinggi. Dan mengapa? Karena keadaan batin yang tenang. Sumber : Buddha Vacana, Renungan Harian dari Kitab Suci Agama Buddha Disusun oleh : YA Shrasvasti Dhammika Rubrik ini memuat kutipan teks-teks Dhamma, baik yang bersumber dari Buddha Shakyamuni sendiri, maupun dari para Guru Besar Buddhisme lainnya, khususnya dari India, China, dan Tibet
Yahoo! Groups Links
|