Sinar Mentari dan Daun-daun Hijau  (2)

 

Y.A. Mahabhiksu Thich Nhat Hanh

 

Arus Pencerapan

 

Kami duduk kurang-lebih selama empat puluh menit. Saya menangkap segaris senyum, tersungging di bibir temanku itu saat ia menatap gelas berisi sari buah di depan kami. “Apakah anda juga demikian, temanku?  Meskipun anda belum bisa sejernih sari buah itu, tapi bukankah sudah lebih tenang? Senyum di bibirmu masih membekas, dan saya pikir anda ragu-ragu apakah anda dapat jadi sejernih sari jeruk itu, bahkan jika kita terus duduk di sini berjam-jam.

 

“Gelas berisi sari buah ini memiliki landasan yang stabil, sementara anda duduk dalam posisi yang kurang mantap. Ampas apel di dalam gelas itu hanya tinggal mengikuti hukum alam, mengendap perlahan-lahan ke dasar gelas. Tapi arus pikiranmu tidak mengikuti hukum yang sama, mereka mendesing kian-kemari seperti kawanan lebah, sehingga bisa dimaklumi jika anda mengira tidak dapat menjadi jernih seperti sari buah itu.”

 

“Anda mungkin hendak mengatakan bahwa kita, makhluk hidup, tidak dapat dibandingkan dengan segelas sari buah.  Saya setuju, tapi saya juga mengetahui bahwa kita dapat melakukan lebih dari apa yang terjadi pada segelas sari buah; kita dapat menjadi tenang, bukan hanya saat duduk, tetapi juga ketika sedang berjalan dan bekerja.  Tapi mungkin anda tidak percaya pada apa yang saya katakan, karena empat puluh menit telah berlalu dan anda telah berusaha keras, namun belum juga dapat mencapai ketenangan yang anda harapkan.”

 

“Thuy tidur dengan tenang, nafasnya halus. Ia tidur dengan mudah. Ingatkah anda pada malam-malam ketika anda tidak dapat tidur? Betapa semakin keras anda berusaha, makin anda tidak dapat tidur. Ketika anda mencoba memaksakan diri untuk tenang, anda merasakan munculnya hambatan di dalam dirimu. Hambatan yang sama dirasakan oleh sementara orang dalam pengalaman meditasi mereka yang pertama. Semakin mereka mencoba menenangkan diri, makin gelisah jadinya.”

 

“Orang Vietnam mengira bahwa hal itu disebabkan oleh makhluk halus atau buah karma buruk, tetapi sesungguhnya hambatan itu lahir dari usaha kita sendiri untuk menjadi tenang. Usaha itu berubah menjadi suatu tekanan. Pikiran dan perasaan kita seperti arus sungai yang mengalir. Jika kita mencoba menghentikan aliran itu, kita akan menghadapi tekanan air yang kuat. Akan lebih baik jika kita mengikuti ke mana arus itu mengalir.”

 

“Kita juga harus waspada terhadap setiap riak-riak yang ada di sekeliling. Kita harus menyadari (eling, waspada terhadap) pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sensasi-sensasi yang timbul di dalam batin kita —terhadap muncul, berkembang, dan lenyapnya mereka. Apakah anda melihatnya?” 

 

“Sekarang hambatan itu mulai menghilang. Arus pencerapan masih terus mengalir, tapi tidak lagi dalam kegelapan. Kini ia mengalir dalam cahaya mentari kesadaran. Latihan meditasi berarti menjaga agar mentari itu selalu bersinar di dalam diri kita, menerangi setiap relung, ceruk, dan lekuk sungai. Meditasi adalah mengamati detail-detail ini.”

 

“Saat sadar itulah kita merasa tenang, meskipun sungai itu masih mengalir di sana. Tapi ketenangan itu tidak sama dengan “ketenangan” sari buah apel di dalam gelas. Tenang tidak berarti pikiran dan perasaan kita membeku, juga bukan suatu keadaan mati-rasa. Batin yang tenang tidak sama dengan batin yang kosong, tidak memikirkan apa-apa, dan tidak merasakan sensasi atau emosi apapun.”

 

Sumber : “Cuci Piringmu Sehabis Makan”, Penerbit Karaniya, 1993

Penerjemah : Tirtasanti

 

 


Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
Children International
Would you give Hope to a Child in need?
 
· Click Here to meet a Girl
And Give Her Hope
· Click Here to meet a Boy
And Change His Life
Learn More


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke