*KOMPAS - Sabtu, 16 September 2006 *

  Korupsi dan Kehidupan
*Memoar Seorang Koruptor *

 Kata orang bijak manusia dibentuk oleh alam sekitarnya; berlaku hukum sebab
akibat. Dan, koruptor lahir bukan hanya karena keserakahan dan adanya
kesempatan, namun juga merupakan produk masyarakat.

Bila ada yang mengajukan pertanyaan, kenapa aku jadi koruptor, jawabnya, aku
sudah bosan hidup miskin, dan kenapa tindakan korupsiku tidak terbongkar,
jawabannya aku melakukan korupsi berjamaah, saling menjerumuskan dan saling
menutup rahasia.

Biografi pendek ini aku tulis bukan karena aku orang bodoh, jika bodoh tentu
tak kan mungkin jadi koruptor. Membobol uang negara itu perlu kecerdasan,
keahlian khusus, strategi, dan keberanian tiada tara.

Sifat koruptifku berproses lama. Dengan menulis biografi ini beban pikiranku
jadi berkurang, minimal merasa seolah-olah, ya seolah-olah dosaku berkurang
walau sebetulnya tidak. Pembaca pun jadi mengerti, memaklumi, syukur-syukur
mau memaafkan.

Dua hari setelah HUT-ku yang ke-5, ibuku meninggal. Sebulan kemudian ayah
menikahi seorang gadis belia. Sejak itu beliau tidak ambil peduli. Hanya
waktu aku mau khitan ayah memberi sedikit uang, sepasang pakaian, dan seekor
kambing.

Almarhumah ibu cukup berada; sawah dan kebunnya banyak. Perhiasan emas
berbentuk gelang, kalung, anting dan cincin bermata berlian, dan seikat
besar uang ia simpan dalam kotak di lemari pakaian. Tiga hari setelah jasad
ibu dikubur, lemari pakaian almarhumah dibongkar paksa paman atau kakak
lelaki tertua ibu. Semua perhiasan dan uang almarhumah dibagi antara paman
dan adik-adik perempuannya. Dua bulan kemudian sawah dan kebun ibu juga
diperebutkan, yang tersisa untukku hanya tiga pasang pakaianku, selembar
sarung almarhumah.

Sejak itu aku diasuh adik nenek. Dengan susah payah nenek muda
membesarkanku, menyekolahkanku mulai dari SD di desa kami hingga tamat SMA
di ibu kota kabupaten. Selama sekolah deraan hidup aku alami lahir dan
batin. Di SMA aku hanya punya pakaian dua stel, sepatu tanpa kaus kaki.
Makan dua kali sehari dengan lauk seadanya, kerap sebutir telur itik untuk
dua hari, jajan tidak pernah, mandi dengan sabun cuci.

*Berawal dari kemiskinan*

Impitan kemiskinan menyebabkan aku merasa rendah diri, aku menjauhkan diri
dari pergaulan. Satu-satunya yang sering aku kunjungi di kota tempat
tinggalku adalah Tia, putri sulung paman. Jika aku pulang kampung, paman
menitip uang untuk Tia, aku pun diberi sekadar beli setengah bungkus rokok.
Tia sangat cantik dalam pandanganku. Ia siswi sekolah kejuruan putri. Tanpa
sadar aku pun jatuh cinta padanya.

Sehari sebelum pulang kampung libur kuartal pertama ketika duduk di bangku
kelas III SMA aku ke rumah kos Tia. Bikin janji besoknya bareng pulang ke
kampung. Sebelum pamit, sepucuk surat aku berikan padanya. Surat berisi
curahan hati dan pernyataan cinta.

Besoknya setiba di terminal aku lihat Tia sudah duduk dalam bis. Aku pun
naik, duduk pada bangku di depannya. Ia mencibir lalu meludahi wajahku. Aku
malu, merasa dihina di depan umum. Air ludahnya aku bersihkan dengan sapu
tangan, sapu tangan itu aku simpan dalam kantong celana.

Aku bersumpah, suatu masa Tia dan keluarganya harus tunduk padaku. Aku
bertekad memperistrinya. Untuk itu aku harus keluar dari kemiskinan. Jalan
satu-satunya merantau, mengumpulkan uang sebanyak mungkin, dan melanjutkan
pendidikan ke tingkat sarjana.

Setelah tamat SMA aku merantau ke Pulau Jawa. Setiba di Ibu Kota aku
mengurus KTP, lewat uang semua serba beres.

Pada tahun pertama di Jakarta aku kerja serabutan, mulai dari mencari order
untuk perusahaan penyemprot nyamuk hingga bergabung ke dalam CV Dua Jari
alias nyopet. Suatu siang ketika nyopet di atas bis kota aku tertangkap
tangan, lalu dikeroyok massa. Wajahku babak belur. Seorang oknum berseragam
menyelamatkanku, aku dibawanya naik sepeda motor. Di tempat sepi semua uang,
kalung, cincin, dan gelang emas miliku diminta paksa.

Bosan jadi copet aku terjun sebagai salesmen, bekerja pada perusahaan
pengadaan peralatan kantor. Siang kerja, malam kuliah. Di kampus aku
mendapat mata kuliah tak resmi, oknum dosen membisikkan asal ada uang semua
bisa diatur, mulai dari indeks prestasi (IP), skripsi, dan ijazah. Di
lapangan pun aku mendapat ilmu khusus. Kepala bagian di beberapa kantor
pemerintah yang jadi klienku beri persyaratan. Dari keuntungan yang aku
dapat, 75 persen untuk dia dan 25 persen untukku. Lalu, 90 persen barang
pesanan dikirim ke kantor, sisanya dikirim ke rumahnya.

"Enak nian jadi oknum pegawai negeri. Setiap bulan terima gaji, hampir tiap
hari korupsi, itu pun sambil ongkang-ongkang kaki di kantor pakai AC,"
gumamku.

Sejak itu aku pun bercita-cita ingin jadi pegawai negeri. Berbagai upaya
ditempuh. Akhirnya uang juga yang bicara. Dengan ijazah sarjana yang cepat
didapat berkat uang, aku pun diterima jadi pegawai negeri, juga pakai uang
pelicin.

Hari pertama masuk kantor aku mencatat prestasi gemilang sebagai calon
koruptor: sebuah pena merek Parker yang tergeletak di sebuah meja berhasil
aku kantongi.

Di kantor aku menjalin hubungan dengan semua orang. Bila punya uang aku
bagi-bagi pada teman. Tiap sebentar memberi kado hadiah hari kelahiran atau
perkawinan pada atasan.

Aku disenangi, jabatanku meroket, selalu berada di tempat basah. Karierku
berawal sebagai pegawai biasa, terakhir pada posisi Kepala Biro Pengadaan
dan Proyek. Aku berprinsip, jika mendapat rezeki maka yang lain mesti ikut
menikmati.

Setahun setelah merantau aku mulai berkirim pada nenek muda; semula kecil,
makin lama makin besar. Taraf pertama dapur nenek muda aku suruh perbaiki,
setahun kemudian kukirimi uang untuk renovasi rumah.

Paman yang dulu membongkar lemari almarhumah ibu berulang kali menulis
surat, berpesan supaya aku jangan mencari istri di negeri orang, dan mohon
agar aku segera pulang kampung. Aku pun pulang kampung sebagai pemuda
sukses. Dua hari setiba di kampung, paman bersama putri sulung dan
bungsunya, Tia dan Carla, datang menemuiku di rumah nenek muda. Tia bertitel
sarjana, tapi belum kerja. Carla siswi SMA. Keduanya cantik. Dalam hati aku
berbisik, kedua gadis cantik itu mesti jadi milikku.

Paman memohon padaku agar bersedia mempersunting Tia. Anaknya banyak, dia
kerepotan memikul biaya rumah tangganya. Dua minggu setelah berada di
kampung aku menikah dengan Tia, seminggu kemudian memboyongnya ke Jakarta.
Carla juga ikut. Aku berhasil meyakinkan paman, berjanji membiayai
sekolahnya di Jakarta.

Pada tahun ketiga pernikahan kami, Tia coba bunuh diri lantaran Carla
memberi tahu dari Bandung—tempat ia aku kuliahkan—bahwa ia sedang mengandung
anakku. Tentu ada tuduhan aku lelaki tak bermoral. Sebagai koruptor tentu
aku tidak bermoral, orang bermoral tak mungkin jadi koruptor.

Waktu menerima SK pensiun aku tercatat sebagai salah seorang koruptor cukup
sukses. Di kampung punya tiga rumah mewah, banyak sawah dan kebun. Di rantau
memiliki lima rumah, satu di Pondok Indah, satu di Permata Hijau, sebuah di
Kapuk Mutiara, sebuah di Jakarta Pusat dan sebuah Villa di Cipanas, tiga
buah mobil mewah, setumpuk batangan emas, beberapa deposito bank dalam dan
luar negeri, serta memiliki saham di beberapa perusahaan.

Tia tidak berbahagia menikah denganku. Pada hari tuanya ia sakit-sakitan.
Kami tidak punya anak, tapi anakku dengan wanita lain ada tujuh orang;
sepasang dari Carla, tiga dari dua pembantu yang pernah bekerja pada kami,
dan dua lagi dari wanita berlainan. Anak pertama mengidap HIV/AIDS, anak
kedua hamil sebelum nikah, dua lainnya kecanduan narkoba, seorang jadi
buronan polisi, seorang jadi lesbian, si bungsu masih di taman kanak-kanak.

Aku sendiri, bahagiakah? Entahlah! Ada hasrat untuk tobat, tapi hati dan
otak nampaknya sudah terlalu sarat dosa. Yang terbayang bukan senyum
bidadari di dalam surga, melainkan api neraka yang menyala.

Ingin tahu siapa aku? Berdirilah di depan cermin, mungkin aku adalah yang
bayangannya terlihat pada kaca. Atau, dia itu adalah ayah, paman, saudara
atau tetangga Anda sendiri.

Sjamsoeir Arfie *Wartawan, Pengamat Masalah Sosial Budaya, Tinggal di Depok*


[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke