mohon maaf, info layanan sms, tagihan listrik:
ketik : rek<spasi)identitas pelanggan, kirim ke 8123
contoh : rek 535752643120, tarif 500 rupiah
terima kasih


>
>         Halaman Depan    Senin, 08/05/2006         Buruh, ketrampilan
> memerintah dan teh botol         Setiap orang mempunyai pengalaman
> bekerja sama dengan orang lain, baik dengan atasan atau bawahan
> maupun dengan sesama rekan kerja. Pengalaman yang paling
> menjengkelkan ialah kalau mitra kerja kita melakukan kesalahan
> yang jelas-jelas, langsung saja bagaikan refleks tubuh menyalahkan
> orang lain.   Saya yakin para pembaca memiliki pengalaman yang
> sama. Langsung saja menyalahkan orang lain untuk melempar tanggung
> jawab tampaknya sudah menjadi salah satu karakteristik khas kita
> yang buruk.   Pengalaman terbanyak adalah tanggung jawab bawahan
> terhadap atasannya. Ketika perintah kita kepada bawahan dikerjakan
> secara salah, terlambat atau tidak dikerjakan sama sekali, ketika
> ditegur, dengan terampilnya langsung saja dia menyalahkan orang
> lain. Reaksinya bagaikan refleks badan dan secepat kilat.
> Bayangkan betapa hebat daya inovasinya menyalahkan orang lain. Ini
> respons bawahan
>  terhadap atasan.   Dalam masalah perburuhan yang sedang marak dan belum
> ada titik terangnya, kaum buruh telah dua kali menggelar demonstrasi
> besar. Unjuk rasa pertama lebih kecil dan lebih tertib dibandingkan
> dengan yang kedua.   Bagaikan orang-orang bawahan, pemerintah langsung
> saja menyalahkan orang lain. Kali ini yang disalahkan tidak
> tanggung-tanggung, yaitu para mantan calon presiden yang kalah dalam
> pemilihan presiden 2004.   Mari kita simak kembali apa sebenarnya akar
> permasalahannya. Yang paling mendasar ialah UU No. 13/2003 tentang
> Ketenagakerjaan yang sudah lama berlaku. Kita mengetahui bahwa UU itu
> memang sangat absurd, menguntungkan kaum buruh luar biasa, dan merugikan
> pengusaha/majikan luar biasa.   Bagaikan bandul   Sejak diberlakukannya
> undang-undang tersebut, langsung dirasakan edan dan tidak masuk akalnya
> UU itu. Maka pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil
> inisiatif mengajukan RUU yang merevisi UU tersebut.   Celakanya, seperti
> halnya
>  dengan banyak kebijakan lainnya, mental elit bangsa Indonesia bagaikan
> bandul. Sesuatu yang ekstrem dikoreksi dengan kebijakan yang ekstrem
> pula, sehingga UU yang absurd itu dikoreksi dengan RUU yang absurd pula.
>  RUU tersebut kebablasan dalam menindas buruh. Karuan saja kaum buruh
> menjadi sangat marah.   Kaum buruh sudah sangat sabar, karena baru pada 1
> Mei 2006 mereka menggelar demonstrasi yang sangat tertib sehingga
> Presiden Yudhoyono mengucapkan terima kasih dan menyatakan
> penghargaannya. Demonstrasi ini mungkin juga tidak terjadi kalau saja
> Mennakertrans Erman Suparno memiliki ketrampilan menangani konflik.
> Kaum buruh sudah memberitahu sebelumnya bahwa mereka akan berunjuk rasa
> bila RUU itu tidak dicabut. Logisnya Mennakertrans mestinya berterima
> kasih, mengundang kaum buruh untuk diajak berunding. Tetapi yang
> dilakukan Mennakertras malahan menantang dengan pernyataan, "Silakan."
> Dalam demonstrasi 1 Mei 2006, tuntutan kaum buruh sederhana sekali, yaitu
> cabut RUU
>  yang memang sangat kebangeten menginjak mereka. Wapres Jusuf Kalla
> berunding dengan para pemimpin buruh dan katanya disepakati bahwa RUU
> tidak dicabut, tetapi akan dibicarakan pasal demi pasal dengan kaum buruh
> dan majikan. RUU yang akan dibicarakan dalam forum buruh, majikan, dan
> pemerintah (tripartit) secara demonstratif dimintakan perbaikannya dari
> lima universitas.   Lho, buruh minta dicabut dulu, dan tanpa kertas
> apapun, tanpa RUU, tanpa apa-apa bersama menyusun RUU yang adil bagi
> semua pihak. Tetapi Wapres mempertahankan RUU dan lebih memercayai
> masyarakat kampus ketimbang kaum buruh. Ini sikap arogan yang memandang
> rendah pengetahuan kaum buruh.   Kaum buruh memang mungkin sekali
> memiliki ilmu pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan dengan
> masyarakat kampus. Tetapi masalah yang kita hadapi bukan ilmu
> pengetahuan. Yang kita hadapi adalah perut manusia!   Maka karuan saja
> kalau kaum buruh pada dataran akar rumput marah. Bahkan banyak buruh yang
> tidak memercayai
>  pemimpin mereka sendiri yang mengadakan perundingan.   Mereka kemudian
> membentuk jaringan sendiri untuk menggelar demonstrasi yang lebih besar
> lagi, yang akhirnya anarkis. Ini karena unjuk rasa yang lebih besar itu
> dilekati dengan semangat yang marah.   Hal ini tidak dipahami pemerintah.
> Ini karena pemerintah tidak memiliki keterampilan memerintah. Yang
> dimiliki pemerintah mungkin ilmu pengetahuan dari bangku sekolah.
> Itupun hanya "mungkin", karena rekrutmen para menteri tidak didasarkan
> atas kemampuan dan keterampilan memimpin bangsa tetapi berdasarkan
> kekuatan politik mereka.   Mekanisme pasar   Kalau kita mau jujur, harus
> diakui bahwa sedikt atau banyak, pada para teknokrat yang bermashab
> tertentu dan sekarang berkuasa, berlaku prinsip mekanisme pasar yang juga
> diberlakukan bagi kaum buruh.   Saya sering dengar dalam berbagai seminar
> bahwa kaum buruh adalah faktor produksi yang disebut dalam satu nafas
> dengan sumber daya alam atau bahan baku dan modal.   Dalam
>  berbagai seminar itu dikatakan pula bahwa karena itu upah buruh namanya
> harga buruh, yang ditentukan oleh besarnya permintaan dan penawaran.
> Kalau penawarannya melimpah, harga buruh sangat rendah.   Buruh harus
> tahu bahwa kalau mereka tidak mau menerima harga rendah bagi dirinya yang
> ditentukan oleh mekanisme pasar, alternatifnya mereka menganggur sampai
> kelaparan dan sampai mati. Buruh boleh berpikir sendiri apa maunya?
> Sejak 1987, saya bersama rekan-rekan yang sepaham berteriak-teriak bahwa
> buruh adalah manusia. Buruh bukan faktor produksi, seperti semen dan
> batu, yang dijadikan bangunan pabrik. Buruh bukan pula tepung terigu yang
> dijadikan bakmi.   Mengapa? Karena buruh adalah manusia yang mempunyai
> hak yang sama atas semua kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini. Maka
> dalam menentukan besaran pendapatannya, harus dipikirkan keadilan antara
> pendapatan buruh dan pendapatan majikan. Ini ditinjau dari sudut
> keadilan.   Sedangkan ditinjau dari sudut power politics, buruh
>  adalah manusia yang bisa mengamuk, dan memiliki kekuatan untuk membakar
> dan membunuh. Ini jelas bahwa buruh berlainan dengan semen, batu, gandum,
> dan minyak sekalipun yang tidak mempunyai kekuatan tersebut. Ini yang
> dilupakan oleh model teknokrat yang di Amerika Serikat disebut egg head.
>  Teh botol   Saya pernah mendengarkan pengamen jalanan berdendang yang
> isinya menceritakan bahwa mereka sengsara karena ulah teh botol. Saya
> kemudian bertanya kepadanya apa yang diartikan dengan teh botol?
> Jawabannya: "Tehnokrat yang bodoh dan tolol." Ini suara pengamen jalanan
> yang tidak 'makan' sekolahan. Lho kok mengapa para mantan calon presiden
> itu yang disalahkan?   Faktor sangat krusial lainnya adalah forum
> tripartit. Mengapa baru setelah ada demonstrasi besar dikemukakan dan
> mungkin sampai sekarang belum dibentuk. Alangkah telmi (telat mikir)-nya.
>   Di negara-negara yang normal-normal saja, forum tripartit itu permanen.
> Banyak negara menggunakan istilah Dewan Sosial Ekonomi yang
>  diberi fasilitas sangat memadai oleh pemerintah.   Di sini, setelah geger
> baru dibicarakan. Itupun langsung dilecehkan dengan mengatakan bahwa
> sebelum kaum buruh dan majikan diajak bicara, para sarjana dari lima
> universitas diminta masukan.   Lagi-lagi urusan perut diselesaikan dengan
> kalimat-kalimat dari buku teks. Sudah begitu, besar kemungkinannya
> penguasaan isi buku teks itu juga setengah-setengah atau hanya
> kulit-kulitnya. Jadi, masalah riil yang besar hendak diselesaikan dengan
> quasi intelektualisme.   Kalau yang dihadapi golongan menengah yang
> snobis, yang penguasaan ilmu pengetahuannya juga menggik mentol,
> pemerintah memang bisa mengerahkan teh botol. Tetapi hasilnya ya hanya
> petentang-petenteng yang memberi rasa hebat dan bangga bagi dirinya
> sendiri.   Jadi, pemerintah hendaknya membumi, jangan sok dan arogan
> mentang-mentang dipilih langsung oleh rakyat. Kalau sekarang bagian
> penting dari rakyat yang marah, bagaimana?   Ternyata juga ada
> jawabannya. Saya mendengar
>  wawancara radio dengan Achmad Kalla, adik Wapres Jusuf Kalla. Achmad
> mengatakan bahwa buruh yang berdemo tidak sebanyak jumlah buruh
> seluruhnya, tetapi hanya bagian kecil. Maka pasti diduitin.   Nah, hari
> ini diberitakan di koran bahwa kalau delapan pendemo yang ditahan tidak
> dibebaskan, buruh akan beraksi dengan jumlah orang yang demikian besar
> sampai melumpuhkan semua industri di seantero Indonesia.   Apakah ini
> akan dilecehkan lagi oleh sang adik Wapres itu, sambil menuduh para
> mantan calon presiden yang tidak bisa menerima kekalahan mereka?   Oleh
> Kwik Kian Gie
> Mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas
>                © Copyright 2001 Bisnis Indonesia. All rights reserved.
> Reproduction in whole or in part without permission is
> prohibited.
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
> Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
> Kirim email ke [EMAIL PROTECTED]
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>





Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED]




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke