SUARA PEMBARUAN DAILY

Bentuk Protes Dalam Sikap Budaya Irian

JAKARTA - Janganlah pijak tempat ini dengan sepatu, sebab tanah ini keramat
dan keadaannya masih seperti semula saat dibuat oleh Penciptanya. 

Urus, jaga dan peliharalah tanah itu, sebab itulah yang menjaga dan
memelihara manusia. Jika Anda memusnahkannya, manusia musnah pula.

Di tempat kita berdiri, rumput itu rimbun dan kusut sehingga tanah di
bawahnya tak tampak. Tetapi, bukit-bukit yang menghijau itu semakin rusak,
makin turun ke bawah makin berubah keadaannya.

Bahkan kian merah dan gundul; air hujan dan kabut tak dapat lagi diserapnya
dan arus dalam jurang-jurang itu pun menjadi kering. 

Sudah terlalu banyak ternak yang menghabiskan rumput itu dan sudah terlalu
banyak api yang membakarnya. Sehingga, tanahnya menjadi kasar dan banyak
bagian-bagian yang tajam seperti batu-batu yang dapat melukai kaki.

Tanah ini tidak terurus, tidak dijaga dan tidak terpelihara, tak ada lagi
faedahnya dan tak bermanfaat lagi bagi manusia. 

Tak terdengar lagi siulan titihoya (sebangsa burung semak-semak) di tempat
ini. Suasana bukit-bukit besar yang merah ini sunyi. Tanahnya
terkoyak-koyak. Halilintar menyambar puncak-puncak bukit itu.
Gumpalan-gumpalan awan meliputinya dan anak-anak sungai yang telah mati
menjadi hidup kembali, penuh darah merah dari tanah.

Di lembah-lembah, perempuan-perempuan membanting tulang meluluhkan
sisa-sisa tanah. Jagung yang ditanami tampak kerdil.

Lembah-lembah ini seolah-olah tempat nenek-nenek dan kakek-kakek, yakni
ibu-ibu yang telah ditinggalkan oleh anak-anaknya.

Tanah itu tak dapat lagi memberikan nafkah bagi mereka.

Demikian antara lain ungkapan Alon Paton, dalam novelnya Ratapan Tanah Air
terbitan Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1982. Kata-kata dalam buku aslinya
Cry, The Beloved Country, yang diterjemahkan Gayus Siagian (alm).

Ungkapan novel itu kini bisa dimaksudkan mengisyaratkan tentang alam
Indonesia khususnya Irian Jaya (Irja).

Wilayah Irian Jaya yang seluas empat kali Pulau Jawa ini semoga tak
mengalami nasib seperti itu.

Sejalan dengan era reformasi, hingga kini rakyat Irian Jaya menginginkan
terjadinya disintegrasi. Sikap demikian sebenarnya tak perlu ditanggapi
sebagai pola "makar, separatis" terhadap pemerintahan negara kesatuan
Republik Indonesia. 

Sudah waktunya pemerintah mengoreksi diri. Apakah selama 35 tahun
kembalinya IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland) ke pangkuan Ibu
Pertiwi terjadi pelanggaran hak asasi manusia, diskriminatif, ketidakadilan
dan perusakan alam negeri Cenderawasih? 

Di sana kini jarang terdengar kicauan burung cenderawasih yang bersiul
riang, karena pohon tempat bersarang dan gua kediamannya telah punah. 

Hutan warisan nenek moyang penghuni negeri Tabi (negeri matahari
terbit-bahasa Tobati Jayapura) porak-poranda disayat mesin chensauw. 

Bahkan, alih kepemilikan hutan selama 35 tahun berlangsung tanpa diketahui
masyarakat setempat. Mereka dilarang mengambil hasil hutan di tanah warisan
leluhurnya.

Seperti diungkapkan Mayjen TNI (Purn) Samsudin, mantan anggota DPR (kini
anggota Komnas HAM) dalam mass media beberapa waktu lalu, "Tanah-tanah di
Irian telah dikavling penduduk Jakarta, tanpa diketahui pemilik dan
pemerintah daerah."

Kelompok pendatang ibarat semut beriringan datang hendak menikmati gula di
Irja dan dengan cara tak terpuji menguasai ribuan hektare tanah. 

Akibatnya, penduduk setempat tersisih ke pinggiran kota, pedalaman bahkan
membangun pemukiman di atas laut. 

Kenyataan ini dapat dibuktikan, ketika pemerintah daerah mencari tanah
untuk pembangunan fasilitas pemerintahan sangat sulit. 

"Pemda Irja harus membeli tanah dari "pemilik" yang bukan orang Irian. Hal
ini menunjukkan, mereka telah kehilangan roh dan jiwanya."

Hanya Jadi Alat 

Di bidang pendidikan; ribuan lulusan SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi
(PT) banyak yang menganggur. Penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) lebih
banyak mengutamakan orang luar Irja.

Sejumlah sarjana lulusan PT di daerah lainnya, memiliki kartu tanda
penduduk (KTP) Sorong, Manokwari, Biak, Jayapura dan Merauke, walau tidak
pernah bermukim di Irja. 

Bidang studinya sama dengan lulusan Universitas Cenderawasih di Jayapura
dan Manokawari Irja. Mengapa pemerintah daerah tidak menerima lulusan
setempat? 

Ketersisian masyarakat Irja terlihat di kota seperti Jayapura, Sorong dan
Biak. Mereka kebanyakkan hanya bisa menyaksikan dari luar kaca pasar
swalayan di mana pembelinya kelompok pendatang. 

Demikian pula dengan banyaknya proyek pembangunan yang mengarah kepada
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Kesempatan bertugas di Irja bukan
untuk membangun, tetapi menghimpun kekayaan untuk membangun "istana". 

Rakyat hanya menjadi "alat" bukan "sasaran" pembangunan. Perencanaan
pembangunan tidak berdasarkan aspirasi masyarakat.

Kalau ada proyek yang gagal, pemerintah lebih mengedepankan rakyat "malas"
atau transportasi yang sulit.

Sikap Protes

Menanggapi sikap yang demikian, Sabam Sirait, mantan Anggota DPR Daerah
Pemilihan Irja mengatakan, selama ini bangsa dan negara Republik Indonesia
(RI) meminta, agar rakyat Irja mengasihi RI dengan memberikan kekayaan
alamnya. 

Namun, rakyat Irja akhirnya miskin di tanahnya yang kaya. "Pemerintah harus
mengubah pendekatan pembangunan dengan mengutamakan hak-hak rakyat. Bukan
sebaliknyaa menginjak-injak hak mereka," tandasnya.

Pembangunan yang tidak menyentuh kepentingan rakyat seperti KKN,
pengusahaan atas hak-hak tanah adat, diskriminasi dalam lapangan pekerjaan
dan sebagainya, melahirkan sikap protes masyarakat Irja. 

Sikap protes yang mengarah kepada gerakan moral untuk disintegrasi memang
sebuah fakta sosial, yang harus diteliti secara cermat. 

Sikap protes rakyat Irja tidaklah berbeda jauh dengan kejadian serupa yang
pernah dilakukan PRRI, Permesta, Aceh Merdeka dan sebagainya. 

Barangkali sikap protes rakyat Irja perlu mendapatkan kajian mendalam dari
segi antropologis dan sosialogis. 

"Kita tak perlu mengatakan orang Irian makar. Tetapi, itulah bentuk protes
dalam sikap budaya Irian. Menghadapi mereka, tak perlu menggunakan
kekerasan yang berakhir pada pelanggaran HAM."

"Panggillah mereka, buka dialog, dengarkan apa kata mereka. Jangan dijawab
dengan laras bedil. Lakukanlah pendekatan kasih, ujarnya pula". 

Sebaiknya, pemerintah daerah, aparat keamanan, pemerintah pusat,
mendengarkan pengalaman rakyat Irja selama 35 tahun, melalui dialog
nasional dengan presiden BJ Habibie, tanpa rekayasa tentang pelanggaran
HAM, Bidang Pemerintahan, Bidang Politik, Bidang Ekonomi dan Sosial Budaya. 

"Jangan menutup mulut mereka dengan separatis, karena tak akan
menyelesaikan masalah. Bersifat bijak, rendah hati, cinta kasih, merupakan
alternatif terbaik untuk memecahkan berbagai persoalan ketidakadilan dan
diskriminatif yang dialaminya selama 35 tahun," ucap Sirait.

Menurut sesepuh masyarakat Irja ini kepada Pembaruan dalam sebuah
percakapan di Jakarta, baru-baru ini, sikap protes itu berkaitan dengan
kesenjangan sosial yang dialami. 

Untuk membangun harkat dan martabat rakyat, tidak cukup dengan hanya
berkata. Tetapi, berbicara dan berbuat.

Otonomi daerah dalam arti yang seluas-luasnya, lanjut Sirait, salah satu
jawaban tepat untuk mengatasi persoalan diskrimasi, ketidak-adilan dan
kekecewaan rakyat Irja selama 35 tahun.

Melalui otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat-daerah, akan sangat
membantu pemerintah daerah dan masyarakat Irja mengatur rumah tangganya di
bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, sosial budaya, sosial
politik, ekonomi dan HAM, sebagai ciptaan Tuhan. 

Kita percaya dalam negara kesatuan RI, masyarakat Irja akan menikmati air
susu dan madu.

- Pembaruan/Wolas Krenak


The CyberNews was brought to You by the OnLine Staff

Last modified: 1/22/99 


___________________________________________________________________
Mulai langganan envorum: "subscribe envorum" ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan envorum: "unsubscribe envorum" ke [EMAIL PROTECTED]
Arsip envorum di http://www.egroups.com/list/envorum

BARU!! Arsip di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke