~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
    Layanan Informasi Aktual
         eskol@mitra.net.id
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hot Spot: Senin, 29 Agustus 2005
 
 
Apa Alasan Mereka Menutup Gereja?

Oleh Mohamad Guntur Romli

SAYA sebagai seorang muslim sangat terkejut dengan pemberitaan penutupan secara paksa gereja-gereja di Jawa Barat yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam. Kelompok itu menamakan dirinya sebagai Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP). Tidak hanya sekadar melakukan penutupan paksa, tapi juga disertasi dengan tindakan kekerasan (Suara Pembaruan, 24/8). Terlintas dalam benak saya, apa alasan mereka menutup gereja?

Bagi saya pribadi, citra gereja, seperti halnya masjid, pura, wihara, dan tempat-tempat ibadah lainnya yang digunakan untuk memuji dan menyembah Tuhan. Dalam pandangan Al-Quran, rumah-rumah Tuhan tersebut, wajib dipelihara tidak hanya oleh pemeluk agamanya saja, namun juga oleh seluruh pemeluk agama. Pada prinsipnya Rumah Tuhan adalah "rumah bersama" yang wajib dilindungi.

Allah Swt menegaskan hal ini dalam Surat Al-Hajj (22) Ayat 40 yang ditujukan pada kaum muslimin untuk memelihara tempat-tempat ibadah, "Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi (sinagog) dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa."

Memelihara dan melindungi tempat ibadah merupakan implementasi dari prinsip kebebasan beragama dalam Islam. Perlindungan tersebut dipertegas dalam ayat yang sangat populer lâ ikrâhâ fi al-dîn "tidak ada paksaan dalam beragama" (Al-Baqarah: 256). Seorang ahli tafsir (mufassir) klasik, Al-Thabari dalam karyanya Jâmi' al-Bayân menuturkan kisah dari sebab-musabab (asbâb al-nuzûl) ayat tersebut turun.

Seorang bapak beragama Islam yang berasal dari suku Salim bin Awf, di Madinah memiliki dua anak yang memeluk Kristen. Ketika dua anaknya datang berkunjung, sang bapak mengajak dua anaknya memeluk Islam. Namun keduanya menolak. Kemudian, sang bapak membawa kedua anaknya ke hadapan Rasulullah, dan meminta beliau turun tangan.

Persis pada saat itulah, menurut Al-Thabari, Allah menurunkan ayat "Tidak ada paksaan dalam agama". Sang bapak mematuhi perintah Rasulullah, dan memberi kebebasan pada dua anaknya memeluk agamanya. Selain itu, untuk melindungi umat non-Islam juga, Rasulullah telah menjadikan dirinya sebagai jaminan. Dalam sabdanya, Man adzâ dzimmiyan faqad âdzânî (barang siapa yang menyakiti non-muslim, maka dia telah menyakitiku).

Kebebasan beragama, tidak hanya menjadi wacana, namun juga menjadi kebijakan publik Rasulullah sebagai panutan dan pemimpin masyarakat. Kesepakatan Rasulullah dengan pelbagai suku dan agama di Madinah yang dikenal dengan Piagam Madinah, Mîtsâq al-Madînah, dinilai oleh Muhammad Husain Haikal, penulis buku Hayât Muhammad (Biografi Muhammad) sebagai implementasi dari kebebasan beragama. Lebih dari itu, masih menurut Husan Haikal, kesepakatan tersebut merupakan dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang sejarah.

Diriwayatkan juga dalam sebuah hadis, "Ketika datang rombongan Nasrani Najran berjumlah lima belas orang yang dipimpin oleh Abu al-Harits, Rasulullah berdialog dengan mereka. Ketika mereka hendak beribadah, beliau mempersilakan mereka untuk melakukan ibadah di Mesjid Nabawi, sedangkan Rasulullah beserta sahabat salat di bagian lain".

Cerita ini benar-benar menakjubkan. Umat Kristiani yang tidak memiliki tempat ibadah, dipersilahkan oleh Rasulullah melakukan kebaktian di masjid. Tidak seperti yang terjadi saat ini, pendirian gereja dipersulit dengan perizinan yang rumit, ketika berdiri pun malah ditutup!

Kebijkan Rasulullah tersebut dilanggengkan oleh para pemimpin sesudahnya. Ketika Umat bin Khattab menaklukkan Yerusalem pada tahun 638 M, memberikan jaminan terhadap kaum Kristiani dan Yahudi yang diabadikan dalam Piagam Alia. Salah satu poin terpenting dari piagam tersebut adalah, jaminan kehidupan, penghidupan, dan rumah-rumah ibadah yang tidak boleh diduduki, atau dihancurkan.

Oleh karena itu, segala tindakan penutupan terhadap rumah-rumah ibadah sama sekali tidak memiliki landasan dalam Islam. Dalam kondisi perang pun, rumah-rumah ibadah merupakan daerah terlarang untuk diserang, seperti halnya terhadap anak-anak, perempuan, orang tua, orang cacat dan orang sipil.

Namun, yang mengherankan bagi saya adalah alasan mereka yang berasal dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag/1969.

SKB tersebut ditandatangani oleh KH Moh Dahlan sebagai menteri agama dan Amir Machmud sebagai menteri dalam negeri di Jakarta tanggal 13 September 1969. Aturan yang dimaksud dalam SKB tersebut adalah Pasal 4 ayat (1) "setiap pendirian tempat ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepada Daerah atau pejabat pemerintahan" dan ayat 2, "Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud, setelah mempertimbangkan: a. pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat; b. planologi; c. kondisi dan keadaan setempat."

SKB tersebutlah yang menjadi pangkal persoalan ini karena memasung kebebasan agama yang menjadi landasan utama konstitusi kita. Dalam UUD 45 Pasal 29 ayat (2) disebutkan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Kesimpulannya, isi SKB tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan dan kemerdekaan umat beragama untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya masing-masing. Oleh karena itu, sudah seharusnya SKB tersebut dicabut.

Dalam SKB itu juga, kebebasan dan kemerdekaan beragama "ditertibkan" oleh kepada daerah setempat khususnya hal-ihwal pendirian rumah ibadah. Tidak hanya berkenaan dengan rumah-rumah ibadah; gereja, masjid, musola, dan lain-lain wajib mengantongi surat izin.

Dalam Pasal 3 ayat (1) juga disebutkan, "Kepala Perwakilan Departemen Agama memberikan bimbingan, pengarahan, dan pengawasan terhadap mereka yang memberikan penerangan/penyuluhan/ceramah agama/khotbah-khotbah di rumah-rumah ibadah..."

Dalam SKB ini pemerintah telah melampaui wewenangnya yang seharusnya memberikan jaminan kebebasan beragama bagi umat beragama, bukan malah mencampuri dengan melakukan pengawasan hingga taraf mengawasi khotbah-khotbah.

Jika kembali ke pertanyaan awal, apa alasan mereka menutup gereja? Surat-surat dalam Al-Quran, dan risalah Rasulullah, atau Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri itu yang kontroversial itu? Atau mereka hanya mencari-cari alasan?

Jika pun mengikuti aturan SKB tersebut dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan, "jika dalam hal perselisihan/pertentangan tersebut menimbulkan tindakan pidana, maka penyelesaiannya harus diserahkan kepada alat-alat penegak hukum yang berwenang dan diselesaikan berdasarkan hukum."

Dan tentu saja aksi kekerasan, penyerangan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kelompok itu ketika menutup paksa sejumlah gereja, merupakan tindakan pidana yang nyata. Wallahu A'lam. *

Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Liberal

Last modified: 29/8/05

Kirim email ke