~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Layanan Informasi Aktual eskol@mitra.net.id ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Hot Spot: Senin, 29 Agustus 2005
Weinata Sairin: PGI Terus Berjuang Cabut SKB Sabtu, 27 Agustus 2005 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Sebuah rumah kalau difungsikan sebagai gereja, maka disitu terjadi fungsi peribadahan. Beberapa jam seusai pertemuan antara Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Gus Dur, dan ICRP, Selasa (23/8) lalu, PGI diterima Presiden Susilo Bambang Yudhuyono di Istana Negara. SBY mengaku terkejut mendengar kabar ada puluhan gereja di Jawa Barat ditutup paksa selama tiga tahun terakhir. Ia memberi respon positif atas informasi dari PGI, kata Wakil Sekretaris Umum PGI Pendeta Weinata Sairin M.Th, yang saat dihubungi Tempo, Jumat (26/8) sedang berada di Bandung untuk meninjau lokasi di Dayeuhkolot. Rencananya, Gus Dur ikut bersama rombongan untuk mengecek kondisi gereja yang ditutup masa Barisan Anti Pemurtadan (BAP) itu. Tapi, atas permintaan dokter dengan memperhatikan kesehatan Gus Dur, beliau tak jadi berangkat, katanya. Weinata berharap, pejabat pemerintahan tidak bermain kata-kata dalam merespon kasus ini. Misalnya, Kapolda Jabar menyatakan tak ada gereja yang ditutup, karena yang ditutup itu rumah biasa yang dijadikan gereja, katanya. Sebuah rumah kalau difungsikan sebagai gereja, maka disitu terjadi fungsi peribadahan, kata Weinata. Ia kemudian memaparkan kesulitan teknis dalam proses pengurusan izin pendirian gereja, yang katanya, Bisa sampai 15 tahun. Master bidang ilmu agama-agama Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta ini lalu bertanya, Nah, apakah kalau sebuah persekutuan atau komunitas orang terhambat izin pendirian tempat ibadah, maka mereka harus menunda peribadahannya kepada Allah Weinata membeberkan faktor kesulitan yang menjadi penyebab terhambatnya izin gereja di sebuah lokasi. Kebanyakan karena hambatan administratif, yang secara sengaja dipersulit oleh pejabat publik, ungkapnya. Ia menguraikan varian-varian yang membuat pejabat public mempersulit kebijakan pendirian sebuah gereja. Sikap kenegarawanan mereka kurang. Kebanyakan karena pejabat itu lebih memosisikan diri sebagai masyarakat dengan agama tertentu yang merasa berseberangan dengan umat Kristen, sehingga tak meluluskan pemberian izin gereja, paparnya. Selanjutnya, ia berharap agar pejabat publik bersikap obyektif dan menampilkan perannya untuk mengayomi masyarakat dari semua golongan. Selain itu, Weinata mengungkapkan adanya persepsi salah tentang pendapat sebuah gereja yang dibangun di tengah pemukiman dengan mayoritas penduduk memeluk agama lain. Apakah kalau hanya ada 20 orang di antara masyarakat, maka yang 20 itu tak boleh memiliki tempat beribadah sama seperti umat lain, pemeluk kristiani juga perlu beribadah secara berjemaah, katanya. Weinata juga meluruskan anggapan berdirinya gereja di lokasi tertentu sebagai tempat yang kemudian menjadi sarana konversi (perpindahan) agama. Gereja berdiri bukan didasari untuk mengkristenkan orang di sekitarnya, tapi sebagai pusat pembinaan spiritual umatnya, kata Weinata. Ia berpendapat, kalau toh kemudian terjadi konversi dari masyarakat di sekitar gereja, maka hal ini merupakan persoalan yang bersifat pribadi. Weinata juga menyatakan keprihatinan PGI atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 01/BER/ MDN-MAG/1969 yang belum juga dicabut. Selama ini, SKB itu dinilai sebagai biang kerok sulitnya perizinan pendirian gereja. Apalagi, dalam semangat otonomi daerah, SKB ini diikuti dengan instruksi gubernur atau bupati, keluhnya. Menurut Weinata, saat ini, Komnas HAM tengah mengkaji upaya pencabutan SKB itu. Akibat masih berlakunya SKB, Weinata mengungkapkan, umat Kristen dihadapkan pada dua perundangan untuk mendirikan rumah ibadah. Sejak Desember tiga tahun lalu, ada juga UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Wong menghadapi satu UU saja sudah sulit, ini malah dihadang dua peraturan, katanya. Yang sulit, menurut Weinata, SKB sama sekali tak masuk dalam tata perundangan republik ini. PGI terus berjuang agar SKBN dicabut, tegasnya. Selian itu, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) itu meminta, Harus ada regulasi yang menjamin agar umat beragama di negeri ini dapat menjalankan ekspresi beragamanya dengan lebih baik. Jojo Raharjo Majalah Tempo edisi 29 Agustus 2005