Membaca
RUU Pornografi, sebagai orang yang berlatar belakang Hukum saya
menjadi bingung,  
PENGATURAN
PORNOGRAFI SECARA PRINSIP ADALAH PENGATURAN KHUSUS DARI HUKUM PIDANA,
KARENA PORNOGRAFI ADALAH TINDAK PIDANA/KEJAHATAN.  
Jadi
SEHARUSNYA RUU PORNOGRAFI UNTUK MENEGAKKAN HUKUM..BUKAN MENEGAKKAN
'AGAMA'.  

Tetapi
membaca RUU ini saya menjadi takut..
Coba
cermati RUU ini..KALIMAT2 YANG BUKAN TENTANG PENEGAKKAN HUKUM, HARUS
DIHAPUS!
kalau
tidak, ORANG ATAU KELOMPOK YANG MENGATASNAMAKAN PENEGAK 'AGAMA' AKAN
MENGGUNAKAN RUU PORNOGRAFI UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI ATAU
KELOMPOKNYA..


Una

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR    TAHUN   
TENTANG 
PORNOGRAFI  
  
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, 
  
MENIMBANG             
:           a.
        bahwa negara Indonesia
adalah NEGARA HUKUM yang berdasarkan  Pancasila DENGAN
MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI MORAL, etika, AKHLAK MULIA, dan
kepribadian luhur bangsa, BERIMAN DAN BERTAKWA KEPADA TUHAN YANG MAHA
ESA, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, 
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap
warga negara; 
b.                                          
bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin
berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia; 
c.                            
bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi
yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta
perkembangan masyarakat;  
d.                            
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pornografi; 
  
Mengingat                  
:       Pasal 20, Pasal 21, Pasal
28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal
29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  
  
Dengan
Persetujuan Bersama 
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
 PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA 
  
MEMUTUSKAN: 
  
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI. 
  
BAB
I 
KETENTUAN
UMUM 
  
Pasal
1 
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
1.        Pornografi adalah materi seksualitas yang
dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. 
  
2.        Jasa pornografi adalah segala jenis
layanan pornografi yang disediakan oleh  orang perseorangan atau
korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik
lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya. 
3.        Setiap orang adalah orang perseorangan
atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.  
4.        Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 
5.        Pemerintah
adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. 
6.        Pemerintah
Daerah adalah Gubernur,
Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.  
  
PASAL
2 
PENGATURAN
PORNOGRAFI BERASASKANKETUHANAN
YANG MAHA ESA, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan,
kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan
terhadap warga negara.  
  
PASAL
3 
PENGATURAN
PORNOGRAFI BERTUJUAN: 
a.      MEWUJUDKAN
dan memelihara TATANAN KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG beretika,
berkepribadian luhur, MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KETUHANAN YANG
MAHA ESA, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; 
b.        MEMBERIKAN PEMBINAAN DAN PENDIDIKAN
TERHADAP MORAL DAN AKHLAK MASYARAKAT; 
c.        memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak
dan perempuan; dan  
d. 
mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di
masyarakat. 
  
BAB
II 
 LARANGAN
DAN PEMBATASAN 
  
Pasal
4 
(1)
       Setiap orang dilarang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:            
a.              persenggamaan,
termasuk persenggamaan yang menyimpang; 
b.              kekerasan
seksual; 
c.              masturbasi
atau onani; 
d.              ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau 
e.              alat kelamin.  
(2)
      Setiap orang dilarang menyediakan jasa
pornografi yang: 
a.        
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan; 
b.        
menyajikan secara eksplisit alat kelamin; 
c.        
mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau 
d.        
menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual. 
  
  
  
  
Pasal
5  
Setiap
orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). 
  
Pasal
6 
Setiap
orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh
perundang-undangan. 
  
Pasal
7 
Setiap
orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4. 
  
Pasal
8 
Setiap
orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi
objek atau model yang mengandung muatan pornografi. 
  
  
Pasal
9 
Setiap
orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi. 
  
Pasal
10 
Setiap
orang dilarang mempertontonkan diri atau dipertontonkan  dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi
lainnya. 
  
Alternatif 
: 
Pasal
10 
Setiap
orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain  dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi
lainnya. 
  
   
Pasal
11 
Setiap
orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal
9, atau Pasal 10. 
  
  
Pasal
12 
Setiap
orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk
atau jasa pornografi. 
  
Pasal
13 
(1)
Pembuatan,  penyebarluasan,  dan  penggunaan
 pornografi  yang  memuat  selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan. 
(2)
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara
khusus. 
  
Pasal
14 
Pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan
untuk kepentingan dan memiliki nilai:  
a.        seni dan budaya;  
b.        adat istiadat; dan 
c.        ritual tradisional. 
  
  
Pasal
15 
Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan
pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13
diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
  
  
BAB
III 
PERLINDUNGAN
ANAK 
  
Pasal
16 
Setiap
orang berkewajiban melindungi anak dari
pengaruh pornografi dan mencegah akses anak
terhadap informasi pornografi. 
  
Pasal  
17  
(1)        
Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan,
pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi
setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. 
(2)        
Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial,
kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah. 
  
  
BAB
IV  
PENCEGAHAN 
  
Bagian
Kesatu 
Peran
Pemerintah 
  
Pasal
18 
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. 
  
Pasal  
19 
Untuk
melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah
berwenang: 
a.                    melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk
pemblokiran pornografi melalui internet;  
b.                    melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan 
c.                    melakukan kerja sama dan koordinasi dengan
berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. 
  
Pasal
20 
Untuk
melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,
Pemerintah Daerah berwenang: 
a.        melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk
pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;  
b.        melakukan  pengawasan terhadap
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;  
c.        melakukan kerja sama dan koordinasi dengan
berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi di wilayahnya; dan 
d.        mengembangkan sistem komunikasi,
informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
wilayahnya.   
  
BAGIAN
KEDUA  
PERAN
SERTA MASYARAKAT 
  
PASAL
21 
MASYARAKAT
DAPAT BERPERAN SERTA DALAM MELAKUKAN PENCEGAHAN TERHADAP PEMBUATAN,
PENYEBARLUASAN, DAN PENGGUNAAN PORNOGRAFI.  
  
PASAL  22  
(1)
PERAN SERTA MASYARAKAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat
DILAKUKAN DENGAN CARA: 
a.                    melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;  
b.                    melakukan gugatan perwakilan ke
pengadilan;  
c.                    melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan   
d.                    MELAKUKAN PEMBINAAN KEPADA MASYARAKAT
TERHADAP BAHAYA DAN DAMPAK PORNOGRAFI.  
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. 
  
Pasal  
23 
Masyarakat
yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.  
  
  
BAB
V 
PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN 
  
Pasal 
24 
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran
pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. 
  
Pasal 
25 
Di
samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak
pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: 
a.                    barang yang  memuat tulisan atau
gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik,
optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan  
b.                    data yang tersimpan dalam jaringan
internet dan saluran komunikasi lainnya. 
  
Pasal 
26  
(1)
      Untuk kepentingan penyidikan, penyidik
berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data
elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet,
media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. 
(2)
      Untuk kepentingan penyidikan, pemilik
data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik
berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang
diminta penyidik. 
(3)
      Pemilik data, penyimpan data, atau
penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka
data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima
tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik
dari penyidik. 
  
Pasal 
27 
Penyidik
membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik
data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat
data tersebut didapatkan. 
  
Pasal 
28  
(1)
      Data elektronik yang ada hubungannya
dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas
perkara. 
(2)      
Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang
diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus. 
(3)
      Penyidik, penuntut umum, dan para
pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan,
baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau
dihapus. 
  
  
BAB
VI  
PEMUSNAHAN 
  
Pasal 
29 
(1)
                               
Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan. 
(2)                                
Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang
sekurang-kurangnya memuat: 
a.              nama media cetak dan/atau media elektronik
yang menyebarluaskan pornografi; 
b.              nama, jenis, dan jumlah barang yang
dimusnahkan; 
c.                           hari, tanggal, bulan, dan tahun
pemusnahan; dan 
d.              keterangan mengenai pemilik atau yang
menguasai barang yang dimusnahkan. 
  
  
BAB
VII  
KETENTUAN
PIDANA 
Pasal
30 
  
Setiap
orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana  dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam 
miliar rupiah). 
  
Pasal
31 
Setiap
orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dipidana  dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 6  (enam)  tahun  atau 
pidana  denda  paling  sedikit  Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 
  
Pasal
32 
Setiap
orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah). 
  
Pasal
33 
Setiap
orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki,
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 
Pasal
34 
Setiap
orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta
rupiah). 
Pasal
35 
Setiap
orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek
atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dipidana  dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah). 
  
Pasal
36 
Setiap
orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dipidana  dengan pidana penjara paling  singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam  miliar rupiah). 
  
Pasal
37 
Setiap
orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan  dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana  dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
  
Pasal
38 
Setiap
orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama
dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal
32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3
(sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. 
  
Pasal
39 
Setiap
orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk
atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana 
dengan pidana penjara paling  singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam)  tahun  atau  pidana  denda 
paling  sedikit  Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah). 
  
Pasal
40 
(1) 
Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 
(2)          
Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang orang, baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama sama. 
(3)          
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. 
(4)          
Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain. 
(5)          
Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus
korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula
memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan. 
(6)          
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut
disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat
pengurus berkantor. 
(7)          
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana
denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. 
  
Pasal
41 
Selain
pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi
dapat dikenakan pidana tambahan berupa: 
a.                   pembekuan izin usaha; 
b.                   pencabutan izin usaha; 
c.                    perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan 
d.                   pencabutan status badan hukum. 
  
BAB
VIII 
KETENTUAN
PENUTUP 
  
Pasal
42 
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu)
bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri
atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.  
  
  
Pasal
43 
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana
pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini.  
  
Pasal
44 
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
  
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
  
Disahkan
di Jakarta 
pada
tanggal     
  
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA, 
  
  
SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO 
  
Diundangkan
di Jakarta 
pada
tanggal     
  
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA  
REPUBLIK
INDONESIA, 
  
  
ANDI
MATTALATTA 
  
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA  TAHUN    NOMOR    

 
PENJELASAN  
ATAS 
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR     TAHUN      
TENTANG 
PORNOGRAFI 
  
I.    
UMUM 
Negara
Republik Indonesia adalah NEGARA HUKUM yang berdasarkan 
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 DENGAN MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI MORAL, etika, akhlak mulia,
dan kepribadian luhur bangsa, BERIMAN DAN BERTAKWA KEPADA TUHAN YANG
MAHA ESA, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap
warga negara. 
Globalisasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap
meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi
yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur
bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial
masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah
masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan
pencabulan. 
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan
melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa mengenai  ancaman yang serius terhadap persatuan dan
kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika
kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya
tindakan asusila, pencabulan, prostitusi dan media pornografi,
sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong
penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia. 
Pengaturan
pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada,
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta
perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang
secara khusus mengatur tentang pornografi. 
PENGATURAN
PORNOGRAFI BERASASKANkepada KETUHANAN
YANG MAHA ESA, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan,
kebhinnekaan, kepastian hukum, antidiskriminatif, dan perlindungan
terhadap warga negara, yang berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini: 
1.      
MENJUNJUNG TINGGINILAI-NILAI MORAL YANG
BERSUMBER PADA AJARAN AGAMA; 
2.       menghormati dan tidak bertentangan dengan
nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berlaku dan berkembang
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk; 
3.      
memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan
larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta
menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan 
4.      
melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak dan
generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi. 
Pengaturan
pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi: (1)  pelarangan dan
pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2)
perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran
serta masyarakat dalam pencegahan. 
Undang-Undang
ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan
ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang
melibatkan anak. Di samping itu,  pemberatan juga diberikan
terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan
melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. 
Untuk
memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini
mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara,
lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat untuk memberikan
pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental
bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. 
Berdasarkan
pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara
komprehensif dalam rangka mewujudkan dan
memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika,
berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga
negara.  
  
II.
PASAL DEMI PASAL 
  
Pasal
1 
Cukup
jelas. 
Pasal
2 
Cukup
jelas. 
Pasal
3 
                Cukup
jelas. 
Pasal
4 
Ayat 
(1)  
Huruf
a 
Yang
dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain
 persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan
binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual. 
               
                Huruf
b 
            Yang
dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan
yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau
mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan. 
               
                Huruf
c 
                                                Cukup
jelas. 
Huruf
d 
            Yang
dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah penampakan
tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh
yang tembus pandang.  
               
                Huruf
e 
               
               
                Cukup
jelas. 
                Ayat
(2) 
                                Cukup
jelas. 
Pasal
5 
Yang
dimaksud dengan “mengunduh” adalah yang dikenal dengan istilah
“down load”.                                         
Pasal
6 
Yang
dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan"
misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang
mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan
kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium,
dan sarana pendidikan lainnya. 
Kegiatan
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan
di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud. 
  
Pasal
7 
Cukup
jelas 
Pasal
8 
Cukup
jelas 
Pasal
9 
Cukup
jelas 
Pasal
10 
Yang
dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan
seksual, masturbasi atau onani. 
Pasal
11 
Cukup jelas 
Pasal
12 
Cukup
jelas  
Pasal
13 
Ayat
(1) 
Yang
dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat,
memperbanyak, atau menggandakan. 
  
Yang
dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan,
menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan. 
  
Yang
dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan. 
  
Frasa
"selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam
ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini,
baju renang, pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan
konteksnya. 
      Ayat
(2) 
Yang
dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya
penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan
yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi. 
  
  
Pasal
14 
Yang
dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang
tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual
dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung
telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni. 
Pasal
15 
Cukup
jelas 
Pasal
16 
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi
terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan
perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. 
Pasal
17 
Cukup
jelas 
Pasal
18 
Cukup
jelas 
Pasal
19 
Huruf
a 
Yang
dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi. 
Huruf
b 
Cukup
jelas 
Huruf
c 
Cukup
jelas 
Pasal
20 
Huruf
a 
Yang
dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi. 
Huruf
b 
Cukup
jelas 
Huruf
c 
Cukup
jelas 
Pasal
21 
Cukup
jelas 
Pasal
22 
Cukup
jelas 
Pasal
23 
Cukup
jelas 
Pasal
24 
Cukup
jelas 
Pasal
25 
Cukup
jelas 
Pasal
26 
Cukup
jelas 
  
Pasal
27 
Cukup
jelas 
Pasal
28 
Cukup
jelas 
Pasal
29 
Cukup
jelas 
Pasal
30 
Cukup
jelas 
Pasal
31 
Cukup
jelas 
Pasal
32 
Cukup
jelas 
Pasal
33 
Cukup
jelas 
Pasal
34 
Cukup
jelas 
Pasal
35 
Cukup
jelas 
Pasal
36 
Cukup
jelas 
Pasal
37 
Cukup
jelas 
Pasal
38 
Cukup
jelas 
Pasal
39 
Cukup
jelas 
Pasal
40 
Cukup
jelas 
Pasal
41 
Cukup
jelas 

 
Pasal
42 
Cukup
jelas 
Pasal
43 
Cukup
jelas 
Pasal
44 
Cukup
jelas 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ……. 


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

=====================================================
Pojok Milis Forum Pembaca KOMPAS :

1.Milis FPK dibuat dan diurus oleh pembaca setia KOMPAS
2.Topik bahasan disarankan bersumber dari KOMPAS dan KOMPAS On-Line (KCM)
3.Moderator berhak mengedit/menolak E-mail sebelum diteruskan ke anggota
4.Moderator E-mail: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED]
5.Untuk bergabung: [EMAIL PROTECTED]

KOMPAS LINTAS GENERASI
=====================================================
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke