Siaran Pers Bersama

11 Februari 2010

 

INDEPENDENSI ENERGI MELALUI NUKLIR
ADALAH ILUSI YANG MENGHAMBAT INDONESIA YANG BERDAULAT

 

Kebutuhan energi dunia selama ini
mayoritas menggunakan energi fosil berupa minyak bumi, batubara dan gas. Selama
ratusan tahun negara industri telah mengeksploitasi energi fosil untuk
kepentingannya. Setelah ditemukannya teknologi nuklir, dunia menaruh harapan
besar terhadap jenis energi ini. Namun setelah 50 tahun berlalu, energi nuklir
tidak bisa membuktikan harapan tersebut. Berbagai masalah yang terungkap dalam
penggunaan energi nuklir tersebut pada akhirnya sangat merugikan masyarakat dan
negara. Tidak hanya itu, penerapan energi nuklir sangat bergantung pada subsidi
negara dan dukungan politik secara khusus dari pemerintah.

 

Seperti halnya masyarakat dunia,
Indonesia juga harus menyiapkan rencana energi yang komprehensif untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyatnya melalui independensi energi yang sejati.
Namun demikian, hal itu jelas tidak mungkin dilakukan melalui energi nuklir.
Seperti kata Dewa Tara dari MPTN, “Indonesia tidak memiliki kapasitas yang
cukup untuk menggunakan nuklir. Nyaris seluruh hal harus diimpor dari luar
negeri, mulai dari bahan bakar, reaktor, hingga suku cadang pabrik listrik itu
sendiri. Belum lagi berbicara tentang limbah nuklir yang belum ada solusinya
itu.” Lanjutnya, “independensi energi melalui nuklir adalah suatu ilusi yang
menina-bobokan Indonesia sekaligus menghambat pemanfaatan energi terbarukan
yang bersih yang seharusnya menjadi solusi bagi independensi energi Indonesia.”

 

“Hingga saat ini energi nuklir
tidak bisa menyelesaikan berbagai masalah yang ditimbulkannya sendiri, yakni
radioaktifitas yang mencemari masyarakat dan lingkungannya mulai dari
penambangan uranium, pengoperasian normal PLTN, dan dalam bentuk limbah nuklir
yang abadi,” demikian dikatakan Dian Abraham dari MANUSIA. Lebih lanjut,
dikatakan, “energi nuklir tidak pernah bisa membuktikan janjinya untuk
menyediakan listrik yang murah. Bahkan data pemerintah saat ini yang menyatakan
biaya per reaktor PLTN berkapasitas 1.000 MW adalah 1,5 hingga 2 miliar USD
terbukti meleset sangat jauh jika dibandingkan dengan data riil kontrak PLTN
Korea Selatan dengan Uni Emirat Arab baru-baru ini. Biaya per reaktor kontrak
tersebut adalah 3,5 miliar USD. Dengan rencana pembangunan empat reaktor,
perbedaan data biaya tersebut mencapai sedikitnya 6 miliar USD alias 55 triliun
rupiah. Jika data pemerintah bisa salah sedemikian fatal, sama sekali tidak
menutup kemungkinan data PLTN yang lain juga salah fatal.”

 

Tidak itu saja, Koesnadi
Wirasapoetra dari SHI (Sarekat Hijau Indonesia) menambahkan, “teknologi yang
dianggap canggih ini justru terbukti tidak bisa memenuhi janjinya di tahun
1950an bahwa PLTN sangat aman. Peristiwa Three Mile Island dan Chernobyl
menjadi bukti bahwa kekhawatiran pemrotes nuklir sama sekali tidak mengada-ada.
Ketiadaan kecelakaan yang setara saat ini tidak berarti bahwa teknologi PLTN
sudah aman. Berbagai laporan resmi justru menunjukkan bahwa puluhan ribu
peristiwa (event), baik berupa insiden (incident) maupun kecelakaan (accident)
terjadi di seluruh dunia.” Mengutip seorang pakar nuklir independen dari AS,
David Lochbaum, ketiadaan kecelakaan seperti Chernobyl hanyalah karena “faktor
keberuntungan belaka”.

 

Selain itu, berbeda dengan
pemanfaatan teknologi umumnya yang sosialisasinya diserahkan kepada produsennya
dan keputusan penggunaannya diserahkan kepada masyarakat yang menjadi
konsumennya, penggunaan energi nuklir di seluruh dunia selalu membutuhkan
proteksi politik dari pemerintah. Tidak hanya itu, bahkan secara lancang
seorang mantan pejabat BATAN pernah meminta dibentuknya UU yang mewajibkan
penggunaan PLTN. Hal ini bukan saja tidak lazim, bahkan di negara nuklir itu
sendiri, tetapi juga membuktikan bahwa kepentingan industri adalah nomor satu
ketimbang kepentingan dan keselamatan masyarakatnya. Di seluruh dunia, justru
sebaliknyalah yang dikenal, yaitu adanya UU yang melarang penggunaan nuklir,
misalnya UU (Pelarangan) Penambangan Uranium dan Fasilitas Nuklir di New South 
Wales,
Australia. Pertimbangannya tentu saja untuk melindungi kepentingan dan
keselamatan masyarakatnya.

 

Proteksi politik itu sangat
terasa di wilayah calon lokasi PLTN di Semenanjung Muria. Suasana tegang dan
pemecahbelahan di antara masyarakat telah berkepanjangan selama puluhan tahun.
Pemerintah bahkan ikut campur dengan ikut membentuk organisasi pro-PLTN di desa
Balong. Dalam beberapa kasus bentrok terbuka antara kedua kelompok, aparat
pemerintah juga cenderung berpihak pada kelompok masyarakat yang pro-PLTN.
Meski demikian, seperti dikatakan Ali Arifin dari PMB, “mayoritas warga Balong
tetap menolak keras rencana PLTN di wilayah mereka dan kami mengecam
tangan-tangan pemerintah yang ikut bermain di desa Balong dan desa-desa sekitar
Balong dengan mengucurkan dana bagi mereka yang mendukung megaproyek PLTN
Muria.”

 

Demikian pula, pemerintah lokal
cenderung bersikap gegabah untuk menerima begitu saja informasi kelebihan
energi nuklir dari industri nuklir yang tak lain adalah pedagang yang sedang
mencari untung. Hal itu tercermin dalam kasus rencana nuklir di Madura maupun
berbagai lokasi seperti Gorontalo, Kalimantan, Banten dan Bangka-Belitung.
Seperti dikatakan oleh Muhammad Hasan Jailani dari AM2PN, “jika tidak diawasi,
pemerintah lokal akan selalu tergoda untuk hanya mendengarkan industry nuklir.
Oleh karena itu AM2PN mengecam pernyataan Wakil Gubernur Jawa Timur yang
baru-baru ini kembali mengusulkan Madura sebagai lokasi PLTN dan mengorbankan
masyarakat Madura demi kepentingan industri nuklir yang sedang sekarat.” 

 

Ditambahkan oleh Sardi El Bayano
dari Muria Institute, “para wakil rakyat juga tidak peka terhadap apa yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Segelintir anggota Komisi VII DPR bahkan
terang-terangan mendorong pemanfaatan energi nuklir tanpa pernah bertanya
kepada masyarakat maupun pihak yang keberatan terhadap proyek nuklir tersebut.
Kami hanya bisa berharap para wakil rakyat di masa depan akan menyesali
dukungan tersebut dan mem-pansus-kan para wakil rakyat yang saat ini duduk di
Senayan karena pada akhirnya, masyarakat Indonesia yang akan menanggung beban
dari keputusan untuk menggunakan teknologi yang merupakan jalan buntu ini.”

 

Indonesia saat ini hanya
memanfaatkan kurang dari 5% dari potensi energi terbarukan yang ada. Greenpeace
menggaris bawahi kebutuhan akan kepemimpinan negara yang kuat untuk membuat
peraturan akan penggunaan energi terbarukan secara massal. Sebagai
perbandingan, China yang pada tahun 2005 mengimplementasikan Undang-Undang
Promosi Energi Terbarukan, berhasil membawa negara dengan emisi gas rumah kaca
terbesar di dunia itu menjadi negara yang paling maju dan cepat dalam
mengembangkan tenaga angin, dan sangat membantu China menurunkan tingkat emisi
dengan sangat cepat.

 

“Meninggalkan investasi bahan
bakar fosil dan nuklir untuk dialihkan pada 
panas bumi, angin, dan matahari tidak hanya merupakan pilihan pintar
untuk mengurangi emisi karbon dan risiko bencana ekologis, tetapi juga pilihan
ekonomi yang pintar,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi
Greenpeace Asia Tenggara.

 

 

Organisasi Pendukung:

MANUSIA (Masyarakat Antinuklir
Indonesia)

Greenpeace

Walhi

CSF (Civil Society Forum) on
Climate Justice

PMB (Persatuan Masyarakat Balong)

Muria Institute

AM2PN (Aliansi Masyarakat Madura
Pemerhati Nuklir)

SHI (Sarekat Hijau Indonesia)

MPTN (Majelis Pertimbangan Tenaga
Nuklir)

 

 

Untuk informasi lebih lanjut:

Dian Abraham, MANUSIA,
0815-9487094

Nur Hidayati, Country
Representative Greenpeace Indonesia, 081319809441

Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim
dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, 081311004640

Ali Akbar, Walhi, 0811735962

Dewa Tara, Majelis Pertimbangan
Tenaga Nuklir, 0815-58858558


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke