Secara prosedural, Indonesia "mungkin" sudah merdeka. Tetapi secara substansial 
dan kultural, belum!!! Sebagai negara-bangsa, sejarah selalu menempatkan 
Indonesia sebagai bangsa bermental hamba-terjajah (inlander). Kita kembali 
menyerah pada kekuasaan asing hanya empat tahun
setelah Proklamasi dan berlanjut sampai sekarang. Kebijakan negara terbukti 
lebih banyak memfasilitasi eksploitasi kekuatan asing atas perekonomian dan 
kekayaan alam Indonesia.
Lebih dari 90 persen ladang minyak dan gas bumi dikuasai korporasi global, 35,1 
juta hektar kawasan hutan berpindah ke tangan korporasi pemegang HPH dan 35 
persen daratan dikuasai 1.400-an korporasi pertambangan. Laju pengrusakan hutan 
mencapai 2,72 juta hektar per tahun. Hampir seluruh aset yang mempengaruhi 
hajat hidup orang banyak dihegemoni dan didominasi oleh negara asing. Hasilnya 
sebagai negara-bangsa, Indonesia memasuki babak kebangkrutan ekonomi dan 
bencana ekologis. Negeri kaya kini menjadi negeri bencana. Benarlah kiranya 
Richard Auty (1993, Sustaining Development in Mineral Economies; The Resource 
Curse Thesis) yang menjelaskan fenomena kemiskinan, kemelaratan dan 
keterbelakangan negara dengan
 kelimpahan sumber daya alam (natural resource abundant) akibat dieksploitasi 
oleh negara yang kaya modal tetapi miskin sumber daya alam.Meskipun
aset-aset alam kita terus dikuras, tetapi itu tidak dapat mengurangi beban 
utang negara dan menyelesaikan masalah kemiskinan. Bahkan yang terjadi, beban 
utang justru bertambah, 37 juta

warga masih tergolong miskin, 20-40 persen anak di 72 persen kabupaten

masih kurang gizi dan 10 persen penduduk masih belum memiliki pekerjaan. Hal 
ini makin diperparah oleh ketimpangan pembangunan kawasan barat dan timur, Jawa 
dan luar Jawa serta wilayah perkotaan dan perdesaan (regional disparity) yang 
rawan pada upaya disintegrasi.

Dalam konteks ketahanan ekonomi nasional, terindikasi kuat makin defisit 
"nasionalisme" kita. Pengutamaan kepentingan pribadi, keluarga, kelompok dan 
golongan di atas kepentingan REPUBLIK, kian menyuburkan semangat untuk "jual 
murah, jual cepat dan jual habis" aset-aset yang masih tersisa. Selain 
digerogoti kekuatan kolonialisme, nasionalisme juga kian dikikis oleh 
sektarianisme yang terbaca dari munculnya berbagai konflik berlatar etnis dan 
agama. Sektarianisme ini semakin menenggelamkan potensi solidaritas sosial dan 
memberi ruang bagi kekuatan kolonialisme untuk memecah-belah bangsa. Kehidupan 
masyarakat modern-metropolis telah merambah ke wilayah pinggiran dan desa yang 
ditandai
 dengan sikap-sikap yang individualis, materialis, elitis dan sekuler. Tanpa 
nasionalisme, rasanya tidak mudah lagi bagi kita bicara tentang kepentingan 
nasional, kepentingan REPUBLIK. Kita tak lagi bisa bicara tentang "satu tanah 
air – satu bangsa – satu bahasa INDONESIA, ketika tanah dan air tidak lagi jadi 
milik KITA, ketika keragaman tak lagi memperkaya KITA dan perbedaan menjadi 
penyumbat komunikasi antar-anak
 bangsa.


Salam,
Herwin Mopangga
Bogor



      
___________________________________________________________________________
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/

Kirim email ke