Setelah Dia Pergi 
Majalah TEMPO, Edisi.50/XXXVI/04, 10 Februari 2008  

DENGAN tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera
setengah tiang—lain soal Anda patuh atau keberatan—Soeharto yang
berpulang Ahad dua pekan lalu sudah menjadi ”pahlawan”. Suka atau
tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit Pertamina hingga wafat, tiga pekan
kemudian, ia masih seorang master dengan kuasa penuh. 

Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya
menelan berita kematian pedagang ”gorengan” Slamet, yang putus asa lalu
bunuh diri akibat harga kedelai ekstratinggi. Semua stasiun
televisi—beberapa memang milik anak-anaknya—mengarahkan moncong kamera
ke rumah sakit, seraya mengulang-ulang sejarah perjalanannya ketika
mengemudikan negeri. Tentu saja, untuk menghormati dia yang sakit
keras, sengaja dipilih berita-berita bagus saja. 

Di rumah sakit, keluarga menetapkan ”protokoler” ketat: hanya mereka
yang mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota
lingkaran dekat lolos seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri
tidak pernah lupa minta petunjuk sang bos, entah kenapa tak masuk
hitungan. Juga Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut Soeharto
sebagai profesornya itu. Di tengah paduan suara politikus merapal
permintaan maaf untuknya, rupanya belum tersedia maaf untuk dua bekas
setiawan itu.

Ketika ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin
bersemangat menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah,
rating meningkat mengalahkan sinetron mana pun—artinya iklan pasti
datang berduyun-duyun. Usaha ”menggoreng” perasaan rakyat lewat TV
harus dikatakan berhasil.

Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi
simpati dan dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung
dosa dan salahnya, seakan keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan
dendam. Mungkin Asep Purnama Bahtiar benar. Dosen Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan media massa bukan
lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang sebuah
”dunia” yang diciptakan media massa dan pihak-pihak yang terlibat.

Sebentar lagi, setelah Astana Giribangun, makam keluarga yang megah
itu, tidak lagi menjadi berita, yang tersisa adalah kasus perdata
yayasan Soeharto, dan debat tentang status hukum ahli waris. Pemerintah
jangan sampai habis waktu mengurus soal ahli waris ini. Semua aturan
sudah jelas. Bila anak-anak almarhum tidak meminta penetapan menolak
waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh ke tangan enam anaknya.
Setelah apa yang diberikan Soeharto, mestinya tidak masuk akal bila ada
di antara anak-anaknya yang berpikir untuk menolak waris itu.
Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam perkara
perdata.

Kasus pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, tapi
para kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan. Pemerintah
tinggal menyatakan kebijakan zaman Soeharto yang dianggap
menyalahgunakan kekuasaan, melawan hukum, atau membelokkan kebijakan
publik untuk keuntungan diri dan kelompok sendiri. Siapa pun yang
menikmati manfaat dari kebijakan semacam itu bisa langsung ditetapkan
sebagai obyek pengusutan. Dan para penikmat tak bisa menghindar. Selama
ini mereka tidak melakukan usaha apa pun untuk menolak ”madu” privilese
yang mereka isap dengan riang.

Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan punya niat. Audit semua
kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu. Harta yang bersumber
dari privilese, atau yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya, bisa dibawa
ke pengadilan. Secara prinsip, menikmati keuntungan dari kebijakan yang
melawan hukum termasuk perbuatan melawan hukum juga.

Bukti-bukti sudah sedemikian gamblang. Dokumen rahasia dari Departemen
Luar Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih bisa dipakai sebagai bukti
tambahan untuk mengusut korupsi di zaman Orde Baru itu.

Publik tinggal menunggu, apakah di pengadilan para kroni akan buang
badan dengan menimpakan semua kesalahan kepada Soeharto, tokoh yang
kini mereka puja dan sudah begitu banyak memberikan ”gula-gula” kepada
mereka. Hanya pengecut tulen yang sanggup ”menusuk” sang tuan yang
sudah di alam baka.

Mengusut para kroni merupakan keharusan, kalau pemerintah memang ingin
menegakkan keadilan ekonomi dan melaksanakan pesan konstitusi untuk
menjamin persamaan kesempatan berusaha bagi warga negara. Tanpa
tindakan apa-apa, fasilitas istimewa dan kenikmatan yang selama ini
diduga diperoleh secara curang tidak akan pernah berakhir. Hanya
kerajaan boneka yang membiarkan keadaan buruk ini terus berlangsung.

Sebaiknya pemerintah memberi prioritas mengusut para kroni—tindakan
yang diamanatkan MPR itu. Menyelesaikan kasus ini lebih penting
ketimbang sibuk mempertimbangkan gelar pahlawan untuk Soeharto—usul
yang dipekikkan lantang Priyo Budi Santoso, orang Golkar yang pernah
tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi itu.*****[gospol]

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke