Saat saya melakukan penelitian petrotektonik ofiolit di Ciletuh dua puluh tahun 
yang lalu  (1988) untuk kepentingan skripsi, model pembentukan (formation) dan 
pengalihtempatan (emplacement) ofiolit sederhana saja : dibentuk di pematang 
tengah-samudra (mid-oceanic ridge - MOR), maju mendekati pinggir benua melalui 
pemekaran dasar samudra, dan dialihtempatkan ke pinggir benua melalui mekanisme 
penyuguan (scrapping off) kerak samudra di zone penunjaman atau terobduksi 
dalam mekanisme benturan (collision) antar benua. Begitu seluruh model yang 
banyak dikemukakan ahli-ahli ofiolit yang bisa dibaca dalam berbagai jurnal 
internasional (model Gass, 1963, Wyllie 1967, Coleman, 1971, Hsu 1971, Gansser 
1974, Miyashiro 1975, dan lain-lain). 
 
Maka, saya pun menganggap bahwa ofiolit di Ciletuh berasal dari suatu MOR jauh 
di tengah Samudra Hindia di selatan yang dialihtempatkan ke Ciletuh pada Kapur 
Akhir-awal Tersier. Begitu juga kesimpulan para peneliti sebelumnya (misalnya 
Suhaeli dkk., 1977). Karena secara tektonik Ciletuh dihubungkan ke Luk Ulo, 
maka ofiolit Luk Ulo pun dianggap dibentuk dan dialihtempatkan dalam cara yang 
sama dengan ofiolit Ciletuh (misalnya Asikin, 1974, Ketner et al., 1976). 
Hampir semua ofiolit di Indonesia pun ditafsirkan pembentukan dan 
pengalihtempatannya seperti tersebut di atas (Hamilton, 1979; Katili, 1980).  
 
Dari model-model itu bisa disebut bahwa ofiolit selalu merupakan massa alokton 
dan eksotik sifatnya terhadap batuan sekitarnya. Massa ofiolit adalah salah 
satu penyusun melange – kompleks batuan bancuh (chaotic) yang umum ditemukan di 
wilayah akresi pinggir benua.
 
Untuk sebuah penelitian lain, saya belakangan ini kembali melihat-lihat 
publikasi ofiolit dan menemukan bahwa kini pembentukan dan pengalihtempatan 
ofiolit ditafsirkan tidaklah tunggal, sungguh tidak sesederhana dulu. Bahkan, 
review publikasi2 terakhir tentang hal ini  membuat saya berpikir bahwa apa 
yang dulu pernah disebutkan van Bemmelen (1949) dan semua perintis teori 
geosinklin bahwa batuan ultrabasa (ofiolit) merupakan intrusi autokton di jalur 
pegunungan mungkin tidak seluruhnya salah – jadi sebaiknya jangan mengubur dulu 
teori ini. Kita uji lagi semua teori tentang pembentukan dan pengalihtempatan 
ofiolit.
 
Sebelum itu, sebaiknya kita segarkan kembali ingatan kita bersama tentang 
ofiolit.
 
Ofiolit bukanlah nama satu batuan, tetapi nama yang diberikan kepada 
sekelompok/runtunan/kerabat/sekuen batuan. Batuan-batuan ofiolit sering 
terdapat di jalur pegunungan, yaitu tempat benturan dua benua. Karena terdapat 
di wilayah benturan yang deformasinya kuat, maka jarang sekuen ofiolit lengkap. 
 
Kalau lengkap, seperti di MOR, ofiolit dari bawah ke atas : sheared garnet 
lherzolite (bagian mantel; disusun oleh olivine-clinopiroksen, ortopiroksen, 
dan salah satu spinel atau garnet), garnet lherzolit yang telah lebur; 
peridotit (terbentuk ketika mineral olivine dan piroksen mengkristal dari 
leburan basaltik); gabro (material kristalin kasar berkomposisi basaltik); 
sheeted dykes (lembaran basalt intrusive vertical dan tipis); lava bantal 
(bantal-bantal basalt yang terbentuk ketika lava dierupsi ke dalam air); rijang 
merah yang sama dengan sedimen yang ditemukan di lantai samudra. Kalau 
dilakukan survey seismik, maka ofilit terbagi ke dalam 3 lapisan : lapisan 1 : 
peridotit-gabro, lapisan 2 sheeted dykes dan pillow lavas, lapisan 3 sedimens 
dasar samudra.
 
Apakah seluruh ofiolit di pinggir benua berasal dari MOR ? Di sini mulai ada 
masalah.
Pengukuran komposisi ofiolit dan kerak samudra menunjukkan bahwa ofiolit 
sedikit berbeda dalam komposisi dari kerak samudra ‘sebenarnya’.Walaupun 
beberapa kerak samudra moderen setua 200 juta tahun, kebanyakan ofiolit umurnya 
hampir sama dengan pegunungan tempat ofiolit itu terdapat. Faktor-faktor ini 
telah menyebabkan beberapa peneliti menyimpulkan bahwa ofiolit merupakan kerak 
samudra yang terbentuk berhubungan dengan peristiwa pembentukan-pegunungan. 
Ketika lempeng samudra tua tenggelam, ada gaya regangan terjadi di lempeng di 
bawah ia tenggelam, yang kadang-kadang menghasilkan pemekaran untuk membentuk 
suatu pematang samudra baru dengan kerak samudra baru di cekungan belakang 
busur. Adalah mungkin bahwa ofiolit merupakan cekungan belakang busur muda yang 
telah terperangkap selama benturan dua benua. Teori ini sudah menyimpang dari 
teori klasik bahwa ofiolit berasal dari MOR. Ternyata, ofiolit bisa berasal 
dari kerak samudra di back-arc basin. Ini
 kita sebut saja back-arc basin ophiolites.
 
Teori ofiolit lainnya dikemukakan oleh Hawkins (2003), yaitu supra-subduction 
zone ophiolites. Pada tepi lempeng samudra yang konvergen, litosfer oseanik 
yang tua menunjam ke mantel. Di atas zone subduksi, kerak oseanik yang baru 
dibentuk di forearc, volcanic arc, and backarc basins melalui leburan magma 
bersifat basa. Magma, produk supra-subduction zone (SSZ) processes ini membawa 
ciri kimia dan isotop yang khas SSZ sources dan dapat dibedakan dengan 
mid-ocean ridge magmas. Asosiasi yang dekat antara ophiolite assemblages jenis 
ini dengan arc volcanic dan volcaniclastic material, granitoids, dan silicic 
extrusives membuat asal MOR untuk ofiolit ini diragukan. 
 
Ada juga teori yang mengatakan bahwa ada ofiolit-ofiolit yang berhubungan 
dengan tepi pasif benua (passive margin) – ini suka disebut tipe Tethyan, 
misalnya Troodos di Cyprus dan Semail di Oman, yang sekuennya relatif lengkap 
dan dialihtempatkan ke tepi pasif benua. Ada juga ofiolit yang disebut tipe 
Cordilleran, yaitu ofiolit yang duduk di atas subduction zone accretionary 
complexes (subduction complexes) dan tak punya kaitan dengan passive 
continental margin. Tipe Cordilleran misalnya Coast Range ophiolite, 
California, Josephine ophiolite, Klamath Mountains (California, Oregon), dan 
ofiolit di southern Andes, South America. Walaupun tipe pengalihtempatannya 
berbeda, kedua tipe ofiolit ini dibentuk sebagai SSZ ophiolites (misalnya :  
Shervais, 2001).
 
Ophiolite assemblages di pegunungan-pegunungan hasil benturan seperti Alpen dan 
Papua tak dibentuk selama subduksi, tetapi merupakan thinned margin suatu benua 
yang terbentuk selama rifting dan continental drift. Jadi, ofiolit ini sebagai 
incipient oceanic crust yang terperangkap ke tepi benya ketika cekungan samudra 
menutup, sehingga incipient oceanic crust dialihtempatkan ke collision zone 
sebagai ofiolit.
.
Ciri kimia subduction-related ophiolites dan asosiasinya di jalur pegunungan 
menunjukkan bahwa pembentukan dan pengalihtempatannya berhubungan dengan  
oceanic closure dan continental collision (tahap akhir Wilson Cycle) daripada 
sebagai produk oceanic opening dan seafloor spreading seperti model-model 
klasik yang telah kita ketahui.
 
Di SE Asia, termasuk Indonesia, sebagian besar ophiolites kelihatannya dibentuk 
di  convergent margins, dan secara khusus di backarc atau island arc settings, 
yang berevolusi di sepanjang tepi  Sundaland atau Australian cratons, atau di 
Philippine Sea Plate. Ophiolites ini kemudian diakresikan ke tepi benua selama  
Tersier. Jadi, ofilit ini bisa digolongkan sebagai  “relatively autochthonous 
ophiolites” sebagai akibat penutupan marginal basins seperti South China Sea 
atau Coral Sea, dan “highly displaced ophiolites” yang berkembang di oblique 
convergent margins, dilepas-lepaskan dari sekuennya, ditransportasi dan 
terdeformasi secara kuat dalam final docking. 
 
Monnier et al. (1999) memperkenalkan teori berdasarkan petrokimia batuan, bahwa 
ofiolit di beberapa tempat di SE Asia bisa berasal dari fragment subkontinental 
lithospheric mantle yang mengalami fractional melting selama continental 
rifting phase, yang dicirikan oleh pengayaan  metamorphic K- dan Cr-rich 
amphiboles di dalam peridotitnya.
 
Maka, ketika kita berhadapan dengan ofiolit di mana pun, ingatlah bahwa 
pembentukan dan pengalihtempatannya tidaklah pernah tunggal (sebagai dibentuk 
di MOR lalu dialihtempatkan lewat subduksi/obduksi di pinggir benua) tetapi 
kompleks. Data petrotektonik dan petrokimia bisa menunjukkan kemungkinan mana 
yang paling benar. 
 
Perdebatan asal ofiolit di suatu tempat dengan demikian menjadi terbuka lebar 
bila ada beberapa alternatif mekanisme pembentukan dan pengalihtempatannya. 
Sebagai contoh perdebatan tentang hal itu, saya tampilkan untuk ESO (East 
Sulawesi Ophiolites) – salah satu singkapan ofiolit terbesar di dunia (dikutip 
dari Satyana et al., 2007) : 
 
“The East Sulawesi Ophiolite is one of the three largest ophiolites in the 
world (Monnier et al., 1995; Kadarusman et al., 2004). It comprises, from base 
to top, residual mantle peridotite (spinel lherzolite, intercalated with 
harzburgite and dunite), mafic-ultramafic cumulate through layered to isotropic 
gabbro, to sheeted dolerites, and basaltic volcanic rocks (lavas) of normal 
mid-oceanic-ridge basalt (MORB) composition. Major and trace element 
geochemistry of basalt and dolerite suggests origins of MOR, oceanic plateau 
(major), and supra-subduction zone (minor). Based on the chemical similarity 
between the ESO lavas and those from the Eocene Celebes Sea back-arc basin 
crust together with their identical age, Monnier et al., (1995) suggested that 
the ESO was initially generated in a back-arc tectonic environment representing 
a fragment of the Eurasian Plate obducted onto the East Sulawesi basement of 
Australian origin. However, Kadarusman et al.
 (2004) based on published paleolatitude data of lava sequence in the Balantak 
area reconstructed using plate trajectory analyses, indicated that the site of 
generation of the ESO was somewhere at area located 2000 kms south from the 
present position (it is also possible 10,000 kms SW from the present position).”
 
Demikian, semoga berguna.
 
salam,
awang


      

Kirim email ke