Posting dari Pak Herman Moechtar (Dr. Herman Moechtar adalah ahli geologi 
Kuarter yang banyak menerapkan cyclostratigraphy dalam beberapa penelitiannya). 
Semoga bermanfaat.
 
salam,
awang

--- On Thu, 7/3/08, Herman Moechtar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Herman Moechtar <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [Geo_unpad] Sangiran Cyclostratigraphy & Demise of Hominids (was : 
“Terbelah Segala Mata Air...")
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Thursday, July 3, 2008, 9:42 AM











Pak Awang,
 
Tepat sekali apa yang dikatakan pak Awang tersebut. Prinsipnya memang pada 
Holosen rekaman satu kesatuan siklus kaitannya terhadap muka laut dan iklim 
tidak terbentuk. Tapi sebaliknya, tektonik dan erupsi kapan saja dapat terjadi. 
Kalau boleh saya menyimpulkan apa itu Holosen secara global:
1.Awal Holosen adalah bagain tengah dari akhir siklus Precession yang puncaknya 
kurang lebih 9000 BP. Ketika itu diikuti oleh puncak dari pencairan es 
(interglasial) dan muka laut maksimum. Setelah itu muka laut turun kembali dan 
iklim mengarah kering. Pada 2000 th. mendatang, kondisi muka laut semakin turun 
dengan kondisi kering semakin menuju minimun.
2.Awal siklus tersebut ditandai oleh global sea-level still stand (low sea 
level) yang diikuti oleh muka laut naik (18.000 BP hingga 9000 BP). Kondisi 
tersebut diikuti oleh kondisi iklim minimum menuju maksimum pula
3.Sea-level tidak akan pernah dapat dikorelasikan dari waktu ke waktu pada 
wilayah berbeda, karena setiap daerah memiliki tingkat kestabilan tektoniknya 
termasuk aktifotas volkaniknya. Oleh karena itu, akan menimbulkan perbedaan 
yang berkepanjangan. Namun, semua itu dapat diredam apabila kita mehami apa itu 
stratigrafi lokal, regional, dan global yang hingga saat ini belum 
diperhataikankhusus nya oleh ahlu stratigrafi.    
 
Pak Awang,
 
Itu hanya sedikit ulasan mengenai Holosen dari saya. Satu catatan yang menarik 
dalam pemahaman tersebut adalah, bahwa evaluasi tersebut saya yakin hanya dapat 
dilakukan di Indoensia saja karena kita memliki wilayah sirkulasi iklim tropis 
yang baik dan berkesinambungan tidak dimiliki di tempat lain. Pak Awang memang 
betul, untuk short-term hanya iklim dan sea-level sebagai indikatornya, dan itu 
terjadi dimana-mana mulai dari tiinggian hingga deep sea. Tapi tektonik dan 
erupsi hanya pada tempat-tempat tertentu saja.
 
Selamat bekerja dan sukses
 
Wassalam,
 
Herman

--- On Wed, 7/2/08, Awang Satyana <awangsatyana@ yahoo.com> wrote:

From: Awang Satyana <awangsatyana@ yahoo.com>
Subject: Re: [Geo_unpad] Sangiran Cyclostratigraphy & Demise of Hominids (was : 
“Terbelah Segala Mata Air...")
To: [EMAIL PROTECTED] ps.com, "IAGI" <[EMAIL PROTECTED] or.id>, "Forum HAGI" 
<[EMAIL PROTECTED] id>, "Eksplorasi BPMIGAS" <eksplorasi_bpmigas@ yahoogroups. 
com>
Date: Wednesday, July 2, 2008, 9:13 AM









Pak Herman,
 
Terima kasih atas ulasan Pak Herman. Memang dalam memahami siklus (kejadian 
berulang) kita membagi periode-periodenya ke dalam : (1) long term (milyar-juta 
tahun) ke dalamnya termasuk tectonic processes dan basin evolution, (2) short 
term (ratusan ribu-ribuan tahun) ke dalamnya termasuk siklus2 Milankovitch dan 
climatic phases, dan (3) historic term (seribu tahun -  < 1 hari) ke dalamnya 
termasuk episodes (bulan-seribu tahun), dan events (1 bulan - < 1 hari).
 
Dalam suatu wilayah pasti kita akan mendapatkan hasil tumpang tindih ketiga 
periode tersebut. Tetapi untuk endapan Holosen yang di mulai 0.01 Ma (10.000 
tahun yang lalu) pasti kita hanya mendapatkan efek2 climatic changes, episodes, 
dan events. Untuk satu siklus terkecil Milankovitch pun kelihatannya belum 
terbentuk (siklus longitude of the perihelion 20.000 tahun).
 
salam,
awang

--- On Wed, 7/2/08, Herman Moechtar <[EMAIL PROTECTED] com> wrote:

From: Herman Moechtar <[EMAIL PROTECTED] com>
Subject: Re: [Geo_unpad] Sangiran Cyclostratigraphy & Demise of Hominids (was : 
“Terbelah Segala Mata Air...")
To: [EMAIL PROTECTED] ps.com
Date: Wednesday, July 2, 2008, 3:22 PM










Pak Awang,
 
Betul dan saya setuju pada kutipan-kutipan dalam al Kitab sehubungan dengan 
keajaiban yang terjadi tersebut ada kaitannnya dan tersirat. Hanya saja, berat 
rasanya apabila segala sesuatu penafsiran ilmu pengetahuan khususnya kebumian 
kita kaitkan kepada kepercayaan. Hanya itu saja. Dan saya yakin apabila kita 
mengikuti ajaran agama, kita akan selalu diberi kemudahan... Pengalam saya 
menunjukkan bahwa, semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki kita 
berikan pada orang lain ternyata pengetahuan kita akan bertambah dan diberi 
kemudahan (itu saya rasakan sekali.....) .
 
Mengenai kubah Sangiran, abstraknya bagus dan dapat dipertanggungjawabk an. 
Tentunya semua itu ada dasarnya. Hanya saja pendekatan yang dilakukan agak 
berbeda. Namun demikian, dalam suatu penelitian metoda apapaun yang digunakan 
dengan pendekatan yang berbeda, tentu akan menghasilkan sesuatu yang saling 
mendukung. Hanya saja, kita harus pandai-pandai mengkorelasikannya. Tidak ada 
kesalahan dari suatu hasil penelitian masalah kebumian yang diperbuat, apabila 
dilakukan secara  benar. Yang ada adalah kesalahan dari masing-masing individu 
yang tidak mau memahami orang tapi ingin dipahami orang.
 
Betul yang dikatakan pak Awang, dalam ruang dan waktu apa kita menjabarkan 
hasil penenlitian itu. Pada prinsipnya saya mengunakan pemahaman bahwa suatu 
peristiwa bumi itu ada awal dan akhirnya yang memberikan dampak berubahnya 
lingkungan. Peristiwa tersebut saya bedakan mulai dari yang kecil yaitu 1 hari 
dan 1 tahun (ordo berapa ? saya masih belum mengetahuinya) karena menuju ke 
ordo 7 (siklus Precession) mungkin masih banyak siklu-siklus yang lain. 
Sedangkan siklus satu adalah berkaitan dengan Sekala Wilson hingga sekuen Exxon 
(sekuen-stratigrafi ). Menurut saya kejadian tersebut dapat dibedakan menjadi 
yang bersifat periodik dan episodik, dimana priodik itu diartikan sebagai 
kejadian yang terus menerus dengan sesatan yang tidak besar. Sedangkan episodik 
merupakan gabungan periodik yang dapat dibedakan. Dalam kurva sea-level Haq 
dkk., ilustrasi tersebut dapat dijelaskan secara baik meski perlu direvisi. 
 
Yang menarik buat saya adalah keteraturan dari peristiwa tersebut, dimana di 
dalam siklus yang terbesar terkandung siklus yang lebih kecil. Artinya, kita 
akan dapat membedakan ordo dari peristiwa bumi dengan mendekatan hirarki siklus 
yang memilki waktu dan terkait terhadap genetika dan prosesnya.
 
Saya pernah bergabung dengan kelompok Geodinamik ITB (MT. Zen dkk.), dimana 
masing-masing memberi sumbangan pemikiran tentang arti geodinamika. . . Pada 
kesempatan itu (1998 ?) saya memaparkan mengenai konsep saya: Periodik dan 
episodik proses dinamika perisitiwa bumi ditinjau dari aspek sedimentologi dan 
stratigrafi. Dan saya simpulkan bahwa perjalanan bumi itu ibarat mesin mobil 
yang dihidupkan. Apabila mesin distarter, maka api mulai bekerja, minyak akan 
naik dan sebagainya. Sebaliknya apabila bumi di starter (dalam hal ini poros 
bumi berpindah posisi mengelilingi matahari), maka tektonik, muka laut, iklim, 
erupsi dan magmatism akan bereaksi. KIra-kira itulah maksud saya.(Semuanya 
pernah saya lakukan penenlitiannya mulai dari Eosen sampai Pliosen di 3 
cekungan daerah Spanyol) dan geologi Kuarter hampir di seluruh Indonesia. 
Hasilnya, tentu saja mendukung konsep tersebut.
 
Pak Awang,
 
Menurut saya paper Kubahnya bagus. Setidak-tidaknya saya lihat dari pendekatan 
yang bukan latarbelakang saya itu. Namun saya simpulkan sekala waktunya lebih 
panjang dari Milankovitch. Dan wajar kalau tektonik akan memberikan dampak yang 
besar ketika itu, dan saya sebut itu sebagai episodik yaitu berupa batas atau 
setara dengan gabungan sikus (composite cycles of Milankovitch) . Sebagai 
tambahan, cyclostratigraphy yang sudah menuju ke astrostratigraphy sangat 
berkembang pesat. Sayangnya, sekali sayang ahli geologi tidak memanfaatkannya 
apalagi di Indonesia belum ada yang mau mencobanya. 
 
  

--- On Wed, 7/2/08, Awang Satyana <awangsatyana@ yahoo.com> wrote:

From: Awang Satyana <awangsatyana@ yahoo.com>
Subject: [Geo_unpad] Sangiran Cyclostratigraphy & Demise of Hominids (was : 
“Terbelah Segala Mata Air...")
To: [EMAIL PROTECTED] ps.com, "IAGI" <[EMAIL PROTECTED] or.id>, "Forum HAGI" 
<[EMAIL PROTECTED] id>, "Eksplorasi BPMIGAS" <eksplorasi_bpmigas@ yahoogroups. 
com>
Date: Wednesday, July 2, 2008, 6:17 AM











Pak Herman,
 
Terima kasih atas e-mail dan ulasannya.
 
Saya setuju bahwa hidup harus seimbang, konsep itu telah lama dikembangkan oleh 
orang-orang Timur, misalnya dalam konsep yin dan yang. 
 
Memang Kitab Suci bukan buku sains apalagi buku teks sains, sekalipun kita suka 
temukan di dalamnya tentang sains. Saya juga percaya bahwa apa pun bisa TUHAN 
lakukan tanpa mengikuti hukum-hukum alam. Dan IA tak akan terikat ruang dan 
waktu sebab ruang dan waktu pun adalah ciptaan-NYA. Tetapi, saya dalam beberapa 
kali kesempatan mempelajari fenomena bernuansa geologi yang tercatat dalam 
Kitab Suci, terkesan bahwa TUHAN  sekalipun membuat mujizat ternyata IA tidak 
melanggar hukum-hukum alam yang telah ditetapkanNya.
 
Saya ingin menafsirkan bahwa sebuah rangkaian Armageddon, Perang Zaman Akhir, 
telah dinubuatkan (dituliskan untuk terjadi) berkaitan dengan reaktivasi sesar 
mendatar besar di wilayah Palestina. Itu tertulis di dalam Zakharia 14 : 3-4 
"Kemudian TUHAN akan maju berperang melawan bangsa-bangsa itu seperti Ia 
beperang pada hari pertempuran. Pada waktu itu kakiNya akan berjejak di bukit 
Zaitun yang terletak di depan Yerusalem di sebelah timur. Bukit Zaitun itu akan 
terbelah dua dari timur ke barat, sehingga terjadi suatu lembah yang sangat 
besar; setengah dari bukit itu akan bergeser ke utara dan setengah lagi ke 
selatan".
 
Ini barangkali berindikasi metafora, tetapi saya mengganggapnya bukan metafora 
sebab sesar mendatar besar yang disebutkan di dalam Zakharia 14 tersebut adalah 
sebuah kenyataan geologi (lihat paragaraf di bawah). Dan, seperti yang pernah 
saya posting-kan dulu, kiamat di Sodom dan Gomora adalah berhubungan dengan 
gerakan sesar ini.
 
Kalau kita mempelajari geologi wilayah Palestina (misalnya : Zak dan Freund, 
1981 : Asymmetry and basin migration in the Dead Sea rift - Tectonophysics 80, 
p. 27-38; atau Manspeizer, 1983 : The Dead Sea Rift dalam Biddle dan 
Christie-Blick : Strike-Slip Deformation, Basin Formation, and Sedimentation - 
SEPM Spec. Publ. no. 37, p. 143-158) akan tahulah kita bahwa sesar mendatar 
yang disebutkan dalam Kitab Suci itu adalah Sesar Laut Mati dan splays-nya di 
sebelah barat. 
 
Dalam sistem principal displacement zone sinistral strike slip fault yang 
membelah wilayah Palestina sejak Teluk Aqaba sampai Danau Galilea, kita bisa 
menafsirkan bahwa Bukit Zaitun tersebut akan terbelah oleh dextral antithetic 
shear barat-timur sejajar dengan semua sungai yang mengaliri Dataran Tinggi 
Yudea dan bermuara di Lembah Yordan. Lalu, ia akan tergeser lagi oleh sinistral 
slip synthetic splay. 
 
Ini hanya sebagai contoh bahwa beberapa ayat dalam Kitab Suci kadang-kadang 
menerangkan proses geologi dengan rinci.
 
Tentang siklus Milankovitch dan cyclostratigraphy yang dihasilkannya. Fluktuasi 
muka laut Kuarter Atas dan Holosen yang mengikuti glasiasi Pleistosen tentu 
relatif lebih baik dipahami daripada perubahan muka laut yang lebih purba. 
Kurva muka laut yang diturunkan berdasarkan isotop oksigen yang ditera 
dari foram bentonik asal deep sea cores dan teras terumbu tropika menunjukkan 
fluktuasi yang frekuensi (perulangan) siklusnya tinggi dalam 120.000 tahun 
terakhir. Perubahan muka laut ini bervariasi total ketinggiannya antara 20-180 
meter. Mereka punya periode panjang primer selama 100.000 tahun, periode 
sekundernya masing-masing 40.000 dan 20.000 tahun. Periode2 ini sangat 
mendukung apa yang sudah dipostulasikan Milankovitch seperti disebutkan Pak 
herman juga.
 
Tetapi, menarik menanggapi uraian Pak Herman khususnya yang menjelaskan bahwa 
siklus Milankovitch berpengaruh kepada tektonik dan magmatisme dengan contoh 
kasus Kubah Sangiran. Setahu saya, siklus Milankovitch hanya bermain di skala 
pendek (short-term) , yaitu efek-efek yang dapat diamati dalam puluhan-ratusan 
ribu tahun. Skala pendek ini kalau dalam Global Cyclostratigraphy termasuk 
perubahan-perubahan iklim yang berpengaruh kepada sedimentasi akibat osilasi 
orbit dan sumbu Bumi. Sementara skala panjang (long term), yaitu efek2 yang 
dapat diamati setelah jutaan tahun) meliputi perubahan-perubahan geologi 
termasuk proses2 tektonik dan evolusi cekungan (continental drift, sea-floor 
spreading, topografi, batimetri, sesar, pengangkatan, penenggelaman, termasuk 
eustatic changes).
 
Dalam pandangan saya, barangkali, sedimentasi,  tektonik dan magmatisme 
(sebagai contoh di Sangiran) bukan melulu akibat perubahan short-term siklus 
Milankovitch, tetapi akibat dua hal : (1) climatic processes (pindah sungai, 
pola sedimentasi, pola penghunian hominids, dan (2) tectonic processes 
(pengkubahan dan volkanisme). Ini barangkali sesuai dengan model2 
cyclostratigraphy yang selalu dibentuk oleh perubahan iklim jangka pendek yang 
diinduksi siklus Milankovitch, dan perubahan tektonik jangka panjang yang 
merupakan bagian evolusi cekungan. Iklim dan tektonik selalu berinteraksi dalam 
mengubah bentang alam (proses2 eksogenik dan endogenik).
 
Tetapi posting Pak Herman bahwa periode volkanisme selalu terjadi mengikuti 
masa kering atau climatic minimum sangat menarik, ini semacam kesamaan waktu 
atau overlapping episode atau juga semacam intervensi antara long term 
magmatisme ke short term climatic change. 
 
Penelitian cyclostratigraphy Pak Herman di Sangiran dan hubungannya kepada 
penghunian hominid sangat menarik. Untuk wilayah Sangiran, saya saat ini sedang 
memikirkan peran dominan long-term change-nya berupa gejala tektonik (doming) 
dan volkanisme-nya (mud diapirism) terhadap perubahan pola penghunian hominid 
di wilayah ini (di bawah terlampir abstrak pemikiran tersebut - akan 
dipublikasi di PIT IAGI). Ini tentu berbeda dengan hasil penelitian Pak Herman. 
Argumen yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Terima kasih atas info Pak 
Herman.
 
salam,
awang
 
Sangiran Dome, Central Java : Mud Volcano Eruption, 
Demise of Homo erectus erectus and Migration of Later Hominids
 
ABSTRACT
 
The Sangiran Dome, located 12 kms to the north of Surakarta , Central Java is a 
famous site in the Quaternary geology due to it exposes remains of hominid 
fossils and mammals of Pleistocene in ages. The origin of the Sangiran Dome has 
been interpreted in various ways. It is an anticline forming a dome at the 
southern margin of the Kendeng Zone,  a compressive feature related to collapse 
of the old Lawu volcanic cone, an incipient volcano, or a diapiric shale flow. 
 
The dome deformation, presences of several small saline water seeps and methane 
gas bubbles at the center of the dome and exotic blocks of metamorphic 
basements, Late Eocene limestone, polymict conglomerate identical to the 
varieties seen at Nanggulan, Karangsambung and Jiwo/Bayat, as well as Miocene 
limestone, Miocene and Pliocene marls; indicate that Sangiran Dome was a site 
of diapirism and mud volcano eruption now extinct. Saline water and gas seeps 
are common remnants of extinct or dormant mud volcanoes located along the 
Kendeng Zone from Central Java to the Madura Strait . Unusual presence of 
allochthonous blocks is considered as the erupted materials sourced from the 
subsurface. The diapiric deformation and eruption is considered took place 
between 0.7 and 0.5 Ma based on geochronological dating of  the Sangiran Dome.
 
Remains of Homo erectus erectus (called also He. trinilensis) in Sangiran area 
are found within lacustrine deposits of the upper part of Black Clays of the 
Pucangan Formation and fluvio-deltaic deposits of the lower part of the Kabuh 
Formation. Fission track dating and paleomagnetic stratigraphy of the deposits 
resulted in ages from 1.16 to 0.78 Ma (Pleistocene) . However, the age range of 
Home erectus erectus has been a matter of debate, the ages ever proposed ranged 
from 1.7 to 0.5 Ma.  
 
It looks that termination of Homo erectus erectus was coeval with the eruption 
of Sangiran mud volcano, indicating the demise of this hominid. The eruption is 
considered to be catastrophic based on an analogue with present mud volcano 
eruption of similar type worldwide. The eruption probably was also a reason why 
later forms of hominids did not develop in Sangiran area but migrated 
northeastward following the Solo River downstream to the areas of  
Sambungmacan, Trinil, Ngawi, and Ngandong where later forms of Homo erectus 
(Homo erectus ngandongensis / He. soloensis ever lived until the latest 
Pleistocene (0.2 or 0.1 Ma).  
 
The paper addresses the example of implications of geologic processes to the 
early life of human (hominids). It is best studied in the Kendeng Zone where 
mud volcano eruption and habitats of hominids were relative in space and time.
 
 
--- On Tue, 6/24/08, Herman Moechtar <[EMAIL PROTECTED] com> wrote:

From: Herman Moechtar <[EMAIL PROTECTED] com>
Subject: Re: [Geo_unpad] “Terbelah Segala Mata Air Samudera Raya” : Banjir Nabi 
Nuh (Kejadian 7)
To: [EMAIL PROTECTED] ps.com
Date: Tuesday, June 24, 2008, 12:01 PM









Pak Awang,
 
"Terbelah Segala Mata Air Samudera Raya" (Banjir Nabi Nuh).  Saya salut membaca 
ulasan dan penjelasan yang pak Awang beberkan mengenai perihal tersebut. 
Uraian itu tentunya dikupas berdasarkan informasi khususnya untuk orang yang 
sarat membaca yang kemudian menggunakan nalar pengetahuannya. Belum tentu, 
seorang yang berpengetahuan tinggi akan tetapi miskin membaca dapat 
menjabarkannya, apalagi miskin ilmu pengetahuan namun banyak membaca akan dapat 
leluasa pula mencernakannya. Oleh karena itu, kedua faktor tersebut harus 
berimbang. Tuhan memberi contoh pada kita dan memberi pengetahuan agar supaya 
manusia mempunyai kesetimbangan dalam hidup. Dalam hal apa saja. Rugilah mereka 
yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi tapi tidak mempunyai kesetimbangan. 
Disitulah akan muncul watak-watak yang tidak terpuji yang dapat membahayakan 
orang lain.   
 
Pak Awang, sebetulnya sulit buat kita mencambur adukan antara ilmu pengetahuan 
dan kekuasaan Tuhan itu. Karena apa ?, karena kita diberi akal hanya untuk 
mendapatkan kedamaian bukan untuk mencari bukti kebesarannya. Oleh karena itu, 
saya berpikir apapun yang akan dilakukanNYA terhadap jagad raya dan seisinya 
bisa DIA lalukan dengan sekejap saja. Namun, Tuhan memberi suatu ketaraturan 
dalam perjalanan planet jagad raya ini termasuk bumi. Sehingga dengan 
keteraturan tersebut, ternyata dapat membantu ilmu pengetahuan kita berkembang 
khususnya ilmu kebumian. Luar biasa......
 
Saya masih percaya dalam sekala kecil poros bumi berubah mengitari 
matahari sebagai mana siklus MIlankovitch (precession/ 21.000 th; obliquiti/40. 
000 th; eccentricity/ 95.000 dan 400.000 th) adalah salah satu kejadian yang 
dapat kita buktikan dalam urut-urutan proses sedimen. Nah, saya cenderung 
rangkaian dari siklus tersebut diikuti oleh siklus-siklus lainnya yaitu 
tektonik, iklim, sea-level, erupsi dan magmatism. Saya beranggapan bahwa dari 
korelasi siklus-siklus tersebut itulah yang disebut dengan geodinamik. Bukan 
seperti apa yang kita kenal sekarang geodinamik hanya selalu dihubungkan dengan 
tektonik saja. Banyak bukti dan contoh-contoh yang telah saya lakukan selama 
ini, khususnya pada kejadian Kuarter. Saya ingin memberi contoh, seperti 
Formasi Kabuh yang berumur 500 tahun (Plistosen Tengah) yang dikenal dengan 
Kubah Sangirannya. Dari hasil pengamatan, diantaranya dapat disimpulkan bahwa:
1.Dijumpai 5 siklus 100.000 tahunan, dan dalam siklus tersebut dapat pula 
direkonstruksi siklus 40.000 dan 20.000 tahun.
2.Awal dari setiap siklus ditandai oleh kondisi yang sangat kering (climatic 
minimum) diikuti oleh kegiatan erupsi gunungapi (merupakan lapisan ditemukannya 
homo-sapiens meski jarang).
3.Kondisi agak basah (bukan lapisan tempat ditemukannya homo-sapiens) yang 
diikuti oleh puncak kelembaban (climatic optimum). Menurut literatur lapisan 
tersebut banyak dijumpai homo-sapiens) yang selanjutnya ditandai oleh kondisi 
iklim kembali menuju agak lembab.
4. Akhirnya, kondisi kembali menuju kering hingga bagian atas dari siklus 
100.000 th tersebut, yang diikuti kembali oleh kegiatan erupsi gununga api.
 
Penjelasan ringkas tersebut di atas, adalah merupakan satu interval yang dapat 
menjelaskan segala hal yang dilukiskan oleh suatu proses pengendapan fluvial 
khususnya berkembang dan menyusutnya suatu alur sungai. Setelah itu, kita 
dapatkan singkapan sejenis lainnya yang telah mengalami pergeseran (berbeda 
lokasi). Ternyata, pada akhirnya kita mendapatkan 5 tubuh batupasir (sediment 
bodies) yang satu sama lainnya mengalami pergeseran (shiftting). Dan ini 
memberi kesan bahwa perpindahan alur sungai tersebut adalah sebagai salah satu 
indikator tektonik berlangsung di tempat tersebut. Jadi apabila kita 
korelasikan, ternyata hukum doming yang sudah baku di Sangiran tersebut tidak 
terbukti. Yang ada hanyalah bergesernya sungai dari waktu ke waktu setiap 
100.000 tahun yaitu pada akhir dan awal siklus Milankovitch, sehingga 
seolah-olah telah terjadi erosional yang kuat tapi ternyata tidak.
 
Yang bisa saya simpulkan dari pengalaman tersebut di atas, diantaranya:
 
Pertama, dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki ternyata kita bisa melihat 
suatu kejadian yang serba teratur seperti berubahnya iklim, efek dari erupsi 
dan tektonik. Menurut saya, punahnya homo-sapiens tersebut adalah berhubungan 
dengan peristiwa tektonik yang ketika itu di bawah kondisi sangat kering pada 
awal siklus. Selain itu, pada pertengahan siklus terjadi peristiwa puncak 
banjir (maximum floodings) yang juga merupakan bencana kehidupan.
 
Kedua, apa yang pak Awang katakan ilmu pengetahuan menyaksikan kebenaran Tuhan 
adalah tepat. Dan cerita dari Nabi  Nuh tersebut seyogianyalah dapat kita 
buktikan misalnya (mungkin saya salah !). Ketika itu adalah sebagai puncak dari 
tingkat kelembaban yang diikuti oleh aktifitas tektonik. Dan kesimpulannya 
Tuhan Maha Besar yang telah membei pengetahuan ke umatnya semata-mata untuk 
melihat kebesarannya. Beruntunglah orang yang memilki pengetahuan yang tringgi 
dan iman yang kuat. Celakalah orang yang tidak beriman meski berpengetahuan 
tinggi.
 
 
Pak Awang, 
 
Terima kasih pencerahannya yang dituangkan dengan bahasa yang sempurna pula. 
 
Wassalam,
 
Herman
--- On Mon, 6/23/08, Awang Satyana <awangsatyana@ yahoo.com> wrote:

From: Awang Satyana <awangsatyana@ yahoo.com>
Subject: [Geo_unpad] “Terbelah Segala Mata Air Samudera Raya” : Banjir Nabi Nuh 
(Kejadian 7)
To: "Geo Unpad" <[EMAIL PROTECTED] ps.com>, "IAGI" <[EMAIL PROTECTED] or.id>, 
"Forum HAGI" <[EMAIL PROTECTED] id>, "Eksplorasi BPMIGAS" <eksplorasi_bpmigas@ 
yahoogroups. com>
Date: Monday, June 23, 2008, 5:03 AM









Minggu lalu, seorang mahasiswa bertanya kepada saya apakah ada penjelasan 
geologi atas banjir Nabi Nuh. Saya meyakini bahwa untuk apa pun kejadian 
bencana atau kejadian adikodrati yang melibatkan unsur-unsur Bumi yang 
dituliskan di Kitab Suci selalu ada penjelasan geologi/ilmiahnya. Mungkin kita 
tak menemukan penjelasannya sekarang, tetapi kelak kemajuan ilmu pengetahuan 
akan menyingkapkannya. 
 
Kejadian 7 : 10, 11 ”Setelah tujuh hari datanglah air bah meliputi bumi. Pada 
waktu umur Nuh enam ratus tahun, pada bulan yang kedua, pada hari yang ketujuh 
belas bulan itu, pada hari itulah terbelah segala mata air samudera raya yang 
dahsyat dan terbukalah tingkap-tingkap di langit.”
 
Dalam beberapa kejadian yang dapat dijelaskan, saya percaya bahwa TUHAN 
menggunakan geologi untuk melaksanakan kehendakNya. Dalam kasus kiamat di Sodom 
dan Gomora, misalnya, saya pernah menulis di milis ini bahwa TUHAN menggerakkan 
sesar mendatar yang memotong Laut Mati yang membentang sejak Lembah Retakan 
Besar Afrika Timur-Laut Merah-Teluk Aqaba-Laut Mati-Lembah Yordan-Danau 
Galilea, memerintahkan gempa menggoyang ujung selatan Laut Mati, meletuskan 
gunung-gununglumpur di wilayah itu melemparkan lumpur, gas, garam dan belerang 
berapi,  menghabisi Sodom dan Gomora –dua tempat di ujung selatan Laut Mati 
yang penuh dengan dosa.  Contoh lain, TUHAN pun pernah meletuskan gunungapi 
Thera-Santorini di Laut Tengah dan meniupkan abunya menutupi Matahari di atas 
Mesir dan menggelapkannya saat Musa hendak membawa bangsanya. Gerald Friedman, 
ahli sedimentologi terkenal itu, pernah menuliskan artikel khusus tentang ini 
di sebuah jurnal riset Alkitab.
 
TUHAN yang Mahakuasa itu adalah TUHAN atas segala Alam Semesta, yang Mahabesar, 
yang dengan mudah menggerakkan semua elemen Bumi sesuai kehendakNya, tetapi 
juga TUHAN yang Mahakasih, yang tak membiarkan seekor burung sekecil pipit pun 
jatuh ke Bumi tanpa kehendakNya (Matius 10 : 29). Apalagi kepada manusia yang 
jauh lebih berharga daripada burung pipit, bilangan helai rambutnya pun Ia 
ketahui (Matius 10 : 30).
 
Banjir besar pada zaman Nabi Nuh (terjadi sekitar 2900 BC menurut carbon dating 
endapan banjir tersebut) adalah kisah yang sangat terkenal di dalam Alkitab. 
Kisah ini bukan dongeng, tetapi kenyataan yang pernah terjadi. Para ahli 
geologi awal abad ke-19 pun sangat terinspirasi oleh kisah itu.... Ini terbukti 
dari digunakannya istilah ”diluvium” untuk menamai endapan bekas banjir besar 
hasil proses katastrofik itu. Istilah ini pun pernah digunakan di benua Eropa 
pada periode tersebut untuk menamai satu periode Kuarter Tua atau Pleistosen, 
untuk membedakannya dengan ”aluvium”- endapan masa kini (lihat Bates dan 
Jackson, 1987 : Glossary of Geology).
 
Bagaimana geologi menjelaskan kejadian banjir besar Nabi Nuh itu ? Mitchell, 
seorang ahli dari Department of Western Asiatic Antiquities, British Museum, 
dalam artikel tentang Banjir Nabi Nuh di The New Bible New Dictionary 
(Inter-Varsity Press, 1988) menulis bahwa tak ada gunanya mencari penjelasan 
geologi atas kejadian banjir itu sekalipun Kejadian 7 : 11 jelas-jelas 
menyebutkan ”terbelah segala mata air samudera raya” (ini proses geologi yang 
gamblang). Mitchell (1988) menganggap bahwa kata-kata di dalam Kejadian 7 : 11 
adalah sekedar kata kiasan, jadi tak perlu mencari penjelasan geologi atasnya.
 
Benarkah anggapan Mitchell (1988) ? Kita tinjau buku tua tulisan Henry Halley  
(1927) ”Halley’s Bible Handbook” yang pada tahun 1965 diterbitkan edisi 
ke-24-nya. Halley (1965) menyebutkan bahwa banjir Nabi Nuh terjadi di suatu 
wilayah yang disebutnya ”Tanah Genting Eufrat” (Euphrat Isthmus) yaitu suatu 
wilayah Mesopotamia  (sebagian Irak, Siria dan Turki sekarang) dan Babel 
(sekarang Irak), tempat mengalirnya dua sungai besar Eufrat dan Tigris. Tanah 
Genting ini hampir seluruhnya dikelilingi oleh laut-laut Laut Tengah, Laut 
Hitam, Laut Kaspia, dan Teluk Persia. Sungai besar Eufrat dan Tigris dan 
seluruh anak sungainya merupakan penghubung laut-laut itu. Tanah Genting Eufrat 
terbentuk oleh masuknya Teluk Persia ke arah daratan menuju bagian timur Laut 
Tengah (sejajar dengan Laut Merah yang masuk menuju Laut Tengah – tanah genting 
Suez, kemudian digali menjadi Terusan Suez). Nuh dan keluarganya tinggal di 
kota Babel di tepi Sungai Eufrat
 (Rowley, 1988, ”Atlas Alkitab”). 
 
Halley (1965) menafsirkan Kejadian 7 : 11 ”... pada hari itulah terbelah segala 
mata air samudera raya yang dahsyat...” sebagai : “cataclysmic subsidence” 
Tanah Genting Eufrat. Tanah Genting Eufrat tenggelam, dan lautan di 
sekelilingnya memenuhi Mesopotamia- Babel melalui Eufrat dan Tigris yang juga 
akhirnya ditenggelamkan air laut. Di samping itu, hujan dari langit turun tak 
ada hentinya selama 40 hari 40 malam yang makin meninggikan banjir. Demikian 
tulis Halley (1965).
 
Interpretasi Halley (1965) menarik dalam pemahaman geologi moderen melalui 
analisis tektonik lempeng. 
 
Peta tektonik lempeng dari Skinner dkk. (2004) dalam bukunya ”Dynamic Earth” 
(John Wiley and Sons, New York) menunjukkan bahwa Tanah Genting Eufrat yang 
dimaksud Halley (1965) disebelah barat dibatasi oleh batas sesar transform 
sinistral Laut Mati-Siria, di sebelah utara dan timur oleh suture (tempat 
pertemuan/benturan dua lempeng) Biltis-Zagros yang merupakan wilah benturan  
antara Lempeng Arab dan Eurasia. Suture Zagros berimpit juga dengan sesar besar 
dekstral sepanjang suture-nya (menurut Versfelt, 2001 – Major HC potential in 
Iran, AAPG Memoir 74). Suture Biltis-Zagros ini diduduki oleh gunung-gunung di 
sebelah selatan Turki dan Armenia di sekitar Laut Hitam dan Laut Kaspia,  
menerus menuju gunung-gunung lipatan Pegunungan Zagros di antara Irak dan Iran. 
Gunung Ararat, Armenia, tempat bahtera Nuh kandas, adalah sebuah gunung di 
ujung baratlaut suture Zagros.
 
Teluk Persia adalah sisa Tethys Sea yang tidak ikut tertutup pada saat benturan 
antara Lempeng Arab dan Eurasia terjadi sejak Miosen akhir (Versfelt, 2001). 
Gerakan konvergensi Arab ke Eurasia ini terjadi terus sampai sekarang. Di bawah 
Sungai Eufrat dan Tigris atau di wilayah Tanah Genting Eufrat terdapat 
retakan-retakan pinggir benua sisa tepi pasif Lempeng Arab sebelum membentur 
Eurasia. Keberadaan sesar mendatar dekstral sejajar suture Zagros dan retakan 
benua passive margin di bawah Eufrat dan Tigris adalah elemen-elemen tektonik 
penting yang akan tereaktivasi ulang bila ”cataclysmic subsidence” terjadi.
 
Berdasarkan hal di atas, maka bisa dipastikan bahwa wilayah di mana pernah 
terjadi banjir besar Nabi Nuh  adalah wilayah tepi-tepi lempeng yang 
menunjukkan gejala konvergensi, divergensi, dan strike-slip faulting. Wilayah 
ini dikelilingi oleh laut-laut besar Laut Tengah, Laut Hitam, Laut Kaspia, 
Teluk Persia, Teluk Oman, Samudera Hindia, dan Laut Merah. Maka bila terjadi  
”cataclysmic subsidence”, semua laut di sekeliling Tanah Genting akan 
membanjirinya seperti laut transgresi atas wilayah yang tenggelam.
 
Apakah memang terjadi penenggelaman Mesopotamia- Babel sehingga menyebabkan 
banjir besar ? Mari kita periksa Kejadian 7-8 dalam bahasa aslinya 
(Aram-Ibrani) . Kejadian 7 : 10 ” Setelah tujuh hari datanglah air bah meliputi 
bumi.” (”Wayhiy lshib`at hayamiym uwmey hamabuwl hayuw `al-ha'arets. .”). Kata 
yang dipakai untuk menerangkan peristiwa banjir besar Nabi Nuh adalah ”mabbul” 
(hamabuwl). Kata inidipakai juga di dalam Mazmur 29 : 10. Arti harafiah mabbul 
adalah : air meluap secara besar-besaran. Menarik sekali bahwa kata ini dalam 
kitab Septuaginta (Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) diterjemahkan sebagai 
”kataklysmos” (bandingkan dengan ”cataclysmic”). Kata kataklysmos sebagai 
banjir besar dipakai juga di dalam Matius 24 : 38-39, Lukas 17 : 27, dan 2 
Petrus 2 : 5). Dalam geologi, cataclysmic adalah peristiwa katastrofik.
 
Kejadian 10 : 11 ” Pada waktu umur Nuh enam ratus tahun, pada bulan yang kedua, 
pada hari yang ketujuh belas bulan itu, pada hari itulah terbelah segala mata 
air samudera raya yang dahsyat dan terbukalah tingkap-tingkap di langit.” 
(”Bishnat shesh- me'owt shanah lchayey-Noach bachodesh hasheniy bshib`ah- `asar 
yowm lachodeshbayowm hazeh nibq`uw kal- ma`ynot thowm rabah wa'rubothashamayim 
niptachuw.”). Perhatikan kata ”tehom” (thowm), artinya adalah air samudra yang 
naik dari bawah.
 
Berdasarkan geologi wilayah ini dan kata-kata dalam bahasa asli Kitab Kejadian 
baik bahasa Aram maupun Yunani (Septuaginta) , saya percaya bahwa Tanah Genting 
Eufrat tenggelam dan semua laut di sekelilingnya meluapinya menyebabkan banjir 
besar Nabi Nuh, di samping itu hujan besar 40 hari 40 malam menyebabkan air 
makin tinggi di atas Bumi (Kejadian 1 : 17). 
 
Bagaimana bisa Tanah Genting Eufrat tenggelam? Apa sulitnya untuk TUHAN bila Ia 
me-reaktivasi retakan-retakan passive margin di bawah Eufrat dan Tigris. Dulu 
pada Masa Paleozoikum dan Mesozoikum pun, wilayah ini adalah wilayah yang 
tenggelam di tepi kontinen Arab akibat adanya sistem retakan passive margin 
(Versfelt, 2001). Apa susahnya buat TUHAN kalau Ia mau menenggelamkannya lagi 
pada kala Holosen 2900 BC ?
 
Apakah ada bukti geologi atau arkeologi endapan sisa banjir Nabi Nuh ? Jelas 
ada, dan itu telah ditemukan di sepanjang Mesopotamia dan Babel sejak tahun 
1920-an. Yang terkenal, adalah yang ditemukan dalam ekskavasi di kota Ur, kota 
asal Abraham, oleh ahli arkeologi Dr. C.L. Woolley (1929) setebal 8 kaki berupa 
endapan ”solid water-laid clay”. Urutan endapan menyaksikan kehidupan 
pra-banjir yang penuh dengan artefak, saat banjir (solid water-laid clay) yang 
tak ada artefaknya, dan endapan sesudah banjir yang juga penuh dengan artefak 
yang makin maju tingkat perkembangannya. Lalu, penggalian arkeologi di Kish, 
masih di tepi Sungai Eufrat oleh Dr.... Stephen Langdon (1928-1929) menemukan 
endapan yang sama setebal 5 kaki. Juga, tahun 1931 ditemukan endapan banjir 
Nabi Nuh di Fara berupa clean water-laid clay, dekat tempat Taman Eden, oleh 
Dr.Eric Schmidt. Tentu menarik sekali kalau kita mau meneliti palinologi dan 
beberapa isotop (oksigen 18/16, karbon
 13/12 misalnya) endapan-endapan banjir ini. Dari analisis ini kita bisa 
mengetahui banyak hal tentang lingkungan saat itu. Umur lapisan-lapisan ini 
berdasarkan penelitian carbon dating adalah sekitar 2900-2700 BC, tetapi 
endapan banjir di Ur setua 3500 BC.
 
Bahtera Nabi Nuh kandas di Gunung Ararat (Kejadian 8 : 4). Gunung ini ada dan 
ketinggiannya 17.000 kaki (5182 meter), sekarang masuk ke dalam wilayah Turki 
sebelah tenggara. Gunung ini merupakan gunung lipatan dalam jalur suture 
Zagros. Gunung ini terletak sekitar 800 km di sebelah utara Babel, kota asal 
Nuh, berarti bahtera Nabi Nuh terapung 800 km ke arah utara saat banjir besar 
terjadi (bahtera ini hanya terapung bukan dikemudikan menuju utara) (Halley, 
1965). Para penerbang Rusia mengaku pada awal abad ke-20 telah menemukan sisa 
bahtera ini tertanam di gletsyer Gunung Ararat. Laporan resmi telah disampaikan 
kepada Tsar Rusia. Sayang, dengan bergulirnya Revolusi Bolsyewik yang ateis, 
laporan-laporan ini tidak pernah dipublikasikan ke umum apalagi ditindaklanjuti
 
Pertanyaan tersisa, seberapa luas banjir besar Nabi Nuh itu ? Apakah seluas 
dunia, menutupi seluruh permukaan Bumi yang luasnya 510 juta km2 itu ? Saya 
tidak yakin. Ada hal menarik berdasarkan bahasa asli Alkitab dan cerita tentang 
banjir besar itu dari berbagai bangsa, dari epik Gilgamesh di Babilonia sampai 
cerita Indian Inca di Peru. 
 
Kata-kata Ibrani yang digunakan untuk ”meliputi bumi” dipakai tiga jenis kata : 
”erets” (Wayhiy lshib`at hayamiym uwmey hamabuwl hayuw `al-ha'arets) (Kejadian 
7 : 11, 17, 23); ”syamayim” (Wayhiy hamabuwl 'arba`iym yowm `al- ha'arets 
wayirbuwhamayim wayis'uw 'et- hatebah wataram me`al ha'arets) (Kejadian 7 : 
17); dan ”adama” (Kiy lyamiym `owd shib`ah 'anokiy mamTiyr `al-ha'arets 
'arba`iym yowm w'arba`iym laylah uwmachiytiy 'et-kal- hayquwm 'sher `asiytiy 
me`al pney ha'damah) (Kejadian 7 : 4, 23). Perhatikan, bahwa ”erets”, 
”syamayim”, dan ”adama”, semuanya diterjemahkan sebagai ”bumi”. Tetapi, 
masing-masing kata ini mempunyai arti juga sebagai tanah (erets, misalnya 
Kejadian 10 : 10), bagian yang kelihatan dari langit (syamayim, misalnya 1 
Raja-Raja 18 : 45) dan luas muka bumi di tanah yang terlihat dari langit 
(adama). Maka, tak ada kata-kata yang langsung menunjukkan bahwa banjir besar 
itu terjadi seluas bola Bumi. Saya
 percaya bahwa banjir besar hanya terjadi di seluruh Cekungan Eufrat.
 
Geografi zaman Nuh tentu berbeda dengan geografi masa kini. Perlu diperhatikan 
bahwa dari Adam sampai Nuh hanya ada 10 generasi. Itulah keseluruhan ras 
manusia saat itu, yang tinggal tak jauh dari asal manusia sendiri, yaitu di 
Taman Eden, di wilayah antara Sungai Eufrat dan Sungai Tigris (Irak sekarang). 
Cekungan Eufrat adalah ”seluas bumi” pada zaman Adam-Nuh. 
 
Pertanyaan lanjutan, kalau banjir besar itu hanya seluas Cekungan Eufrat, 
bagaimana cerita tentang banjir besar itu ditemukan dalam tradisi bangsa-bangsa 
India, Cina, Inggris, Meksiko, Greenland, dan Peru ? Bukankah itu menggambarkan 
bahwa banjir besar itu terjadi ke mana-mana ? Tidak, seluruh jumlah manusia 
sebelum banjir besar hanya 10 generasi (dari Adam ke Nuh) dan mereka hidup tak 
jauh dari tempat asalnya di Taman Eden. India, Cina, sampai Amerika telah ada 
tetapi belum dihuni manusia (moderen). 
 
Setelah banjir besar usai, baru manusia-manusia turunan Sem, Ham, dan Yafet 
–anak-anak Nabi Nuh, bersama para isterinya menurunkan bangsa-bangsa moderen 
penghuni Bumi sekarang. Yafet menurunkan bangsa-bangsa di Eropa dan Asia. Sem 
menurunkan bangsa-bangsa Yahudi, Asiria, Siria. Ham menurunkan bangsa-bangsa 
Arab, Mesir, dan pantai timur Afrika. 
 
Melalui peristiwa kekacauan bahasa Menara Babel manusia diserakkan ke seluruh 
muka Bumi (Kejadian 11 : 9 “..., karena dari situlah dikacaubalaukan TUHAN 
bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh 
bumi.”). Kekacauan bahasa di Babel itu terjadi 101 tahun setelah banjir Nabi 
Nuh. Dan setiap bangsa mempunyai tradisi banjir Nabi Nuh sebab mereka berasal 
dari anak-anak Nuh, yang mengalami banjir, suatu kisah yang diceritakan sebagai 
tradisi dari generasi ke generasi.
 
Perhatikan kata-kata ”diserakkan TUHAN ke seluruh bumi” (hepiytsam Yahweh `al- 
pney kal- ha'arets), ini baru berarti ke seluruh bola dunia. Kata-kata ” `al- 
pney kal- ha'arets” tak pernah dipakai sebelumnya untuk menunjukkan luas banjir 
Nabi Nuh. Suatu indikasi kuat bahwa banjir Nuh hanya terjadi seluas bumi yang 
diketahui saat itu, yaitu : Cekungan Eufrat.
 
Demikian, semoga bermanfaat. Ilmu pengetahuan menyaksikan kebenaran Firman 
TUHAN.
 
Salam,
awang





__._,_.___ 
Messages in this topic (4) Reply (via web post) | Start a new topic 
Messages | Files | Photos | Links | Database | Polls | Members | Calendar 
Moderators:
Budhi Setiawan '91 <[EMAIL PROTECTED]>
Edi Suwandi Utoro '92 <[EMAIL PROTECTED]>
Sandiaji '94 <[EMAIL PROTECTED]>
Wanasherpa '97 <[EMAIL PROTECTED]>
Satya '2000 <[EMAIL PROTECTED]>
Andri'2004 <[EMAIL PROTECTED]> 

MARKETPLACE



Yahoo! Groups users, check out this limited time offer from Blockbuster! Rent 
DVDs free for a month! 
 
Change settings via the Web (Yahoo! ID required) 
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to 
Traditional 
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe 



Recent Activity


 1
New MembersVisit Your Group 


Y! Messenger
Send pics quick
Share photos while
you IM friends.

Moderator Central
Get answers to
your questions about
running Y! Groups.

Wellness Spot
on Yahoo! Groups
A resource for living
the Curves lifestyle.
. 
__,_._,___ 














      

Kirim email ke