http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/03/metro/1598017.htm
Kamis, 03 Maret 2005

Menyusuri Pecinan di Kota Tua Batavia

Pagi itu jalan belum begitu macet ketika kaki kami menapaki Jalan Pintu 
Besar Jakarta Barat menuju kerkstraat, atau jalan gereja di samping Museum 
Wayang, terus hingga Jalan Kali Besar Timur. Bau menyengat langsung tercium 
begitu sampai di pinggir Kali Besar (The Groote Kanaal) yang merupakan 
bagian hilir Kali Ciliwung.

"Dulu air kali ini bahkan bisa diminum. Sekitar tahun 1800, air kali mulai 
tercemar menjadi kekuning-kuningan meski masih digunakan untuk mandi dan 
mencuci. Kali ini menjadi saksi bisu kekejaman Pemerintah Belanda dalam 
peristiwa Chineezenmoord atau pembantaian orang-orang China," kata Asep 
Kambali, Ketua Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia (KPSBI) 
Historia, yang memandu wisata sejarah, Minggu (27/2).

Kali Besar saat ini tengah "digarap" lewat program Kali Besar Bersih 
sebagai bagian dari Revitalisasi Kota Tua oleh Jakarta Old Town-Kotaku, 
yang dimotori Miranda Goeltom, Deputi Senior Bank Indonesia yang juga Ketua 
Dewan Pengurus Jakarta Old Town-Kotaku, bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan 
Umum (PU) DKI Jakarta, Suku Dinas PU Tata Air Jakarta Barat, Bank HSBC, dan 
Bank Indonesia.

Orang kerap menyebut Glodok sebagai daerah pecinan atau chinatown di 
kawasan Kota Tua. Namun, selain Glodok, daerah pecinan sebenarnya lebih 
luas lagi, mulai dari daerah Pasar Pagi, Asemka, Jalan Perniagaan, 
Kemenangan, Perdagangan, Pancoran, dan wilayah lain yang masuk Kecamatan 
Tambora.

Bahkan, daerah Pekojan yang awalnya dikenal sebagai Kampung Arab, lengkap 
dengan beberapa masjid tuanya, saat ini banyak dihuni oleh orang keturunan 
China. Hanya sedikit orang keturunan Arab yang masih bertahan setelah 
mereka eksodus ke daerah timur, seperti Condet dan Jatinegara, juga ke 
Tanah Abang, Depok, hingga Bogor.

Kami kembali berjalan menuju Jalan Perniagaan, lokasi rumah keluarga Souw, 
tepat di samping Pasar Perniagaan, Jakarta Barat. Bangunan tua yang masih 
dipertahankan sampai sekarang itu awalnya dihuni kakak beradik Souw Siauw 
Tjong dan Souw Siauw Keng (1849- 1917) yang kaya raya.

Keduanya juga dikenal dermawan, membantu mendirikan sekolah bagi anak-anak 
bumiputra di tanah miliknya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memberikan 
gelar luitenant titulair (kehormatan) kepada Tjong pada Mei 1877, sedangkan 
Keng diangkat menjadi luitenant der Chineezen pada tahun 1884.

Jalan Perniagaan awalnya bernama Jalan Patekoan, yang berarti delapan teko. 
"Katanya, di daerah sini pernah tinggal seorang kapiten China bernama Gan 
Djie (1663-1675). Istrinya dikenal berjiwa sosial. Setiap hari ia 
menyediakan delapan teko berisi air teh untuk orang yang lewat jalan ini," 
ungkap Asep.

Masih di Jalan Perniagaan, pandangan kami tertuju pada bangunan modern yang 
dulu menjadi markas organisasi Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan atau 
perhimpunan Tionghoa yang didirikan pada 17 Maret 1900. Kini, bangunan yang 
dulunya khas China itu menjadi gedung SMAN 19 setelah diambil alih oleh 
pemerintah pada tahun 1965.

"Gedung ini dulu mirip kelenteng dan jadi sekolah China pertama. Tahun 1966 
gedung direnovasi dan sampai sekarang tak pernah diubah-ubah lagi. Dua 
patung yang ada di depan pintu gerbang juga sudah tak ada lagi," papar 
Lukman Effendi, guru seni rupa yang juga pembina OSIS SMAN 19.

JALAN menjadi sangat macet menjelang siang. Namun, peserta wisata sejarah 
yang terdiri dari anak-anak hingga orang tua itu masih bersemangat. Kami 
menyusuri Gang Lamceng, gang sempit menuju Vihara Kwan Tee Bio. Gang itu 
menghubungkan Jalan Perniagaan dengan Jalan Perdagangan.

Setelah berputar-putar di gang-gang sempit, kami tiba di Kelenteng Toa Se 
Bio atau Kelenteng Duta Besar di Jalan Kemenangan II. Menurut warga 
sekitar, dahulu jalan ini bernama Jalan Toasebio. Kelenteng besar ini, 
menurut beberapa literatur, dibangun oleh orang Hokkian dari Kabupaten 
Tiotha, Provinsi Hokkian, China.

Kelenteng dipersembahkan untuk Cheng-goan Cin-kun yang merupakan dewa di 
daerah itu.

Di altar utama kelenteng terdapat hio-louw, tempat untuk menancapkan hio 
atau dupa lidi, yang berangka tahun 1751. Ini merupakan obyek berangka 
tertua yang kedua. Di Kelenteng Kim Tek Le terdapat meja sembahyang yang 
berangka tahun 1742.

Di Jalan Kemenangan III, tak jauh dari Kelenteng Toa Se Bio, berdiri megah 
sebuah bangunan China. Namun, meski sekilas mirip kelenteng, bangunan ini 
ternyata adalah sebuah gereja, Gereja Santa Maria de Fatima.

Menurut Asep Kambali, gereja ini dahulu pernah didiami Letnan Tjio dari 
China. Setelah China jatuh ke tangan komunis pada tahun 1949, sebagian 
rohaniwan datang ke Jakarta dan menempati gedung tersebut.

Keistimewaan gedung ini adalah adanya inskripsi dengan aksara Tionghoa. Di 
bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya, yaitu Kabupaten Lam- oa, 
Karesidenan Coan-ciu (China). Masih di bubungan atap, tertulis bok siu 
khong leng yang artinya rezeki, umur panjang, dan kesehatan.

Juga hanya berjarak beberapa ratus meter, terdapat Kelenteng Kim Tek Li 
atau Dharmabakti yang merupakan kelenteng tertua di Jakarta yang didirikan 
pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen. Ia menamainya Paviliun Koan-im atau 
Dewi Welas Asih.

Keluar dari kelenteng, kami sampai ke Glodok, yang semasa VOC merupakan 
kawasan di luar tembok kota. Glodok yang konon berasal dari kata 
grojok-grojok sejak tahun 1740 memang menjadi permukiman kaum China ketika 
terjadi pembantaian orang-orang China di Sunda Kelapa. Tragedi pembantaian 
Angke ini disebut-sebut menelan korban 10.000 jiwa.

Glodok kini maju pesat dan menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di 
Jakarta. Glodok bisa bertahan menjadi kawasan bergengsi selama lebih dari 
200 tahun, termasuk kawasan pecinannya.

Meski demikian, banyak warga keturunan China yang harus pindah ke Pluit, 
Ancol, dan Sunter karena makin sempitnya lahan untuk bermukim.

Seorang peserta wisata sejarah, Nurweni (50), berdecak kagum melihat 
gedung-gedung tua di pecinan yang beberapa di antaranya menjadi cagar 
budaya. Banyak yang sudah berubah, tetapi orang China ternyata bisa 
mempertahankan sejarahnya.

"Saya ingat, waktu SD diajak nenek ke Kota (daerah stasiun Kota Jakarta-Red 
) naik trem dari Sawah Besar lewat Pasar Baru, terus ke Kota. Sekarang 
rel-rel trem tidak berbekas, sulit membayangkan suasana waktu itu," ujar 
Nurweni, warga Tanah Tinggi itu.

Berada di dekat Kelenteng Toa Se Bio, terasa sangat kental nuansa Chinanya. 
Keluarga Souw pun masih mempertahankan rumah tuanya seperti aslinya, lebih 
dari seabad lalu.

Peringatan Imlek dan Cap Go Meh tidak pernah absen di Glodok dan sekitarnya.

Bagaimana dengan penduduk Betawi? Apakah mereka mampu mempertahankan 
kekhasan budayanya? Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menantang dengan 
mengeluarkan peraturan daerah tentang Perkampungan Budaya Betawi di 
Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di atas tanah seluas 
165 hektar, semuanya harus bercorak Betawi. Mungkinkah?

Namun, rambut boleh sama hitam, watak orang tentu berlainan. Lain China, 
lain pula Betawi. (Susi Ivvaty)


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/5iY7fA/6WnJAA/Y3ZIAA/yppolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Indonesian Backpacker Communities
visit our website at www.indobackpacker.com
"No Spamming or forwarding unrelated messages, you will be banned immediately"
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indobackpacker/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke