http://www.sttb.ac.id/2007/newLook/uploads/Kebaikan%20Menikah%20menurut%20Pandangan%20Agustinus%20Hali%20D%2095-.pdf
.

dimuat di Jurnal Teologi STULOS

KEBAIKAN MENIKAH MENURUT PANDANGAN  AGUSTINUS

*Hali Daniel Lie, M.Ag, M.Th.*

*(Dosen STT Bandung dan BLBS, saat ini studi mandarin ke China, Januari 2009
come back to Indonesia again, *

*S.Th di STT Bandung, M.Th di SAAT Malang)*


Status hidup menikah ditanggapi secara berbeda-beda oleh agama-agama.
Sebagian besar umat manusia memandang pernikahan sebagai sesuatu
yang wajar, alamiah dan sudah sepatutnya demikian. Ini merupakan pandangan
yang umum. Akan tetapi, tidak sedikit kalangan tertentu yang
memandang rendah pernikahan. Mereka melihat pernikahan sebagai sesuatu yang
kotor, rendah dan jauh dari hidup kudus. Biasanya, yang
disoroti adalah seks. Sikap negatif ini biasanya langsung ditindaklanjuti
dengan menganjurkan kehidupan selibat atau membujang. Pandangan-
pandangan yang serupa muncul pula di antara orang-orang Kristen tertentu.

Melalui tulisan ini kita hendak menggali konsep pernikahan melalui sudut
pandang seorang bapa gereja besar bernama Agustinus. Pandangan Agustinus
fair dan objektif adanya. Hal ini terbukti melalui tulisan-tulisannya
seperti: Holy Virginity (Sancta Virginitate), *On the Good of **Widowhood
(De Bono Viduitatis) dan On the Good of Marriage (De Bono**
*

*Conjungali). *1

Melalui tema-tema yang dia tulis ini kita bisa mengetahui bahwa Agustinus
menghargai baik mereka yang membujang, menjanda & tentunya juga yang
menduda, maupun mereka yang menikah. Dia peduli baik kepada mereka yang
menikah maupun yang tidak menikah. Bukunya *On the Good of Marriage *secara
khusus membahas tentang topik nikah an sich. Salah satu tujuan penulisan
buku ini ialah dalam rangka menjawab orang-orang yang terlalu
mengagung-agungkan kesucian hidup berselibat sampai-sampai mendevalusi
nilai-nilai pernikahan.2

Melalui On the Good of Marriage Agustinus hendak mengangkat dan
menempatkan kembali status menikah dalam terang kebenaran Firman
Tuhan, tanpa dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurang-kurangi.
Di dalam buku itu Agustinus menguraikan tiga kebaikan dari status
hidup menikah. Tiga kebaikan menikah itu berturut-turut terdiri dari
beranak cucu (pleros), kesetiaan (fidei) dan sakramen (sacramentum). 3


Selanjutnya marilah kita mengikuti penguraian Agustinus atas tiga
kebaikan pernikahan ini satu demi satu.


BERANAK CUCU (PLEROS)
Agustinus mengawali risalahnya ini dengan mengingatkan pembacanya bahwa
manusia itu adalah makhluk sosial adanya. Beginilah beliau
memulai bukunya dengan mengatakan:
Forasmuch as each man is a part of the human race, and human
*nature is something social, and hath for a great and natural good, the
power also of friendship; on this account God willed to create all men
out of one, in order that they might be held in their society not only by
likeness of kind, but also by bond of kindred. Therefore the first
natural bond of human society is man and wife.4*

Natur manusia sebagai makhluk sosial ini mendorong individu-individu untuk
membentuk masyarakat. Kesatuan masyarakat yang paling
asli, alamiah dan sederhana dimulai melalui pembentukan keluarga atau rumah
tangga.
Secara formal sebuah rumah tangga baru terbentuk pada saat dilangsungkannya
pernikahan. Dengan disaksikan oleh keluarga dan sanak famili kedua belah
pihak, sepasang pria-wanita itu berikrar membentuk sebuah keluarga. Status
kedua orang itu yang sebelumnya adalah buyung & upik dalam bahasa
Minangkabau, atau ucok & butet
dalam bahasa Batak, sejak pernikahan telah berubah status menjadi sepasang
suami dan istri.
Tuhan sendirilah yang menggariskan pernikahan dengan menciptakan laki-laki
dan perempuan. Di dalam penciptaan Tuhan sekaligus memberikan perintah
kepada dua manusia mula-mula: "Beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumiā€¦" Perintah untuk beranak cucu berulang-ulang dikutip dan
ditegaskan oleh Agustinus melalui berbagai
ayat yang berbeda. 5


Mulai dari pasal yang paling awal dari Alkitab, Kejadian 1, konsep
pernikahan dan beranak cucu sudah ditegaskan.
Bahkan, konsep itu sudah ada sebelum manusia jatuh ke dalam dosa di mana
kejatuhan manusia baru terjadi di dalam Kejadian 3. Jadi, beranak cucu
bukanlah konsekuensi dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Setelah
melahirkan anak, status pasangan suami-istri itu bertambah satu lagi, yakni
menjadi ayah dan ibu. 6


Status ini masih dapat diperpanjang terus. Setelah anak-anak besar lalu
menikah sampai
melahirkan anak pula, maka ayah dan ibu itu mendapatkan satu status baru
lagi, yakni kakek dan nenek. Setiap status ini tidak dapat tidak selalu
melibatkan pernikahan dan beranak cucu.
Pernikahan merupakan amanat Ilahi yang universal dan terawal. Jadi, lembaga
pernikahan itu sendiri baik adanya. Demikian pula dengan
beranak cucu yang tercakup di dalam pernikahan. Bagi Agustinus, perlu
dicatat di sini, bahwa walaupun sebuah pernikahan tidak disertai dengan
melahirkan anak, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kebaikan dari
pernikahan. Pernikahan telah diinstitusikan oleh Allah sendiri pada masa
yang paling awal, yakni dalam catatan penciptaan.

*KESETIAAN (FIDEI)*
Tatkala melangsungkan upacara pernikahan, kedua belah pihak, sang pria dan
si wanita, saling mengucapkan janji. Mereka bersumpah setia satu
terhadap yang lainnya, baik sehat maupun sakit, baik suka maupun duka, baik
kaya maupun miskin. Sumpah setia itu diikrarkan di hadapan Tuhan
dan sesama manusia.
Seksualitas merupakan salah satu aspek yang tak terpisahkan di dalam
pernikahan. Di sini, seorang suami dan seorang istri saling
melayani satu sama lain. Dengan demikian mereka memenuhi tanggung jawabnya
masing-masing. Dalam penjelasan yang panjang lebar tentang
perkawinan, Rasul Paulus menegaskan: "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya
terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya"
(1 Kor. 7:3). Bagi Agustinus saling memenuhi kewajiban merupakan "a mutual
service"7 yang memang sudah sepantasnya demikian. Kesetiaan pun dituntut di
dalam hubungan seksualitas.
Bukan tidak mungkin di dalam sebuah pernikahan terjadi percabulan dan
perzinahan. Agustinus tidak menutup-nutupi kenyataan ini. Akan
tetapi, seandainya pun terjadi percabulan dan perzinahan di dalam suatu
pernikahan, itu bukanlah berarti pernikahan menjadi tidak baik atau
kekurangan nilai kebaikannya. Menurut Agustinus, yang benar adalah,
percabulan dan perzinahan merupakan dosa dari orang-orang yang
melakukan perbuatan tersebut.8


Kedua dosa ini sering disinggung oleh Agustinus di dalam buku de Bono
Conjungali.
Membahas kebaikan menikah, Agustinus banyak mengutip tulisan rasul Paulus di
dalam perikop 1 Korintus 7. Dia menyinggung hampir
setiap ayat di dalam perikop ini. Dalam seluruh kitab PL & PB, perikop yang
panjang lebar dan terlengkap mengupas perkawinan adalah tulisan
Paulus tersebut. Bersamaan dengan berjalannya waktu, pasangan yang menikah
tersebut saling melatih dan memupuk kesetiaan.
Pernikahan menuntut sekaligus melatih pria dan wanita untuk saling berlaku
setia satu sama lainnya. Mencermati zaman kita sekarang, adanya Pria Idaman
Lain, Wanita Idaman Lain, perselingkuhan merupakan bukti konkret telah
hilangnya apa yang Agustinus sebut sebagai kesetiaan. Kesetiaan patut
dipertahankan dan dijaga oleh kedua belah pihak.

*SAKRAMEN (SACRAMENTUM)*
Sakramen yang dimaksudkan di sini jangan diasosiasikan dengan upacara
sakramen yang diselenggarakan di dalam gereja-gereja Katolik dan
Protestan. Adapun istilah sakramen yang dipakai oleh Agustinus di sini
mengandung pengertian pertalian atau ikatan pernikahan. Sebagaimana
yang sudah digariskan dalam Alkitab, seumur hidup mereka suami dan istri
terikat menjadi satu, hanya maut yang akan memisahkan mereka berdua.
Sewaktu menguraikan bagian ini Agustinus tidak melewatkan untuk menyinggung
tentang perceraian. Baginya, Alkitab tidak pernah
mengajarkan perceraian. Agustinus tidak lupa membahas pemberian surat cerai
pada zaman Musa melalui perspektif yang Yesus sendiri ajarkan di
dalam Matius.9


Dia menegaskan kembali jawaban Yesus di dalam Mat.19:8. Beginilah Agustinus
menjelaskannya:
And something like this custom, on account of hardness of the Israelites,
Moses seems to have allowed, concerning a bill of
divorcement. In which matter there appears rather a rebuke, than an approval
of divorce.10


Musa mengizinkan perceraian di kalangan orang Israel dengan memberikan surat
cerai. Hal ini sama sekali tidak boleh diartikan bahwa
Musa setuju dengan konsep perceraian. Kenyataannya, Musa terpaksa
berhubung dengan kekerasan hati atau ketegaran hati orang-orang Israel.
Perlu kita ingat bahwa Agustinus menguasai bahasa latin dengan baik sekali.
Besar kemungkinan sakramen yang dia maksudkan tidak lain
dari apa yang dikatakan oleh Paulus di dalam Efesus 5:32, "Rahasia ini
besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat."
Dalam Alkitab berbahasa Latin "rahasia ini besar" diterjemahkan dengan
memakai istilah magnum sacramentum.11


Di dalam perikop ini rasul Paulus sedang menguraikan hubungan antara suami
dan istri di dalam
ikatan atau pertalian pernikahan. Uraian Paulus mengenai hubungan antara
suami dengan istri kemudian beralih kepada hubungan antara
Yesus Kristus dengan jemaat-Nya. Oleh karena itu, menurut Agustinus
pernikahan mengajarkan kepada kita semua satu hal yang melampaui pernikahan
itu sendiri, yakni relasi antara orang-orang percaya dengan Yesus Kristus.12

Orang-orang percaya merupakan mempelai wanita sementara Yesus Kristus adalah
Sang mempelai pria. Pernikahan menjadi tanda atau simbol yang hidup yang
bisa menolong kita untuk memahami hubungan antara Kristus dengan jemaat

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1
Lihat di dalam daftar lengkap karya Agustinus, Mary Inez Bogan, penerj., The
Fathers of the Church 60: Saint Augustine The Retractations (Washington:
Catholic
University of America, 1968) 166; "Augustine's Works" Augustine through the
Ages: An
Encyclopedia (Grand Rapids: Eerdmans, 1999) xxxv - il.
2
John Gibb & James Innes, penerj., Nicene and Post-Nicene Father of Christian
Church, Vol. VII; by Augustine, Philip Schaff, ed. (Grand Rapids: Eerdmans,
1888) 398;
The Retractations, 166..
3
On the Good of Marriage 32, 412; David G. Hunter, "Marriage" Augustine
through
the Ages: An Encyclopedia (Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 535-536; David G.
Hunter,
"De Bono Conjungali" Augustine through the Ages: An Encyclopedia (Grand
Rapids:
Eerdmans, 1999), hl. 110.
4
Augustine, "On the Good of Marriage" Nicene and Post-Nicene Father of
Christian
Church, trans by C. L. Cornish, VII: 399.
5
On the Good of Marriage 1-3, hl. 400.
6
Ibid., 3: 400.
7
Ibid., 3: 401.
8
Ibid., 5: 401.
9
Ibid., 7, hl. 402.
10
Ibid.
11
Hunter, "Marriage" Augustine through the Age, 536.
12
On the Good of Marriage 21, 408 & 32, 412.

*www.dedewijaya.co.cc*

*http://dedewijaya.blogspot.com*

Kirim email ke